Sejak meletusnya perang saudara antara Pangeran Samudera
melawan Pangeran Temenggung, maka kota Muara Banjar yang menjadi pusat
pemerintahan Kerajaan Banjar yang didirikan oleh Pangeran Samudera menjadi
sasaran utama penyerbuan pasukan perang yang setia kepada Pangeran Temenggung.
Pangeran Temenggung dan para sekutu politiknya yang tetap
setia kepadanya memang merasa cemas dengan perkembangan Kerajaan Banjar yang
begitu pesat dari hari ke hari. Dalam tempo relatif singkat para kepala
pemerintahan, kepala suku, kepala balai, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh agama,
dan orang-orang sakti mandraguna banyak yang menyatakan diri bergabung ke dalam
wilayah pemerintahan Kerajaan Banjar dan denga sukarela mengikrarkan sumpah
setianya kepada Pangeran Samudera.
Sehubungan dengan kenyataan bahwa kota Muara Banjar telah
dijadikan sebagai sasaran utama penyerbuan pasukan perang Pangeran Temenggung,
maka Pangeran Samudera berusaha memperkuat pertahanan di semua pintu masuk
menuju ke pusat pemerintahan Kerajaan Banjar tersebut. Setiap pintu masuk tidak
saja dijaga oleh pasukan perang biasa tetapi juga dijaga oleh sejumlah tokoh sakti mandraguna.
Tersebutlah seorang tokoh sakti mandraguna bernama Awi
Tadung (22 tahun) yang mendapat tugas menjaga pintu masuk di ujung utara kota
Muara Banjar. Tempat tinggal Awi Tadung sesungguhnya jauh dari pusat keramaian
ibukota Kerajaan Banjar, karena pintu masuk di ujung utara kota Muara Banjar
ini sesungguhnya adalah jalan setapak yang di kiri dan kanannya banyak
ditumbuhi pohon rumbia.
Meskipun tinggal jauh dari pusat kota, namun sebagai tokoh
yang sakti mandraguna, maka namanya dikenal luas di seantero Kerajaan Banjar.
Hampir bisa dikatakan tidak ada seorang pun warga negara Kerajaan Banjar yang
tidak mengenal jatidiri Awi Tadung.
Nama asli Awi
Tadung adalah Awirusan. Nama atau lebih tepatnya gelar Awi Tadung diberikan
orang kepadanya karena Awirusan memiliki seekor ular yang selalu melilit di
pergelangan tangan kirinya. Ular dimaksud warnanya hitam legam dan merupakan
jenis ular berbisa yang terkenal paling ganas. Di kalangan warga negara
Kerajaan Banjar, ular jenis ini lazim
disebut sebagai tadung mura (ular kobra). Tapi yang lebih unik lagi ular
yang melilit di tangan kiri Awi Tadung ini bukanlah ular biasa, tapi adalah
ular buntung (ular yang tidak mempunyai ekor).
Ular buntung ini
sangat setia kepada Awi Tadung. Konon, ular buntung dimaksud akan langsung
bereaksi keras jika mendengar Awi Tadung bertengkar dengan orang lain. Setiap
kali mendengar Awi Tadung bertengkar dengan orang lain, maka hampir bisa
dipastikan lawan bertengkar Awi Tadung itu akan tewas secara mengenaskan.
Tubuhnya berwarna hitam legam dan
dipenuhi dengan bekas gigitan
ular berbisa.
Memang, setiap kali bertengkar dengan orang lain, Awi
Tadung selalu memerintahkan ular buntungnya untuk membinasakan musuhnya itu.
Tugas mematuk musuh Awi Tadung itu dikerjakan oleh ular buntung pada malam
hari, yakni ketika yang bersangkutan tertidur lelap di rumahnya. Suatu hal yang
mengerikan, pembunuhan atas musuh Awi Tadung dimaksud tidak hanya dilakukan
oleh ular buntung itu sendiri, tetapi dilakukannya bersama-sama dengan puluhan
ekor ular lainnya.
Terkesan dengan keganasan ular buntung peliharaan Awi
Tadung dalam membunuh musuh-musuhnya, maka Pangeran Samudera kemudian meminta
bantuan Awi Tadung untuk menugaskan ular buntung peliharaannya sebagai penjaga
pintu masuk di ujung utara kota Muara Banjar. Tugas tersebut dijalankan dengan
baik oleh ular buntung dan kawan-kawannya sesama ular yang tinggal di hutan
rumbia di dekat rumah Awi Tadung. Sudah tidak terbilang lagi berapa jumlah
pasukan perang Pangeran Temenggung yang tewas dipatuk ular berbisa ketika
mencoba menyusup memasuki kota Muara Banjar dari arah ujung utara.
Awi Tadung dan ular buntung sesungguhnya bersaudara kembar.
Keduanya sama-sama dilahirkan oleh Umbu Kitai, seorang wanita warga kampung
setempat. Ayah Awi Tadung adalah seorang petani yang banyak memiliki tanah
persawahan dan perkebunan di daerah ujung utara kota Muara Banjar, namanya :
Abah Kitai.
Ketika Awi Tadung dan ular buntung dilahirkan, bidan
kampung yang menolong persalinannya langsung pingsan begitu melihat Umbu Kitai
melahirkan seorang anak manusia dan seekor ular hitam. Abah Kitai dan Umbu
Kitai juga sempat terpana beberapa saat karenanya.
“Sabarlah, Bu. Mungkin sudah takdir kita berdua mempunyai
anak seekor ular. Sebaiknya kita ambil hikmahnya saja, Bu,” ujar Abah Kita
mencoba menyabarkan perasaan istrinya.
Ringkas cerita, Abah Kitai dan Umbu Kitai kemudian memberi
nama Awirusan untuk anaknya yang berwujud manusia dan Awirusin untuk anaknya
yang berwujud ular hitam. Tapi, di kemudian hari orang lebih mengenal Awirusan
sebagai Awi Tadung dan Awirusin sebagai
ular buntung.
Hari demi hari berlalu, Awi Tadung dan kembarannya ular
hitam tumbuh dewasa secara bersama-sama di rumah yang sama pula. Sesuai dengan
kodrat dan wujudnya masing-masing, maka bila Awi Tadung tidur di tilam, maka
ular hitam kembarannya lebih suka tidur di dalam pedaringan beras.
Kebiasaan ular hitam yang demikian itu sering membuat Umbu
Kitai jengkel. Setiap kali Umbu Kitai mengambil beras di pedaringan, tangannya
selalu dipatuk oleh anaknya ular hitam. Saking kagetnya, tidak jarang Umbu
Kitai yang latah itu terpekik berlama-lama karena ulah nakal anaknya sendiri.
Ular hitam anaknya itu agaknya suka sekali bercanda dengan ibunya dengan cara
seperti itu.
Tidak hanya Umbu Kitai yang jengkel dengan ulah ular hitam
yang demikian itu. Abah Kitai juga demikian. Hingga pada suatu pagi, Umbu Kitai
kembali mengambil beras untuk ditanak, ketika itulah tangannya kembali dipatuk
ular hitam. Umbu Kitai terpekik. Entah bagaimana, Abah Kitai yang mendengar
pekikan kaget istrinya itu, langsung meradang
saking marahnya. Tanpa pikir panjang lagi orang tua itu dengan refleks
meraih mandau (sejenis parang) dan cras langsung menetakkannya ke arah ular
hitam. Untunglah, ular hitam tidak tewas terkena tetakan mandau itu, karena
tetakan itu cuma mengenai ekornya.
Sejak kejadian itu ular hitam tidak lagi tinggal di rumah
bersama-sama dengan ayah, ibu dan saudara kembarnya. Tapi tinggal di hutan
rumbia tak jauh dari rumahnya. Di tempat tinggalnya yang baru ini ular hitam
berhasil menempatkan dirinya sebagai pimpinan komunitas ular. Beberapa tahun
kemudian ia datang berkunjung ke rumah orang tuanya, ketika itulah Abah Kitai
dan Umbu Kita mengetahui jika ular hitam anaknya itu sudah tidak memiliki ekor lagi akibat terkena
tetakan mandau ayahnya sendiri.
Abah Kitai sempat meneteskan air mata karena menyesali
perbuatannya puluhan tahun yang silam. Tapi apa hendak dikata semuanya itu
telah terjadi dan tak mungkin diperbaiki lagi. Sejak itulah ular hitam itu
dikenal sebagai ular buntung. Sejak itu pula, ular buntung tidak lagi tinggal
di hutan rumbia tapi kembali tinggal di rumah orang tuanya. Setiap hari ia
selalu berada di sekitar Awirusan saudara kembarnya yang berwujud manusia.
Awirusan sendiri sangat sayang dengan Awirusin, ke mana-mana selalu dibawanya
dengan cara dilingkarkannya di tangan kirinya. Akibatnya lambat laun
orang-orang lebih mengenalnya sebagai Awi Tadung dibandingkan dengan nama
aslinya Awirusan.
Pangeran Samudera sangat menghargai jasa-jasa Awi Tadung
dan ular buntung yang selalu siap siaga menggagalkan usaha penyusupan dan
penyerbuan yang dilakukan oleh anggota pasukan perang Pangeran Temenggung
melalui pintu masuk di ujung utara kota Muara Banjar. Pangeran Samudera sangat
terkesan dengan kemampuan yang ditunjukkan oleh Awi Tadung dan ular buntung,
karena selama berlangsung perang saudara, tidak ada seorang pun anggota pasukan
perang Pangeran Temenggung yang berhasil menerobos masuk ke pusat kota Kerajaan
Banjar.
...selanjutnya?
0 comments:
Post a Comment