Pukul 07.00
Wita seperti ini aku biasanya masih tidur mendengkur di kasur. Aku bangun
paling cepat pukul 08.00 wite. Setelah bangun tidur aku mandi, berpakaian, dan
tanpa sarapan pagi langsung berangkat kerja ke pasar koran.
Namaku
Ipriyadi, aku adalah seorang pedagang koran di bundaran air mancur Hasanuddin
HM Banjarmasin. Biasanya, paling cepat pukul 09.00 aku baru mulai membuka kios
koranku. Hari ini, tidak seperti biasanya aku sudah pergi meninggalkan rumah
pada pukul 07.00 wite. Namun, aku tidak ke pasar koran sebagaimana biasanya,
tetapi ke Kantor Pelni di bilangan Jalan RE Martadinata Banjarmasin.
Hari ini
adalah hari yang istimewa bagiku. Hari ini Kamis, 18 Agustus 1994, aku akan
ikut antri membeli tiket KM Binaiya tujuan Banjarmasin Surabaya di Kantor Pelni
Banjarmasin.Hari ini merupakan awal di mana aku akan memulai perjalanan jauh
yang pertama kali, yakni ke Surabaya. Sudah lama aku memendam hasrat pergi
berlibur ke Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Insya Allah
keinginanku di atas akan segera terkabul, dan langkah untuk itu sudah kumulai
hari ini.
Ceritanya bermula sekitar sebulan yang lalu.
Ketika itu tanpa sengaja aku menguping pembicaraan empat orang sastrawan
Kalsel. Ketika itu, Tajuddin Noor Ganie, Eddy Wahyuddin SP, Rosydi Aryadi
saleh, dan Abdus Syukur sedang serius memmbicarakan rencana keberangkatan
mereka ke Surabaya untuk mengikuti Festival Puisi XIV 1994 di Auditorium PPIA
Surabaya.Mendengar bahwa mereka akan berangkat ke Surabaya naik kapal laut maka
aku lantas tertarik untuk ikut serta.Ternyata, mereka tidak keberatan membawaku
dengan syarat segala sesuatunya ditanggung sendiri.
Agaknya, perlu kujelaskan bahwa aku kenal
baik dengan keempat sastrawan Kalsel dimaksud.Sesungguhnya, aku tidak hanya
kenal baik dengan mereka berempat saja, tetapi juga kenal baik dengan semua
sastrawan Kalsel terkemuka lainnya.Betapa tidak?Selama bertahun-tahun, hampir
saban hari mereka menyambangi kios koranku.Mereka datang ke kios koranku untuk
numpang baca koran gratis.Tapi, jika cerpen, puisi, cerbung, atau esei sastra
mereka dimuat di salah satu koran, maka mereka semua akan membeli koran
dimaksud.Tidak jarang mereka juga membeli beberapa koran sekaligus pada hari
yang sama.Ini terjadi jika koran-koran dimaksud memuat cerpen, puisi, cerbung,
atau esei sastra yang layak dikliping.
Peristiwa besar seperti ini biasanya terjadi
pada hari Minggu, karena hampir semua koran memang memuat cerpen, puisi, dan
esei sastra pada setiap edisi hari Minggu.Salah seorang di antara mereka akan
membeli koran setiap hari selama berbulan-bulan jika koran dimaksud memuat
cerbungnya di koran dimaksud.Jadi, berkawan akrab dengan mereka tidaklah
merugikan, bahkan menguntungkan.Namun, sekali waktu kadang-kadang aku jengkel
juga pada mereka.Ini terjadi ketika mereka selama beberapa hari tidak membeli
koran yang kujual, tetapi cuma ikut menumpang baca koran secara gratis
saja.Huh, siapa yang tidak kesal jika saban hari mereka cuma membuat koran
jualanku menjadi lecek tak karuan.
Secara in absentia aku sering menyebut mereka
sebagai bubuhan Haji Umal (plestan dari komplotan pembuat koran menjadi kumal).
Tapi, yang lebih membuat hatiku kesal adalah jika di antara mereka ada yang tak
kunjung membayar utang pembelian koran yang jumlahnya puluhan ribu rupiah.
Secara in absentia aku sering menyebutnya sebagai sastrawan Kalsel yang
canggih, artinya cangkal bahutang ngalih ditagih. Bahasa Banjar, artinya suka
berutang tapi sulit ditagih. Hehehehe
Memang, sejak lama kios koranku menjadi
tempat berkumpul tidak resmi para sastrawan Kalsel, terutama sekali yang
tinggal di Banjarmasin. Mereka memang berkepentingan untuk selalu datang ke
pasar koran untuk mengontrol pemuatan karya sastranya di berbagai koran
terbitan Banjarmasin, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.Setelah puas
membolak-balik koran jualanku mereka biasanya berkumpul di belakang kios
koranku.Di sini mereka saling berdiskusi membahas isu-isu hangat di seputar
dunia sastra.Diskusi sastra dimaksud bisa berlangsung berjam-jam.Tidak jarang
mereka masih tetap berdiskusi meskipun kios koranku sudah tutup pada pukul
16,00 wite.Bahkan, sekali waktu, ada sastrawan Banjarmasin yang adu jotos di
belakang kios koranku.
Pukul 08.00
wite Kantor Pelni Banjarmasin sudah dibuka. Tapi. Loket penjualan tiket KM
Binaiya trayek Banjarmasin Surabaya masih kosong melompong. Petugas penjual
tiketnya masih belum berada di luar loket.
Seorang
lelaki bertubuh gempal tampak berdiri persis membelakangi loket. Tidak salah
lagi, ia adalah seorang calo tiket. Ia sengaja berdiri membelakangi loket
dengan tujuan untuk mencegat mangsa. Lelaki gempal itu itu tersenyum padaku.
Aku tidak punya pilihan lain kecuali membalas senyumnya.
“Mau ke
mana?”
“Surabaya.”
“Mau naik
kapal apa?”
“KM
Binaiya.”
“Boleh
kulihat KTP-nya?”
Aneh,
seperti dihipnotis saja aku kemudian membuka dompetku dan mengambil KTP yang
ada di sana. KTP itu lalu kuserahkan kepadanya. Tanpa kuminta ia lalu memanggil
seseorang.
“Pul, sini
Pul. Tolong KTP ini difoto-copy,” perintahnya kepada orang yang dipanggilnya
Pul itu.
“Naik apa,
bos?” tanya Ipul.
“Naik ojek.”
“Ongkosnya,
bos?”
Orang itu
memberi isyarat agar aku memberikan uang ojek kepada Ipul. Aneh, seperti
dihipnotis aku kembali membuka dompetku dan mengambil uang loembaran sepuluh
ribu rupiah. Uang itu kuangsurkan kepada Ipul. Ipul menerima uang itu lalu
pergi memotocopy KTP milikku. Tanpa sadar aku sudah masuk ke dalam perangkap
yang dipasang oleh kawanan calo tiket itu. Aku sudah berhutang budi padanya
atau setidak-tidak berhutan budi pada Ipul anak buahnya yang mau bersusah payah
memotocopykan KTPku. Hutang budi ini membuatku sungkan untuk membeli tiket
sendiri. Tidak ada pilihan lain aku harus membeli tiket melalui jasa calo.
Tiket KM
Binaiya dapat saja dibeli dengan hanya memperlihat KTP atau surat jalan asli.
Jadi, tidak perlu difotocopy. Bahkan, tiket KM Binaiya itu dapat saja dibeli
dengan hanya menyodorkan secarik kertas yang sudah ditulisi dengan keterangan
nama, usia, dan alamat calon pembelinya. Dalih melampirkan fotocopy KTP sebagai
syarat membeli tiket KM Binaiya cuma akal-akalan pihak calo tiket saja. Dalam
hal ini maksudnya agar calon pembeli tiket merasa berhutang budi padanya sehingga
merasa sungkan untuk membeli tiket sendri. Tidak ada pilihan lain bagi calon
pembeli tiket yang bersangkutan kecuali membeli tiket melalui calo yang telah
berbuat baik terhadapnya itu. Kasus itulah yang kualami pagi ini.
Pukul 10.00
wite, Tajuddin Noor Ganie, dan Abdus Syukur
tiba di Kantor Pelni. Begitu tiba keduanya langsung meletakkan KTP di
depan loket. Petugas loket masih belum datang. Tanpa ba, bi, bu, lelaki
bertubuh gempal mengambil KTP Tajuddin Noor Ganie dan Abdus Syukur.
“Ufh,
mengapa diambil. Biarkan saja di situ,” cegah Tajuddin Noor Ganie.
“Ini harus
difotocopy,”
Pada saat
itulah Ipul datang lalu menyerahkan KTP asli dan fotocoynya kepada lelaki
gempal itu. Lelaki gempal itu menyerahkan KTP asli kepadaku dan meletakkan
fotocopynya di depan loket.
“Pul, tolong
fotocopykan KTP ini,” perintahnya kepada Ipul.
“KTPku
jangan difotocopy,” sergah Tajuddin Noor Ganie.
“Mengapa?”
“Aku
keberatan.”
“Kamu tidak
akan dilayani oleh petugas loket.”
“Aku tak
jadi berangkat ke Surabaya jika petugas loket tak mau menjual tiketnya
kepadaku.”
“Kamu jangan
sok tahu. Peraturannya memang begitu!” ujar lelaki gempal itu.
“Aku sudah
sering membeli tiket di sini. Tidak pernah dimintai fotocopy KTP segala macam,”
balas Tajuddin Noor Ganie.
“Kalau
begitu, ini saja yang difotocopy,” ujarnya sambil menyerahkan KTP Abdus Syukur
kepada Ipul anak buahnya.
Abdus Syukur
diam saja.
Tajuddin
Noor Ganie kembali meletakkan KTP aslinya di depan loket.
“Dasar
penumpang sok tahu,” ujar calo tiket itu lagi kepada Tajuddin Noor Ganie.
Lelaki
gempal itu lalu berjalan meninggalkan kami. Masih sempat kudengar ia
mengeluarkan sumpah serapah untuk melampiaskan rasa jengkelnya kepada Tajuddin
Noor Ganie yang disebutnya sebagai calon penumpang yang sok tahu itu. Tajuddin
Noor Ganie tampak serba salah, sedangkan Abdul Syukur tampak gelisah. Tidak
berapa lama kemudian lelaki gempal itu datang lagi ke loket penjualan tiket,
kali ini ia datang bersama Ipul yang baru saja datang dari tempat fotocopy.
Lelaki gempal itu menyerahkan KTP asli kepada Abdus Syukur dan meletakkan
fotocopynya di depan loket. Ia masih mengomel tak karuan sambil memandang ke
arah Tajuddin Noor Ganie yang berdiri acuh tak acuh.
Tidak lama
kemudian lelaki gempal itu memanggilku dan Abdus Syukur.
“Harga tiket
Rp. 40.000,-“ ujarnya menagih uang harga tiket.
Aku dan
Abdus Syukur segera menyerahkan uang
yang diminta lelaki gempal itu.
“Di sini ada
calon penumpang yang sok tahu. Awas kalau bertemu di kapal nanti akan kutendang
biar tahu rasa,” lelaki gempal itu mengeluarkan ancaman kepada Tajuddin Noor
Ganie.
Aku yakin
Tajuddin Noor Ganie juga menyadari bahwa
dirinya pasti kalah jika harus berkelahi adu fisik dengan lelaki gempal itu.
Tapi, ia rupanya nekad mengambil risiko menghadapi lelaki gempal itu. Boleh
jadi, Tajuddin Noor Ganie sebenarnya juga sudah grogi, tapi karena sudah
kepalang basah ia tetap pada sikapnya. Menilik dari penampilan fisiknya yang
sangar, lelaki gempal yang berprofesi sebagai calo tiket itu merupakan tipikal
orang yang suka menyelesaikan setiap masalah dengan pendekatan adu jotos. Bila
sampai sekarang ia masih belum juga melayangkan jotosan mautnya ke dagu
Tajuddin Noor Ganie, maka penyebabnya mungkin adalah karena ia masih bisa
berpikir jernih.
Profesinya
yang ilegal sebagai calo tiket membuatnya harus berpikir dua tiga kali untuk
melakukan pemukulan terhadap Tajuddin Noor Ganie. Begitu ia melayangkan bogem
mentahnya ke dagu Tajuddin Noor Ganie, maka pada itu pula ia akan berurusan
dengan aparat keamanan yang bertugas di Kantor Pelni Banjarmasin. Urusannya
bisa panjang. Selain harus masuk penjara selama beberapa hari, ia juga akan
kehilangan pekerjaannya sebagai calo tiket. Pihak Pelni Banjarmasin sudah
barang tentu tidak akan membiarkannya lagi berkeliaran di depat loket penjualan
tiket. Sementara itu. Tajuddin Noor Ganie pasti menolak mentah-mentah jika
harus membeli tiket melalu calo dengan
harga Rp. 40.000,-
“Buat apa
membeli tiket melalui calo, jika tiket dimaksud bisa langsung kita beli di
loket,” ujar Tajuddin Noor Ganie pada kesempatan berembuk kemarin sore.
Pagi ini,
dengan mata kepalaku sendiri aku melihat loket pembelian tiket tampak sepi
pembeli. Tidak sepadat seperti pada hari-hari libur sekolah tempo hari. Calon
penumpang yang antri pagi ini cuma kami bertiga saja. Jadi buat apa membeli
tiket melalui calo? Tapi, apa hendak dikata, nasi sudah jadi bubur. Aku sudah
terlanjur terperangkap dalam strategi licik calo tiket bertubuh gempal itu.
“Akh, tak
apa. Hitung-hitung bayar uang sekolah,” ujarku berguman dalam hati sekedar
untuk menghibur hati yang kecewa karena telah menjadi korban penipuan
mentah-mentah.
Ketika
berembuk kemari sore, kami telah sepakat untuk antri langsung membeli tiket di
loket Kantor Pelni Banjarmasin. Sesuai dengan jumlah tiket yang akan dibeli,
yakni 6 lembar, maka orang yang antri harus 3 orang, karena sesuai peraturan
yang berlaku di Kantor Pelni Banjarmasin satu orang pengantri hanya boleh
membeli maksimal 2 lembar tiket saja. Memang, kami berangkat ke Surabaya dalam
satu rombongan berjumlah 6 orang, yakni Tajuddin Noor Ganie, Eddy Wahyuddin SP,
Abdus Syukur, Norsidah (istri Tajuddin Noor Ganie), Ilmanuddin, dan aku
sendiri. Sebenarnya hanya 3 orang yang diundang oleh PPIA Surabaya. Aku,
Norsidah, dan Ilmanuddin cuma datang sebagai penggembira saja. Festival Puisi
XIV di PPIA Surabaya cuma berlangsung 1 hari saja, setelah itu kami bisa
jalan-jalan sekehendak hati ke berbagai kota besar di pulau Jawa.
Kebijakan
membatasi jumlah tiket yang dapat dibeli oleh seorang pengantri di depan loket
dimaksudkan sebagai upaya Kantor Pelni Banjarmasin untuk menutup peluang
pembelian tiket secara borongan (boking) oleh para calo yang suka mengambil
keuntungan di balik kesempitan. Namun, kebijakan itu bukannya tanpa masalah,
pada hari-hari musim liburan sekolah orang-orang yang membeli tiket di loket
menjadi begitu membludak sehingga perlu pengaturan tersendiri. Tidak jarang,
Kantor Pelni Banjarmasin meminta bantuan aparat kepolisian bahkan polisi
militer untuk mengamankan suasana yang hiruk pikuk di Kantor Pelni Banjarmasin.
Sekarang ini
bukan masa-masa musim liburan sekolah, sehingga suasana di Kantor Pelni
Banjarmasin tampak lengang, tidak banyak orang yang antri membeli tiket.
Meskipun demikian, calo tiket tetap beroperasi, dan dengan berbagai cara
berusaha menjerat mangsanya seperti yang dilakukan oleh lelaki gempal
terhadapku.
Calo tiket
bertubuh gempal itu masih modar-mandir di sekitar loket pembelian tiket. Ia
masih tetap megumbar kekesalannya dengan mengomel tidak karuan. Ia sedang
melakukan teror mental terhadap Tajuddin Noor Ganie yang disebutnya penumpang
sok tahu karena tidak mau membeli tiket melalui jasanya sebagai penguasa de
facto di wilayah itu. Suasananya bertambah gawat, karena calo tiket itu tidak
sendirian. Beberapa orang kawannya ikut bergabung dengan sikap tak bersahabat terhadap
Tajuddin Noor Ganie. Aku ingin sekali cepat-cepat melepaskan diri dari suasana
tegang yang tidak menyenangkan ini. Tapi, hingga pukul 10.00 wita petugas
penjualan tiket belum datang juga. Sialan.
Boleh jadi,
merasa jerih karena terus menerus diteror oleh para calo tiket itu, Tajuddin
Noor Ganie menjadi tidak karuan rasa. Abdus Syukur yang tidak kuat menahan
teror mental seperti itu kemudian memberi isyarat agar Tajuddin Noor Ganie
mengikutinya menuju ke pojok kantor.
“Din,
bagaimana kalau kita mengalah saja. Lebih baik rugi uang sedikit daripada
kepala benjol.”
“Ya, lebih
baik kalah duit daripada kalah kelahi,” ujarku menimpali.
“Tapi aku
keberatan jika harus memberikan uang jasa Rp.5.000,00 per tiket.”
“Soal itu
bisa kita rundingkan lebih lanjut.”
“Baiklah
kalau begitu. Coba kau urus baik-baik.”
Benar saja,
setelah berbicara dari hati ke hati, calo tiket itu tidak keberatan diberi uang
jasa Rp.2.000,00 per tiket. Ini berarti untuk 6 lembar tiket yang kami beli, kami
cuma memberinya Rp.12.000,00 Bahkan calo tiket itu pada akhirnya cuma bersedia
menerima uang jasa Rp.10.000,00 saja. Uang yang Rp.2.000,00 dikembalikan untuk
bayar ongkos bajaj. Begitulah, drama pembelian tiket yang sempat memanas itu
akhirnya berakhir dengan antiklimaks. Happy ending.
0 comments:
Post a Comment