Sutakil dan Sutakul (23 tahun)
berasal dari Desa Mantuil, sebuah desa kecil yang terletak sekitar setengah
hari berkayuh perahu dari kota Muara Banjar.
“Permisi,
tuan punggawa. Kami berdua ingin mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara,”
ujar Sutakil kepada punggawa kerajaan yang bertugas sebagai pendaftar peserta
sayembara.
Punggawa
kerajaan tampak ragu-ragu mendaftarkan nama Sutakil dan Sutakul, karena fisik
keduanya kurang meyakinkan. Tubuh mereka
tidak tegap, tidak kekar, tidak berisi dan tidak berotot. Sebaliknya
kurus, tinggi, langsing dan berdada rata. Pendek kata, kurus kerempeng kayak
bilah lidi.
“Bagaimana
mungkin keduanya bisa menebang dan kemudian mengangkat pohon ulin yang besarnya
sepemeluk orang dewasa?” tanya punggawa kerajaan di dalam hati.
Selama
ini, Sutakil dan Sutakul memang tidak dikenal sebagai pasangan orang sakti
mandraguna. Bahkan di Desa Mantuil, tempat tinggalnya sendiri, keduanya cuma
dikenal sebagai peramu hasil hutan biasa saja.
“Kalau
saya boleh tahu, ke mana kalian berdua ingin mencari kayu ulin untuk tiang guru
masjid dimaksud?” tanya punggawa kerajaan.
“Ke
Pulau Kaget,” kali ini Sutakul yang menjawab.
“Ke
Pulau Kaget?” tanya punggawa kerajaan dengan nada heran..
“Ya, ke
Pulau Kaget. Memangnya kenapa, tuan punggawa?” jawab Sutakil dan Sutakul hampir
bersamaan.
“Ah,
tidak apa-apa. Cuma ....”
“Cuma
apa, tuan punggawa?” desak Sutakul.
“Apakah
kalian berdua sudah mendengar cerita tentang ....”
“Keangkeran
Pulau Kaget?” sambar Sutakil.
“Ya,
begitulah maksudku,” ujar punggawa itu lagi.
“Sudah.
Tapi kami berdua tidak takut.”
“Baiklah
kalau begitu. Kapan kalian pergi ke sana?”
“Subuh
besok,” jawab Sutakil.
“Kalau
begitu baiklah. Selamat jalan. Semoga kalian sukses. Hanya itu yang bisa saya
ucapkan.”
“Terima
kasih, tuan punggawa.”
---------------------------------------
Gerimis
yang turun sejak dinihari tadi telah menghalangi terbitnya fajar di ufuk timur
sana. Cuaca pagi itu memang buruk sekali. Meskipun demikian Sutakil dan Sutakul
sama sekali tidak mau menunda keberangkatannya ke Pulau Kaget.
“Kil,
apakah barang-barang yang kita siapkan kemarin telah kau muat semua ke dalam
perahu?” tanya Sutakul.
“Sudah.”
“Kapak,
mandau, tali-temali, beras, lauk-pauk, air tawar, gula, kopi, teh, pakaian dan
lain lain tak satu pun yang ketinggalan?”
“Ya.
Semuanya sudah kumuat ke dalam perahu,” ujar Sutakil.
“Syukurlah
kalau begitu.”
Perjalanan
ke Pulau kaget yang ditempuh Sutakil dan Sutakul itu bukanlah perjalanan yang
menyenangkan. Tidak jarang keduanya harus menahan nafas jika perahu mereka yang
kecil mungil itu diterjang gelombang Sungai Barito yang cukup besar. Keduanya
nampak mengigil kedinginan, maklumlah sejak berangkat dari tempat tinggal mereka di Desa Mantuil tadi
mereka berdua telah diguyur hujan lebat secara terus menerus. Angin yang
bertiup silih berganti dari berbagai arah itu membuat keduanya lebih merasa
kedinginan lagi. Saking dinginnya maka keduanya tak bisa menyembunyikan bunyi
gemeletuk giginya masing-masing.
Meskipun
keduanya telah kesohor sebagai peramu hasil hutan yang ulung, keduanya tetap
merasa kedinginan juga. Selama ini keduanya memang tidak mengandalkan diri pada
kekuatan fisik semata. Tapi lebih mengandalkan diri pada kemampuan mereka dalam
merapalkan ratusan bahkan ribuan bait mantera. Tubuh keduanya tidaklah kekar
berotot tapi kurus kerempeng seperti bilah lidi. Hanya dengan mengandalkan
kekuatan magis pada bait-bait mantera yang dibacanya, mereka dapat menaklukan
jin kapir yang mengganggu pekerjaan mereka di lokasi peramuan hasil hutan. Nah,
jin kapir taklukan mereka inilah yang kemudian mereka perintahkan untuk
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat mereka di tengah rimba raya.
Secara
fisik, Sutakil dan Sutakul memang tidak meyakinkan sebagai peramu hasil hutan
yang ulung. Tapi kenyataan menunjukkan hasil hutan yang mereka bawa pulang
tidak kalah banyaknya dibandingkan dengan hasil
hutan yang diperoleh para peramu lainnya yang bertubuh lebih kekar dan
berotot. Secara kasat mata, Sutakil dan Sutakul yang bertubuh kerempeng itu,
memang terlihat mengangkut sendiri ramuan hasil hutannya. Padahal beban
berat itu mereka angkut dengan bantuan
tenaga jin kapir yang tidak kasat mata.
Hari
itu keduanya memang terpaksa membiarkan dirinya masing-masing diguyur hujan
secara terus menerus seharian penuh, karena keduanya ketika itu naik perahu
kecil yang cuma bisa ditumpangi oleh mereka berdua saja. Bila mereka nekad
mengajak serta para jin kapir naik ke perahu yang mereka tumpangi, maka sudah
dapat dipastikan perahu yang mereka tumpangi itu akan terbalik dan tenggelam di
telan arus Sungai Barito. Bobot tubuh para jin kapir itu sudah pasti sangat berat, karena bentuk tubuh mereka
memang rata-rata tambun membulat.
Ringkas
cerita, setelah berkayuh sekian lama, kedua lelaki muda itu akhirnya tiba juga
di Pulau Kaget.
“Wah,
akhirnya sampai juga kita di pulau ini, Kil.”
“Iya.”
“Aduh,
mataku perih sekali.”
“Mataku
juga demikian,” ujar Sutakul.
“Butir-butir
hujan yang menghalangi pandangan di depan perahu kita sangat tebal. Sepanjang
perjalanan tadi kita membelalakan mata terus menerus. Akibatnya mata kita
menjadi perih karenanya,” ujar Sutakil sambil mengusap matanya yang terasa
berair.
“Kita
istirahat dulu sebentar. Setelah itu kita membangun pondok dan menyiapkan makan
siang,” ujar Sutakul.
“Setelah
makan siang kita berkeliling pulau ini untuk mengamati situasi.”
Hari
masih hujan ketika Sutakil dan Sutakul merambah semak-semak di sekeliling Pulau Kaget. Keduanya masih tampak
bersemangat meskipun seluruh tubuhnya sudah basah kuyup sejak dalam perjalanan
tadi.
“Nah,
itu ada pohon ulin,” tunjuk Sutakil sambil menunjuk ke arah timur. “Coba kita
lihat lebih dekat. Siapa tahu memenuhi syarat untuk tiang guru masjid.”
“Ayo!”
ujar Sutakul.
Ternyata
pohon ulin itu memang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tiang guru
masjid. Tingginya sekitar 20 meter dan besarnya tidak kurang dari sepemeluk.
Sutakul segera menorehkan mandaunya pada kulit pohon ulin dimaksud, ia sengaja
menandainya agar dapat ditemukan dengan
mudah jika mereka akan menebangnya besok pagi. Setelah itu keduanya melanjutkan
rambahannya hinga masuk ke tengah-tengah Pulau Kaget. Pada hari itu juga mereka
berhasil menandai empat batang pohon ulin yang mereka cari.
Pulau
Kaget yang terletak persis di tengah-tengah Sungai Barito ini memang merupakan
habitat asli pohon ulin. Ratusan atau bahkan ribuan batang pohon ulin berukuran
besar dan tinggi tumbuh di sini. Pulau
Kaget merupakan wilayah rambahan yang kaya raya dengan hasil hutannya. Namun,
belum banyak dirambah orang hasil hutannya. Pulau Kaget terkenal sebagai pulau
yang angker. Pulau ini konon ditunggui oleh dua orang jin kapir, yakni :
Maskabal dan Maskabil. Konon, pasangan jin kapir ini sangat usil dan suka
mengganggu siapa saja yang berani memasuki wilayah kekuasaannya ini. Pada pucak
kemarahannya pasangan jin kapir ini bisa mengubah wujudnya menjadi naga sungai
yang ganas. Sudah banyak orang yang
tewas secara mengenaskan akibat keganasan pasangan jin kapir penunggu pulau
ini. Bahkan perahu layar yang sekadar melintas di sana juga banyak yang mengalami kecelakaan
akibat ulah usil Maskabal dan Maskabil.
Sutakil
dan Sutakul bukannya tidak mengetahui cerita itu. Keduanya sengaja datang ke
Pulau Kaget dengan dua tujuan sekaligus, yakni
untuk mencari kayu ulin sebagaimana yang dikehendaki oleh Sultan
Suriansyah dan sekaligus juga untuk
menjajal kesaktiannya melawan jin kapir Maskabal dan Maskabil. Sutakil dan Sutakul sudah merencanakan untuk mengalahkan penunggu
Pulau Kaget itu dan kemudian memperbudaknya sebagai pembawa kayu ulin hasil
rambahannya dari Pulau Kaget ke lokasi
pembangunan masjid di kota Muara Banjar. Keduanya sudah membayangkan bahwa
namanya akan langsung harum, kesohor dan dihormati orang jika berhasil
mengalahkan Maskabal dan Maskabil, sekaligus juga berhasil memenangkan
sayembara pencarian kayu ulin untuk tiang guru masjid dimaksud.
“Ular!”
pekik Sutakil.
“Ciaaat!”
dengan refleks Sutakul melompat ke belakang dan menebaskan mandaunya ke arah
datangnya serangan mendadak itu. Pras ... sedetik kemudian ular “tangkal baju”
yang menyerangnya dari arah atas pohon ulin itu menggelepar-gelepar dengan
kepala putus di rumput tak jauh dari mata kaki Sutakul. Darah segar tampak
muncrat dari leher binatang melata yang terpotong secara telak oleh sabetan
mandau Sutakul.
“Bukan
main!” puji Sutakil melihat kegesitan permainan mandau saudara kembarnya itu.
Sutakul sendiri tampaknya sangat menikmati pujian itu. Hidungnya yang bangir
terlihat semakin membesar saja.
“Untunglah,
naluri kependekaranku masih tetap terpelihara dengan baik. Jika tidak, pastilah
tubuhku sudah matang biru dan kejang-kejang karena terkena patukan ular
“tangkal baju” yang terkenal amat ganas bisanya itu.”
Ular
“tangkal baju” memang adalah ular yang terkenal ganas bisanya. Binatang melata
ini sendiri tidak begitu besar ukurannya tubuhnya. Cuma seukuran ibu jari anak
balita saja, tetapi bisa ular berbelang hitam putih ini sanggup membunuh seekor
buaya besar hanya dengan sekali patukan saja. Buaya besar yang terkena patukan
ular “tangkal baju” ini akan tewas
secara mengenaskan hanya dalam tempo beberapa menit saja. Apa lagi jika yang
terkena patukannya adalah seorang manusia biasa yang tidak sakti mandraguna.
“Ular!”
kali ini Sutakul yang berteriak.
“Ciaaat!
Sutakil beraksi.
“Hahaha
.... gayamu boleh juga, Kil,” teriak Sutakul sambil tertawa sambil menyaksikan
betapa tebasan mandau Sutakil cuma mengenai ranting pohon saja. Sementara ular
berbisa yang ditebasnya tidak nampak sedikit pun di tempat itu. Ketika itu
Sutakul memang cuma bergurau saja. Ular yang diteriakkannya tadi sebenarnya
tidak ada, ia cuma ingin menggoda Sutakil saja. Ternyata Sutakil menanggapinya
dengan serius.
“Hahaha
...,” Sutakul masih tergelak.
“Kau
ini memang suka bergurau, Kul” ujar Sutakil geram.
“Hahaha
....”
“Ayolah,
kita kembali ke pondok. Hari sudah sangat sore.”
Sepanjang
jalan menuju ke pondok, Sutakul masih tetap tergelak. Memang, begitulah yang
selalu dilakukannya setiap kali berhasil mengolok-olok saudara kembarnya
Sutakil.
Sementara
itu hujan masih tetap turun membasahi dedaunan yang tampak lebih hijau
karenanya. Langit yang gelap karena diliputi hujan ketika itu sepertinya telah mempercepat datangnya senja
di Pulau Kaget yang angker itu.
Sulit
dipercaya Sutakil dan Sutakul bisa tidur dengan lelapnya pada malam itu. Mulai
dari lepas senja hingga besok pagi berikutnya keduanya tidur pulas tanpa
gangguan sedikit pun. Padahal Pulau Kaget tempatnya bermalam bukanlah tempat
yang ramah. Tapi adalah tempat yang angker karena banyak dihuni jin kapir yang
usil dan suka berbuat onar.
“Ke
mana perginya jin keparat itu, ya?!” tanya Sutakil dengan nada menantang.
“Entahlah,
Kil. Aku juga bingung. Padahal konon katanya pasangan jin kapir itu suka
mengganggu orang. Nyatanya hingga pagi ini
kita berdua tetap aman-aman saja.”
“Ya,
ya. Padahal kita justru mengharapkan gangguan
mereka.”
“Mungkin
pasangan jin kapir itu sudah mengetahui kehebatan kita, sehingga keduanya
langsung lari terbirit-birit begitu kita mendarat di pulau ini,” ujar
Sutakul tak kalah sombongnya.
“Hahaha.
Dasar jin kapir pengecut. Belum apa-apa sudah lari terbirit-birit!.”
Ironis.
Jika orang lain akan bersyukur jika tidak diganggu Maskabal dan Maskabil,
sebaliknya Sutakil dan Sutakul justru menantangnya untuk diganggu. Sutakil dan
Sutakul sengaja minta diganggu agar keduanya bisa menjajal kekuatan magis “isim
kajim malim”. Keduanya sengaja mengeluarkan kata-kata sombong dengan nada
menantang seperti itu. Tujuannya tidak lain untuk memanaskan hati Maskabal dan Maskabil agar jin kapir itu
marah besar, lalu terpancing untuk menunjukkan batang hidungnya di hadapan
Sutakil dan Sutakul.
“Isim
kajim malim” adalah mantera penakluk jin yang sangat besar kekuatan magisnya.
Bila Sutakil dan Sutakul sudah
merapalkan manteranya ini, maka jin kapir yang terkena kekuatan magisnya
akan langsung terkapar tanpa daya. Setelah ditaklukan, jin kapir dimaksud akan
diperbudak untuk mengerjakan tugas-tugas berat. Tugas berat yang paling sering
dibebankan Sutakil dan Sutakul pada jin taklukan mereka adalah mengangkat
ramuan hasil hutan yang begitu berat. Ramuan hasil hutan itu harus diangkat dan
diangkut dari tengah hutan tempat mereka meramu hasil hutan hingga sampai ke
Desa Mantuil tempat tinggal mereka.
Sutakil
dan Sutakul sudah merencanakan akan menaklukkan Maskabal dan Maskabil dengan
mantera “isim kajim malim”. Setelah berhasil ditaklukan, jin kapir itu akan
mereka paksa untuk menebang empat batang pohon ulin yang sudah mereka beri
tanda kemarin sore. Setelah ditebang, cabang dan rantingnya harus dibersihkan
dan setelah itu baru diangkat untuk kemudian diangkut dari Pulau Kaget ke
lokasi pembangunan masjid.
Sudah
sejak tadi kegelapan malam menyungkup Pulau Kaget. Tapi, Sutakil dan Sutakul
masih tampak duduk mengobrol di luar pondok. Mereka mengobrol sambil
menghangatkan badan di depan api unggun yang mereka nyalakan dari tumpukan
ranting kayu dan potongan kulit pohon ulin bekas tebangan mereka.
“Tak
terasa sudah 7 hari kita berada di pulau ini. Padahal, kita sudah merencanakan
akan berada di sini paling lama 4 hari
saja. Ternyata setiap batang pohon ulin harus kita tebang dan bersihkan selama
2 hari. Bahkan, untuk menebang pohon ulin yang terakhir, kita memerlukan waktu
4 hari penuh,” ujar Sutakil menggerutu.
“Ya.
Pohon ulin yang ke-empat itu memang lebih keras dibandingkan pohon ulin yang
lain.”
“Bisa
jadi jenisnya memang berbeda dengan pohon ulin lainnya.”
“Mungkin
juga. Warna getahnya lebih merah dan baunya lebih amis.”
“Ya.
Warna dan bau getahnya mirip darah.”
“Kul,
mulai besok kita harus puasa.”
“Puasa?!”
“Ya.
Bekal kita sudah habis sejak sore tadi.”
Tiba-tiba
Sutakul mencium bau sesuatu yang menyengat hidung.
“Bau
apa ini, Kil?”
“Entahlah,
Kul. Seperti bau daging terbakar.”
“Ya.”
“Coba
kau periksa api unggun itu, Kul. Mungkin ada bangkai kambing terpanggang di
sana.”
“Hahaha,
kau ini ada-ada saja, Kil. Masa ada kambing berkeliaran di sini.”
“Siapa
tahu Maskabal dan Maskabil berternak kambing di sini?”
“Maksudmu,
kambing yang tidak kasat mata.”
“Ya.
Begitulah.”
“Coba
kuperiksa,” ujar Sutakul sambil berdiri dan segera berjalan ke arah api unggun
itu. “Aduh!”, jerit Sutakul. Malang baginya, kakinya tanpa sengaja tersepak
bekas sisa tebangan kulit pohon ulin yang berserakan di sekitar api unggun.
Potongan kulit pohon ulin yang tersepak itu langsung melesat masuk ke dalam
api. Aneh bin ajaib, begitu terbakar, potongan kulit pohon ulin itu
mengeluarkan bau harum daging ular terpanggang.
“Ada
apa, Kul.”
“Kakiku
tersepak potongan kulit pohon ulin itu,” tunjuk Sutakul.
Sutakil
dan Sutakul saling berpandang-pandangan begitu mencium bau daging ular
terpanggang yang berasal dari bakaran potongan kulit pohon ulin tersebut.
“Bau
harum daging ular panggang itu berasal dari sini,” ujar Sutakul sambil
mengambil potongan kulit pohon ulin itu dari dalam api unggun. Lalu Sutakul
menggigitnya.
“Hei,
benar. Bau harum daging ular panggang itu memang berasal dari potongan kulit
pohon ulin ini. Rasanya juga seperti daging ular panggang,” ujar Sutakul lagi.
“Ah.
Masa, Kul.”
“Silahkan
coba sendiri.”
“Wah,
benar, Kul. Coba kita garami. Kemudian panggang dan rasakan,” ujar Sutakil.
Benar
saja, setelah diberi garam lalu dipanggang di atas api unggun bekas potongan
pohon ulin itu mengeluarkan bau harum daging ular panggang dan setelah
dicicipinya rasanya juga enak seperti daging ular panggang.
Begitulah,
tanpa menaruh syakwasangka sama sekali Sutakil dan Sutakul yang sedang
kelaparan itu mulai memunguti, menggarami, memanggangi dan memakani bekas
potongan kulit pohon ulin itu. Saking laparnya, Sutakil dan Sutakul tidak
sempat berpikir panjang lagi mengapa
potongan pohon ulin itu berbau harum dan rasanya enak seperti daging ular
panggang. Setelah kekenyangan keduanya langsung masuk pondok dan tertidur
dengan pulasnya.
Keesokan
harinya, Sutakil dan Sutakul terbangun dari tidurnya.
“Hei,
kau sekarang berkumis, Kul!”
“Berkumis?
Hei, kau juga, Kil!”
“Hei,
kau bertaring, Kul!”
“Bertaring?
Kau juga, Kil!”
“Kau
berubah rupa, Kul!”
“Kau
juga, Kil!”
“Kau
jadi naga, Kul!”
“Kau
juga!”
“Hah,
aku jadi naga?!”
“Ya!”
“Hah,
kita berdua jadi naga, Kul!”
“Ya!”
“Tidaaak!”
Aneh
bin ajaib. Sutakil dan Sutakul berubah wujud menjadi naga. Mula-mula kepalanya
berubah wujud dari manusia menjadi naga. Kemudian kaki dan tangannya. Selanjutnya
tubuh mereka mulai ditumbuhi sisik sedikit demi sedikit hingga akhirnya
keseluruhan tubuh keduanya bersisik. Kini Sutakil dan Sutakul telah sempurna
berubah wujud menjadi naga.
“Hahaha!”
tiba-tiba terdengar suara tawa menggema keras sekali. Sutakil dan Sutakul
segera memandang ke arah asal suara nun jauh di sana di pucuk pohon ulin yang menjulang tinggi.
“Siapa
kau?!” tanya Sutakil.
“Aku
Maskabal dan ini Maskabil!”
“Hah?.
Maskabal Maskabil penunggu pulau ini?!”
“Hahaha.
Begitulah anak muda. Kalian berdua telah tertipu!”
“Tertipu?!”
tanya Sutakul.
“Ya.
Kalian berdua telah memakan potongan kulit pohon ulin yang sengaja kami pasang
sebagai jebakan ketika kalian sedang tertidur pulas. Potongan kulit pohon ulin
yang kalian panggang dan makan itu sudah kami olesi dengan sejenis minyak yang
bila ditelan manusia akan membuat manusia itu berubah wujud menjadi naga
seperti kami,” jelas Maskabal.
“Hahahaha.
Itulah hukuman bagi kalian yang telah banyak mencelakakan bangsa jin di masa
lalu. Sekarang, rasakanlah pembalasan kami. Hahahaha,” ujar Maskabil
menambahkan.
“Kurang
ajar!” teriak Sutakil sambil mengibaskan ekornya ke arah pohon ulin tempat
Maskabal dan Maskabil berada. Tapi sia-sia karena pasangan jin kapir itu segera
mengubah wujudnya menjadi asap putih yang segera membubung tinggi ke langit.
Maskabal dan Maskabil tertawa penuh kemenangan. Lalu hilang tak bisa dilihat
mata telanjang.
Menurut
ceritanya, begitu mengetahui bahwa pasangan Sutakil dan Sutakul akan datang ke
Pulau Kaget untuk menebang empat batang pohon ulin yang tumbuh di tempat
kediamannya, Maskabal dan Maskabil
segera mengubah wujudnya menjadi 2 batang pohon ulin yang tumbuh
berdekatan. Itulah pohon ulin yang ditebang terakhir kali oleh Sutakil dan
Sutakul. Pohon ulin itu sangat keras sehingga sulit ditebang, getahnya berwarna
merah semerah darah dan baunya juga amis seamis darah. Sudah seminggu lebih
Sutakil dan Sutakul bekerja menebang pohon ulin dimaksud, tapi keduanya tidak
juga berhasil menumbangkannya.
Kini
tinggallah Sutakil dan Sutakul meratapi diri sambil menyesali nasib buruknya.
Keduanya lalu saling menyalahkan.
“Ini
semua gara-gara kamu, Kil.”
“Jangan
menyalahkanku, Kul. Ini salah kita berdua yang tidak waspada.”
“Kaulah
yang mengajakku memakan panggangan potongan kulit pohon ulin itu.”
“Ya,
benar. Tetapi mengapa kau mau kuajak memakannya?”
“Aku
lapar sekali ketika itu, Kil.”
“Sama
aku juga lapar.”
“Aduh,
malang benar nasib kita, Kul.”
“Sabarlah, Kil. Kita terima musibah ini
sebagai takdir yang tak bisa dihindari.”
“Sabar!
Sabar! Aku tak mau jadi naga, tahu?!”
“Aku
juga tak mau jadi naga. Tapi apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur.”
“Ah!.
Kau memang banyak bicara, Kul,” teriak Sutakil sambil mengibaskan ekornya
dengan penuh kemarahan ke arah Sutakil. Sutakil menghindar sambil mengibaskan
ekornya sebagai balasan ke arah Sutakul.
Begitulah,
setelah bosan adu mulut keduanya lalu adu cakar dan adu kibas. Perkelahian itu
berlangsung dengan serunya, tidak ada yang mau mengalah, sebaliknya berusaha
saling mengalahkan. Akibat perkelahian seru itu Pulau Kaget menjadi
porak-poranda, Sungai Barito bergelora
dan sebagian besar wilayah pesisir Kerajaan Banjar segera tenggelam
diterjang gelombang pasang yang berkecamuk ganas akibat perkelahian itu. Banyak
rumah penduduk kota Muara Banjar yang rusak berat dan korban pun berjatuhan
akibat gelombang pasang yang menerjang perkampungan mereka yang terletak di
tepi kiri dan kanan Sungai Barito.
Sultan
Suriansyah segera memberlakukan keadaan darurat di wilayah Kerajaan Banjar. Ia
lalu memanggil para pejabat tinggi kerajaan untuk bersidang membahas bencana
alam yang menimpa Kerajaan Banjar.
Selain Patih Masih, sidang darurat itu juga dihadiri para pejabat
Manteri Ampat yang terdiri dari Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung
Manau dan Garuntung Waluh. Manteri Ampat adalah empat tokoh sakti mandraguna
yang menjadi kepala keamanan di empat penjuru negeri Kerajaan Banjar.
“Panimba
Sagara, apakah gelombang pasang ini berasal dari ulah anak buah Pangeran
Temenggung yang ingin membalas dendam?,” tanya Sultan Suriansyah.
“Ampun,
paduka. Hamba belum mengetahuinya secara pasti.”
“Mungkin,
Pambalah Batung sudah mengetahuinya?”
“Ampun
paduka. Hamba juga belum mengetahuinya.”
“Bagaimana
dengan Garuntung Manau dan Garuntung Waluh?”.
“Ampun,
paduka. Kami berdua juga demikian adanya.”
“Belum
mengetahuinya juga?”
“Ampun,
paduka. Begitulah adanya.”
“Kalau
begitu. Kalian berempat kuperintahkan untuk menyelidiki asal muasal terjadinya
gelombang pasang yang bergelora ini.”
“Ampun,
paduka. Kami segera berangkat.”
Setelah
diketahui bahwa gelombang pasang Sungai Barito yang bergelora itu berasal dari Pulau Kaget tempat terjadinya
perkelahian hidup mati antara naga jelmaan Sutakil dan Sutakul, maka rombongan
Manteri Ampat itu segera berangkat ke tempat kejadian perkara.
Ketika
rombongan Manteri Ampat itu tiba di Pulau Kaget, naga jelmaan Sutakil dan
Sutakul masih berkelahi dengan serunya. Jika tidak segera dilerai oleh Panimba
Sagara dan kawan-kawannya, pastilah salah satu atau bahkan keduanya akan tewas
sebagai korban dalam perkelahian hidup mati itu.
Begitu
tiba di tempat kejadian perkara, Panimba Sagara langsung mengeluarkan
kesaktiannya mengeringkan lokasi perkelahian. Ternyata naga jelmaan Sutakil dan
Sutakul tidak begitu leluasa mengibaskan ekornya jika mereka berkelahi di
tempat kering. Gerakannya tampak melemah dan tidak gesit lagi, ketika
itulah Garuntung Manau beraksi menangkap
Sutakil dan Garuntung Waluh beraksi
menangkap Sutakul. Pada saat yang bersamaan Panimba Sagara memukul kepala
Sutakil dengan telak dan Pambalah Batung memukul kepala Sutakul tak kalah
telaknya.
“Ampun,
punggawa. Ampuni, kami. Jangan sakiti kami. Kami sudah banyak menderita” ujar
Sutakil dan Sutakul menghiba-hiba.
Panimba
Sagara dan kawan-kawannya saling berpandang-pandangan. Mereka heran kedua naga
itu ternyata bisa bicara.
“Siapa kalian!” bentak Panimba Sagara dengan penuh
wibawa
“Hamba
Sutakil.”
“Dan
kamu?”
“Hamba
Sutakul.”
“Kenapa
kalian berkelahi?”
Sutakil
segera menceritakan apa yang terjadi sejak awal hingga akhir.
“Tahukah
kalian. Akibat perkelahian ini air Sungai Barito bergelora. Gelombang pasang
yang ditimbulkannya telah memporak-porandakan rumah-rumah penduduk yang berada
di tepi kiri dan kanan Sungai Barito dan Sungai Kuin,” ujar Panimba Sagara.
“Ampuni
kami, punggawa,” ujar Sutakil dan Sutakul.
“Kalian
kuampuni. Bahkan, keadaan kalian juga akan kupulihkan seperti sedia kala.”
“Kami
berdua akan menjadi manusia kembali?”
“Ya.
Tapi dengan syarat.”
“Apa
syaratnya punggawa?”
“Kalian
dalam keadaan masih berwujud naga jelmaan ini harus membawa 2 batang pohon ulin
tebangan kalian ini ke kota Muara Banjar. Setibanya di kota Muara Banjar,
barulah wujud kalian akan kupulihkan kembali
menjadi manusia seperti sedia kala.”
“Bagaimana
dengan hadiah uang yang dijanjikan oleh Sultan Suriansyah untuk 2 batang pohon
ulin yang akan kami bawa ke kota Muara Banjar.”
“Akan
tetap dibayarkan oleh Sultan Suriansyah sesuai dengan janji beliau yang
diucapkan sebagai sabda pandita ratu yang tak mungkin diubah dan diingkari
lagi.”
“Lalu
apa imbalan yang punggawa minta untuk bantuannya memulihkan wujud kami berdua?”
“Aku
minta imbalan yang besarnya setara dengan
hadiah uang yang akan diberikan oleh Sultan Suriansyah untuk 1 batang
pohon ulin yang kalian bawa ini.”
“Wah,
terlalu besar, punggawa.”
“Imbalan
uang itu bukan untukku tapi untuk membantu para penduduk membangun kembali
rumahnya yang porak-poranda karena diterjang gelombang pasang Sungai Barito
yang terjadi akibat ulah kalian berdua.”
“Baiklah
kalau begitu. Kami berdua setuju.”
Siang
itu juga, Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Waluh dan Garuntung Manau
bergotong-royong membuat 2 buah rakit bambu. Setelah selesai 2 batang pohon
ulin hasil tebangan Sutakil dan Sutakul dinaikan ke rakit bambu dan pada malam
harinya digiring ke lokasi pembangunan masjid di pusat kota Muara Banjar.
Rakit
bambu berisi 2 batang pohon ulin itu sengaja digiring pada malam hari, selain
menunggu air pasang, juga dimaksudkan agar penduduk yang tinggal di tepi kiri
dan kanan Sungai Barito tidak ada yang
menyaksikan bagaimana rakit bambu itu digiring oleh dua ekor naga jelmaan
Sutakil dan Sutakul. Panimba Sagara dan kawan-kawan khawatir jika peristiwa
langka itu pada akhirnya akan menimbulkan kehebohan yang tidak perlu di
kalangan para penduduk yang menyaksikannya.
Pemulihan
wujud Sutakil dan Sutakul juga sengaja dilakukan Panimba Sagara setelah naga
jelmaan itu menunaikan tugasnya membawa 2 batang pohon ulin itu dari Pulau
Kaget ke kota Muara Banjar. Jika wujud Sutakil dan Sutakul langsung dipulihkan
ketika masih berada di Pulau Kaget, maka kekuatan fisiknya sebagai manusia
tidak mungkin bisa dimanfaatkan untuk menggiring rakit bermuatan 2 batang pohon
ulin yang berbobot sangat berat itu. Sebaliknya jika Sutakil dan Sutakul masih
berwujud 2 ekor naga jelmaan maka kekuatan fisiknya akan jauh lebih besar
dengan kekuatan fisiknya sebagai 2 orang manusia biasa. Selain itu, wujud
Sutakil dan Sutakul juga tidak bisa dipulihkan secara serta merta, karena untuk
itu Panimba Sagara dan kawan-kawannya terlebih dahulu harus berhasil menaklukan
Maskabal dan Maskabil sebagai pemilik kutukan yang membuat Sutakil dan Sutakul
berubah wujud menjadi 2 ekor naga jelmaan.
Sultan
Suriansyah merasa lega ketika menerima laporan dari Panimba Sagara bahwa
gelombang pasang yang memporak-porandakan perkampungan di tepi Sungai Barito
itu sudah berhasil diatasi sebagaimana mestinya. Ketika dibawa menghadap Sultan
Suriansyah untuk menerima hadiah uang atas prestasinya yang berhasil
mendapatkan 2 batang pohon ulin, Sutakil dan Sutakul sudah berubah wujud
menjadi manusia kembali. Mengenai hal ini Sultan Suriansyah juga telah
mengetahuinya melalui laporan yang disampaikan oleh Panimba Sagara.
Penyerahan
hadiah uang bagi Sutakil dan Sutakul diserahkan langsung oleh Sultan Suriansyah
dan disaksikan oleh segenap petinggi Kerajaan Banjar lainnya. Sutakil dan
Sutakul dielu-elukan sebagaimana layaknya 2 orang pahlawan yang baru pulang
dari medan pertempuran setelah meraih kemenangan yang gilang-gemilang.
Setelah
diselidiki secara seksama barulah diketahui bahwa jin kapir Maskabal dan
Maskabil ternyata adalah kaki tangan Pangeran Temenggung juga.
...selanjutnya?
Klik Daftar Isi atau Bagian Lima
0 comments:
Post a Comment