Sehari setelah penobatannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di Kerajaan Banjar dan menyatakan dirinya telah memeluk agama Islam pada tanggal 24 September 1526, Sultan Suriansyah menyelenggarakan sidang paripurna kerajaan yang dihadiri oleh segenap petinggi Kerajaan Banjar. Pada kesempatan itu ia secara terbuka mengajak agar para petinggi kerajaan yang masih memeluk agama nenek moyang agar segera mengikuti jejaknya memeluk agama Islam.
“Ajakan ini aku sampaikan dengan pertimbangan, kelak jika kita
sudah seiman seagama maka akan mudah bagiku untuk menjalin kerja sama dalam
menjalankan roda pemerintahan di Kerajaan Banjar ini,” ujar Sultan Suriansyah.
Ajakan itu disambut dengan wajah berseri-seri oleh para petinggi
Kerajaan Banjar yang memang sudah berniat untuk meninggalkan agama nenek
moyangnya dan memeluk agama Islam. Sementara itu para petinggi Kerajaan Banjar
yang masih belum memeluk agama Islam tampak saling berpandang-pandangan satu
sama lainnya.
“Tentu saja ajakan ini cuma
bersifat anjuran saja, bukan perintah yang harus ditaati. Meskipun agama Islam
adalah agama resmi di Kerajaan Banjar, namun pihak kerajaan tidak akan memaksa
warganya untuk memeluk agama Islam,” lanjut Sultan Suriansyah.
Para petinggi Kerajaan Banjar yang masih memeluk agama nenek
moyangnya tampak lega mendengar penegasan Sultan Suriansyah itu.
“Sekali lagi saya tegaskan bahwa Kerajaan Banjar membebaskan
rakyatnya untuk memeluk agama yang sesuai dengan keyakinan hati nuraninya
masing-masing. Tidak ada paksaan dan ancaman dalam beragama.”
Menurut ceritanya, setelah selesai mengikuti sidang paripurna
kerajaan yang dipimpin langsung oleh Sultan Suriansyah, Pambalah Batung,
Garuntung Manau dan Garuntung Waluh tidak langsung pulang ke rumahnya
masing-masing, tetapi singgah dulu ke kediaman resmi Panimba Sagara sebagai Panglima Perang Kerajaan Banjar.
“Kakanda Panimba Sagara, kami bertiga sengaja datang ke mari untuk
membicarakan tentang sikap kita sebagai sesama pemeluk agama nenek moyang
berkaitan dengan ajakan Paduka Sultan agar kita mengikuti jejaknya memeluk
agama Islam?” ujar Pambalah Batung memulai pembicaraan.
“Aku akan tetap memeluk agama nenek moyang kita,” jawab Panimba
Sagara.
“Seandainya Paduka Sultan memaksa kita?” tanya Garuntung Waluh.
“Aku yakin Paduka Sultan tidak akan memaksa kita semua untuk
mengikuti jejaknya sebagai pemeluk agama
Islam,” ujar Panimba Sagara.
“Tapi, siapa tahu, kak?”
“Aku akan tetap pada pendirianku. Aku lebih suka kehilangan baju
berpangkat jenderal ini dari pada harus pindah agama. Aku bahkan tak peduli
jika harus terusir dari tanah airku ini. Hal itu lebih baik bagiku dari pada
harus pindah agama,” tegas Panimba Sagara.
“Ya. Aku juga demikian,” ujar
Pambalah Batung spontan.
“Aku juga!” ujar Garuntung Manau dan Garuntung Waluh.
Setelah cukup lama saling berdiam diri dibuai oleh pikirannya
masing-masing. Pambalah Batung kembali memecah kebisuan itu dengan
pertanyaannya kepada Panimba Sagara.
“Mungkin kakanda bisa menjelaskan mengapa Sultan Suriansyah sampai
terjerat perjanjian yang merugikan agama kita dengan Sultan Terenggono?”
“Paduka Sultan terpaksa mengikat perjanjian yang demikian itu
karena didesak oleh situasi dan kondisi buruk yang dialami oleh pasukan perang
kita. Kota Muara Banjar ketika itu sudah dikepung ketat oleh pasukan perang
Pangeran Temenggung. Atas saran Patih Masih, Paduka Sultan kemudian meminta
bantuan pasukan perang kepada Sultan
Terenggono. Permintaan itu disetujui Sultan Terenggono dengan syarat Paduka
Sultan bersedia memeluk agama Islam. Tidak ada pilihan lain bagi Paduka Sultan
kecuali menyetujui syarat itu.”
“Tapi, keputusan politik Paduka Sultan itu berdampak buruk bagi
kelangsungan hidup agama kita. Bila selama ini agama kita berstatus sebagai
agama resmi kerajaan, kini status itu telah diambil alih oleh agama
Islam.”
“Kalau begitu Paduka Sultan telah membayar terlalu mahal untuk
kemenangannya dalam perang saudara melawan Pangeran Temenggung ini,” komentar
Garuntung Waluh agak pedas.
“Maksud adinda?” tanya Panimba Sagara.
“Ya, untuk kemenangannya itu Paduka Sultan terpaksa pindah agama.”
“Memang. Tapi, keputusan Paduka Sultan meminta bantuan pasukan
perang kepada Sultan Terenggono adalah keputusan politik yang benar. Sulit
dibayangkan pasukan perang kita bisa mengalahkan pasukan perang Pangeran
Temenggung jika tidak dibantu oleh 2.000 orang anggota pasukan perang dari
Kerajaan Demak.”
“Memang. Tapi, adinda sependapat dengan Garuntung Waluh bahwa
Paduka Sultan terlalu mahal membayar bantuan pasukan perang dari Kerajaan Demak
itu. Bayangkan saja, untuk bantuan pasukan perang sebanyak 2.000 orang itu,
Paduka Sultan harus mengubah status agama nenek moyang kita dari agama resmi kerajaan menjadi agama
yang tidak jelas lagi statusnya sekarang ini,” ujar Garuntung Manau.
“Ya, seolah-olah agama yang kita anut secara turun temurun sejak
zaman nenek moyang dahulu tak lebih berharga dibandingkan 2.000 orang anggota
pasukan perang dari Kerajaan Demak. Sungguh ini suatu penghinaan yang tidak
tanggung-tanggung!” kali ini Garuntung Waluh yang bicara.
“Aku juga merasa demikian, Panimba Sagara. Merasa terhina sekali,”
ujar Pambalah Batung menimpali pembicaraan Garuntung Manau dan Garuntung Waluh.
“Pada mulanya kita bertempur untuk menegakkan sabda pandita ratu mendiang
Maharaja Sukarama. Ironisnya, setelah sabda pandita ratu mendiang Maharaja
Sukarama berhasil ditegakan kita justru kehilangan kesempatan mempertahankan
status agama kita sebagai agama resmi kerajaan.”
“Paduka Sultan memang tengah berada dalam posisi sulit ketika itu.
Pasukan perang kita sudah sangat terdesak, kota Muara Banjar sudah dikepung dari
8 penjuru angin. Ini berarti, jika Paduka Sultan menolak syarat yang diajukan
Sultan Terenggono, maka hampir bisa dipastikan kita akan menderita kekalahan
dalam perang saudara itu,” ulas Panimba Sagara menanggapi komentar-komentar
pedas yang dilontarkan oleh Pambalah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung
Waluh.
“Sultan Suriansyah memang seorang politikus sejati,” ujar
Garuntung Waluh.
“Maksud adinda?” tanya Panimba Sagara.
“Dalam situasi sulit, seorang politikus lebih suka mencari
selamat, tak peduli jika untuk memperoleh keselamatan itu ia harus menghalalkan
segala cara atau harus mengorbankan apapun juga, tak terkecuali juga menukar
keyakinan agama. Bagi seorang politikus, menang adalah menang, terhormat atau
tidak terhormat. Kalah adalah kalah, terhormat atau tidak terhormat. Bagi
seorang politikus, tidak ada yang lebih menyakitkan hati selain kekalahan. Bagi
mereka, jauh lebih baik menang secara tidak terhormat dari pada kalah secara
terhormat.”
Setelah memeluk agama Islam dan mempelajari seluk-beluknya dari
Khatib Dayan, Sultan Suriansyah sampai pada kesimpulan bahwa agama Islam adalah
agama yang penuh rahmat. Disemangati oleh keinginan agar semakin banyak saja
warganya yang bisa merasakan rahmat sebagaimana yang dirasakannya, maka dalam
berbagai kesempatan berpidato di hadapan rakyatnya Sultan Suriansyah selalu
menyelipkan ajakan agar mereka ikut memeluk agama Islam sebagaimana dirinya
sendiri.
Tanpa disadarinya, ajakan yang begitu sering disampaikannya itu
membuat resah sebagian kecil pejabat tinggi Kerajaan Banjar yang hatinya masih
belum terbuka untuk menerima agama Islam sebagai agamanya yang baru.
“Sekarang, bagaimana sikap kita menanggapi ajakan Paduka Sultan
yang semakin sering disampaikan secara terbuka itu. Apakah kita harus
memenuhinya, ataukah kita menolaknya dan melarikan diri menjauhi kota Muara
Banjar?” tanya Pambalah Batung kepada Panimba Sagara.
“Kita sebaiknya melarikan diri saja,” jawab Panimba Sagara.
“Lalu, bagaimana dengan adik-adik kita Garuntung Manau dan
Garuntung. Apakah keduanya kita ajak serta?”
“Tentu saja kita ajak. Ayo segera hubungi keduanya. Setelah
semuanya siap kita lari bersama-sama,” perintah Panimba Sagara.
Keesokan harinya kota Muara Banjar heboh tiada terkira. Berita
bahwa Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung Waluh
telah meninggalkan tempat kediaman resminya masing-masing telah beredar luas ke
seanteor wilayah Kerajaan Banjar. Tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, ke
mana perginya mereka. Jangan kata para tetangganya, sanak keluarganya yang
terdekat saja tidak ada yang mengetahui ke mana
dan mengapa mereka pergi?
Sultan Suriansyah sangat terkejut menerima berita itu. Tidak hanya
terkejut, tapi juga terpukul dan sangat bersedih karenanya.
Saking sedihnya, maka dalam satu minggu terakhir ini Sultan
Suriansyah terlihat lebih banyak termenung dan mengurung diri di dalam Istana
Kuin. Biasanya, dari pagi hingga sore ia
selalu sibuk bekerja, menerima tamu dan berbicara akrab dengan para petinggi
Kerajaan Banjar yang datang menghadap. Selama seminggu itu pula Sultan
Suriansyah tidak mau diganggu oleh siapa pun juga termasuk oleh Patih Masih,
penasehat utamanya.
Masalah pelarian 4 petinggi Kerajaan Banjar ini tampaknya
merupakan masalah pelik yang sulit diatasi oleh Sultan Suriansyah. Terbukti
masalah ini telah mengganggu irama kehidupannya sebagai raja di raja Tanah
Banjar. Sejumlah agenda resmi kerajaan ditunda pelaksanaannya bahkan
dibatalkan. Salah satu agenda resmi yang ditunda pelaksanaannya adalah
pemancangan tonggak-tonggak tiang guru masjid yang sudah lama direncanakannya.
Padahal, pohon ulin yang akan dipergunakan sebagai tiang guru masjid dimaksud sudah siap dan
tinggal dipancangkan saja. Dua batang pohon ulin dimaksud berasal dari Sutakil
dan Sutakul, dan 2 batang pohon ulin lainnya lagi berasal dari Lamitak. Tukang
pancangnya juga sudah siap, yakni 4 tokoh sakti mandraguna yang terkenal
memiliki kekuatan supranatural mampu mengangkat dan memancangkan tonggak ulin
sebesar dan seberat apapun juga, mereka adalah Aria Malangkan, Patih Balit,
Patih Mahit, dan Patih Muhur.
Pemancangan tiang guru masjid dimaksud sengaja ditunda karena Aria
Malangkan, Patih Balit, Patih Mahit dan Patih Muhur ditugaskan oleh Sultan
Suriansyah untuk menguak misteri di balik kepergian tanpa pamit 4 orang
petinggi Kerajaan Banjar. Sultan Suriansyah telah memutuskan tidak akan
memancangkan tiang guru masjid dimaksud sebelum misteri kepergian 4 petinggi
Kerajaan Banjar berhasil dikuakannya.
Kepergian 4 petinggi Kerajaan Banjar itu sangat mencurigakan karena
dilakukan tanpa pamit kepada Sultan Suriansyah. Bila kepergian mereka dari kota
Muara Banjar dilakukan dengan tujuan untuk bergabung dengan Pangeran
Temenggung, maka hal itu bisa membahayakan kelangsungan hidup Kerajaan Banjar
yang baru berusia seumur jagung.
Menyadari hal itu maka Sultan Suriansyah kemudian memerintahkan agar
penjagaan keamanan di sekeliling Istana Kuin semakin diperketat.
Setelah selama beberapa hari melakukan pencarian dengan cara ke
luar masuk hutan, turun naik gunung, menyusuri jurang, menyeberangi sungai,
danau, dan perigi, Aria Malangkan dan kawan-kawan akhirnya berhasil melacak
tempat persembunyian Panimba Sagara dan kawan-kawan.
Ternyata, Panimba Sagara dan kawan-kawan bersembunyi di atas
puncak sebuah bukit yang berhutan lebat. Tempat persembunyian mereka sulit
dilacak, tak terkecuali oleh para pelacak yang sakti mandraguna seperti Aria
Malangkan dan kawan-kawan, karena selain terletak di tempat yang sangat
tersembunyi, tempat persembunyian mereka juga dilindungi dengan penangkal-penangkal
magis yang sulit dipunahkan kekuatan supranaturalnya.
“Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung
Waluh yang aku hormati. Aku diutus oleh Paduka Sultan untuk menjemput kakanda
semuanya agar bersedia kembali ke kota Muara Banjar, karena Paduka Sultan
sangat membutuhkan tenaga kakanda
semuanya dalam menjalankan roda pemerintahan di Kerajaan banjar,” bujuk
Aria Malangkan.
“Maafkan kami, Aria Malangkan. Kami terpaksa mengasingkan diri ke
tengah hutan lebat ini karena kami kecewa dengan keputusan Paduka Sultan
melepaskan agama nenek moyang kita dan menggantinya dengan memeluk agama Islam.
Seiring dengan itu, maka status agama kita sebagai agama resmi kerajaan
langsung digugurkan oleh Paduka Sultan dan digantikannya dengan agama
Islam. Tapi, yang lebih mengecewakan
lagi adalah kenyataan bahwa Paduka Sultan tak henti-hentinya mengajak kita
semua untuk segera pindah agama dan memeluk agama Islam,” ujar Panimba Sagara
mewakili kawan-kawannya.
“Tapi, bukankah Paduka Sultan tidak pernah memaksa kakanda
semuanya agar segera pindah agama dan memeluk agama Islam. Apa yang dikatakan
oleh Paduka Sultan sifatnya cuma ajakan bukan paksaan. Kakanda semuanya tetap
dibolehkan memeluk agama nenek moyang sesuai dengan keyakinan hati nurani
kakanda semuanya?”
“Kami berempat sudah kadung tersinggung dengan keputusan politik
Paduka Sultan yang telah mempertaruhkan agama nenek moyang kami dengan nilai
taruhan yang terlalu kecil, yakni cuma setara dengan 2.000 pasukan perang
Kerajaan Demak saja.”
“Kakanda semuanya telah salah paham,” ujar Aria Malangkan.
“Terserah apa pendapatmu, adinda. Tapi, kami berempat telah
bermufakat tidak akan bersedia pulang kembali
Muara Banjar. Kami sudah senang tinggal di sini hidup sebagai seorang
petani.”
Setelah cukup lama berbincang-bincang dengan Panimba Sagara dan
kawan-kawan di tempat persembunyiannya itu, maka Aria Malangkan dan kawan-kawan
kemudian minta diri untuk pulang kembali ke Muara Banjar.
Begitu menerima laporan bahwa tempat persembunyian Panimba Sagara
dan kawan-kawan terletak di suatu tempat nun jauh di sana di salah satu puncak bukit di gugusan Pegunungan
Maratus, Sultan Suriansyah langsung memerintahkan Aria Malangkan untuk
mempersiapkan keberangkatannya ke tempat persembunyian Panimba Sagara dan
kawan-kawan. Ia ingin bertemu langsung
dengan Panimba Sagara dan kawan-kawan di tempat persembunyiannya.
Panimba Sagara dan kawan-kawan sama sekali tidak menduga bahwa
Sultan Suriansyah berkenan meluangkan waktu meninggalkan Istana Kuin, meninggalkan
tugas-tugas kenegaraan, dan bersusah-payah menemui mereka langsung di tempat
persembunyian yang sangat terpencil. Panimba Sagara dan kawan-kawan langsung
menghaturkan sembah kepada Sultan Suriansyah.
“Ampun, Paduka Sultan.”
“Silahkan pamanda semuanya berdiri,” ujar Sultan Suriansyah dengan
ramahnya.
“Ampun, Paduka Sultan.”
“Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung
Waluh yang aku hormati. Aku sudah mendengar laporan dari Aria Malangkan
mengenai keluhan pamanda semuanya terhadap berbagai keputusanku selama ini. “
“Ampun, Paduka Sultan.”
“Terutama sekali mengenai keputusanku memeluk agama Islam yang
sepintas lalu terkesan sangat berlebihan. Aku sesungguhnya bersedia melepaskan
agama nenek moyang kita bukan semata-mata karena pertimbangan politik saja.
Tapi, keputusan itu sesungguhnya lebih
bersifat pribadi. Dalam hal ini sejak lama aku sudah tertarik dan merasa cocok
dengan ajaran agama Islam. Kasusnya sama saja dengan pamanda sekalian yang
merasa lebih cocok dengan agama nenek moyang sehingga tidak bersedia pindah ke lain agama.”
“Ampun, Paduka Sultan.”
“Terus terang, sudah sejak lama aku tertarik dengan ajaran agama
Islam, yaitu agama yang selama ini kita ketahui sudah dianut oleh para
pendatang bangsa Melayu dan para pedagang bangsa Arab yang banyak tinggal di
kota Muara Banjar. Bahkan, Patih Masih salah seorang petinggi Kerajaan Negara
Daha yang menjadi Kepala Daerah di Muara Banjar, sudah sejak lama memeluk agama
Islam.”
“Ampun, Paduka Sultan.”
“Dari hari ke hari ketertarikanku dengan ajaran agama Islam
semakin mendalam saja. Bahkan, ketika aku masih berstatus sebagai pelarian yang
hidup menyamar sebagai nelayan sungai bernama Samidri aku sudah sempat berpikir
untuk segera memeluk agama Islam.”
“Ampun, Paduka Sultan.”
“Saking tertariknya aku dengan ajaran agama Islam, maka aku akan
tetap memeluk agama Islam meskipun aku tidak terikat perjanjian dengan Sultan
Terenggono. Bahkan, aku akan tetap memeluk agama Islam, meskipun pasukan perang
kita misalnya kalah bertempur melawan pasukan perang Pangeran Temenggung.”
“Ampun, beribu ampun Paduka Sultan. Kami mengira Paduka Sultan
sengaja memeluk agama Islam karena pertimbangan
politik semata. Kami selama ini tidak mengetahui bahwa keputusan Paduka Sultan memeluk agama Islam sesunguhnya
murni sebagai keputusan pribadi yang didasarkan pada keyakinan hati nurani.
Bila demikian halnya, maka kami harus menghormati keputusan Paduka Sultan
sebagaimana Paduka Sultan menghormati keputusan kami yang tetap memeluk agama
nenek moyang,” ujar Panimba Sagara.
“Kalau begitu, tidak ada alasan bagi pamanda semuanya untuk tetap
tinggal di tengah hutan rimba yang jauh dari keramaian kota Muara Banjar.
Kembalilah, pamanda semuanya ke kota Muara Banjar.”
“Baiklah, Paduka Sultan.”
...selanjutnya?
0 comments:
Post a Comment