SATU
Tanjung dalam bahasa
Banjar artinya tanah yang menjorok ke laut, dan tanah yang menjorok ke sungai
disebut tambak. Istilah tanjung dalam bahasa Banjar sama artinya dengan istilah
tanjung dalam bahasa Indonesia. Sedangkan istilah tambak dalam bahasa Banjar
berbeda artinya dengan istilah tambak dalam bahasa Indonesia.
Dulu, pada zaman kolonial
Jepang (1942-1945), di kampung sungai Pumpung, Kecamatan Cempaka, Kota
Banjarbaru, ada tanah yang menjorok hingga sampai ketengah
sungai Pumpung. Warga kampung menyebutnya Tambak Kariwaya, karena di atasnya banyak tumbuh pohon kariwaya (bahasa
Banjar, artinya pohon beringin).
Pohon kariwaya dimaksud
sudah tidak ada lagi karena tanah di lokasi
Tambak Kariwaya ini sudah dibongkar sedemikian rupa oleh para pendulang
intan setempat. Pembongkaran terjadi karena di dalam tanah tempat tumbuhnya pohon-pohon
kariwaya itu terdapat batu dulangan yang banyak mengandung intan.
Di Tambak Kariwaya inilah,
dulu, di zaman kolonial Jepang, kakekku
menemukan sebutir intan sebesar 15 karat. Intan temuan kakekku ini kemudian
diberi nama Galuh Kariwaya, artinya intan yang ditemukan di bawah pohon
kariwaya.
Galuh Kariwaya ditemukan
kakekku pada tahun 1944. Ketika itu daerah Kalsel masih bernama Borneo Menseibu
Cokan karena berada di bawah pemerintahan kolonial Jepang yang terkenal sangat
kejam itu.
Meskipun kakekku cuma
berstatus sebagai rakyat biasa yang pekerjaannya cuma sebagai seorang pendulang
intan . Namun beliau pernah mempertaruhkan nyawanya dengan bersikeras tidak mau
menjual intan hasil temuannya kepada Tuan Sakurata, opsir Jepang yang berkuasa
di lokasi pendulangan intan Tambak Kariwaya.
Semangat nasionalis yang
bersarang di dadanya membuat beliau
menjadi begitu membenci segala sesuatu yang berbau Jepang, terutama kepada
aparatur pemerintah lolonial Jepang. Tapi, kebencian itu tidak bisa diekspresikan
secara terang-terangan karena risikonya adalah kehilangan nyawa.
Setiap pagi beliau dan
kawan-kawan sesama pendulang intan terpaksa membungkukkan badan ke arah
matahari terbit di bawah komando Tuan Sakurata. Tidak ada yang berani
membangkang perintah Tuan Sakurata itu termasuk kakekku.
Menurut ceritanya, setelah
pecahnya Perang Asia Timur Raya pada tahun 1944, pemerintah pendudukan Jepang
di Indonesia menerima instruksi dari Tokyo agar mengintensifkan pengumpulan
dana perang di daerah jajahannya masing-masing.
Menanggapi instruksi itu
maka pemerintah resort militer Jepang yang berkuasa di wilayah Borneo Selatan
(Borneo Menseibu Cokan) memerintahkan penduduk pribumi untuk menyerahkan secara
sukarela semua barang berharga miliknya (barang perhiasan yang terbuat dari
emas dan intan) kepada para aparat Bunken Kanreken di daerahnya masing-masing.
Selain melakukan kegiatan
pengumpulan dana perang dengan cara memerintahkan penduduk pribumi menyerahkan
secara sukarela semua barang perhiasannya yang terbuat dari emas dan intan,
petugas Bunken Kanreken Martapura juga berupaya mengumpulkan dana perang dengan
cara mengambil alih pengawasan atas semua pendulangan intan tradisional yang
ada di wilayah kekuasaannya. Salah satu di antarannya adalah pendulangan intan
Tambak Kariwaya.
Sejak itu, para pendulang
intan di Tambak Kariwaya harus menjual semua intan temuannya kepada Tuan
Sakurata, petugas Bunken Kanreken setempat.
Memang, kehidupan para
pendulang intan di Tambak Kariwaya selama zaman pendudukan Jepang ini sangat
menyedihkan.
Nasib mereka boleh jadi
tidaklah lebih baik dibandingkan dengan nasib para Romusha.
Mereka bekerja keras
sekali, tapi begitu berhasil menemukan sebutir intan, intan temuannya itu harus
dijual dengan harga sangat murah kepada Tuan Sakurata.
DUA
Gerimis sudah cukup lama
merinai di lokasi pendulangan intan Tambak Kariwaya. Sementara itu, matahari
siang nun di atas sana masih tetap bersinar,
seolah tak mau mengalah dengan gerimis yang merinai sejak pagi buta.
Hujan panas. Bagi orang
awam, cuaca seperti ini dapat saja diacuhkan. Tapi, tidak bagi para pendulang
intan. Hujan panas adalah momen yang istimewa bagi mereka.
Betapa tidak?
Menurut mitos yang
dipercaya secara merata di kalangan para pendulang intan, hujan panas merupakan
pertanda baik bagi peruntungan nasib mereka. Konon, pada saat-saat hujan panas
seperti ini, intan-intan akan tergoda untuk ke luar dari tempat
persembunyiannya di balik tumpukan batu-batu dulangan (batu-batu yang diduga
mengandung intan). Suasana hati mereka ketika itu seperti layaknya suasana hati
sekawanan laron yang tergoda dengan
cahaya lampu di malam hari. Berkaitan dengan mitos itulah, maka para pendulang
intan di Tambak Kariwaya tampak lebih bersemangat mendulang intan pada hari
itu.
Tiga di antara banyak orang
yang tengah mengadu nasib sebagai pendulang
intan di Tambak Kariwaya ketika itu adalah kakekku, ayahku (Ganie), dan
pamanku (Ganue). Ayahku dan pamanku adalah bersaudara kembar, usia mereka
ketika itu sekita 17 tahun. Sementara kakekku berusia sekitar 35 tahun.Kakekku
termasuk seorang pendulang yang sangat
meyakini kebenaran mitos hujan panas dimaksud. Pada hari itu beliau begitu
bersemangat mencuci batu dulangannya.
Sebentar-sebentar
kakekku memberi isyarat kepada kedua
anak kembarnya agar mengangsurkan batu dulangan yang ada di dalam ayakan ke
arahnya. Ayahku dan pamanku dengan sigap
segera memenuhi permintaan kakekku. Ayakan berisi batu dulangan itu kemudian
direndamnya dengan air yang ada di dalam linggangan. Lalu, batu dulangan itu
diobok-oboknya berulang kali agar tanah yang melekat pada bebatuan terlepas,
luntur, dan akhirnya larut bersama air yang sudah berubah warna menjadi kuning
pekat seperti oker. Pasir dan batu kecil yang lolos dari bilah-bilah ayakan
langsung masuk ke dalam linggangan yang sudah menunggu di bawahnya.
Sejurus kemudian kakekku
mengangkat ayakan itu dari dalam air linggangan. Batu-batu besar yang
tersangkut di ayakan itu dibolak-baliknya dengan hati-hati, ia mencermati siapa
tahu ada intan besar tersangkut di dalam ayakan itu. Batu-batu itu berulang
kali disiram dan dibolak-baliknya. Setiap kali ada cahaya memancar dari arah
tumpukan batu di ayakan itu, kakekku akan terkesiap, dadanya berdebar. Lalu
diambilnya batu yang memancarkan cahaya itu, dicermatinya dengan seksama, dan
akhirnya dibuangnya sambil menggerutu.
“Huh, kukira galuh*, ternyata cuma terapul,” ujarnyal
sambil menjentik batu kristal itu.
Ayahku dan pamanku tertawa
melihat tingkah laku kakekku yang lucu itu.
Begitulah yang dilakukan
kakekku berulang kali.
Setelah yakin tidak ada
intan besar tersangkut di sana, batu-batu di dalam ayakan itu langsung
dibuangnya ke tebing yang terletak persis di samping kiri tempatnya berendam
melinggang batu dulangan. Batu dulangan yang tadinya menumpuk seperti anak
gunung itu sudah hampir habis dicucinya dengan cara dilenggang-lenggang atau
diputar-putar sedemikian rupa dengan alat yang disebut linggangan (alat pelenggang).
Tiba-tiba.
“Allahhuma saali alaa syaidinaa Muhammad!” terdengar seseorang
memekikan shalawat nabi.
“Saliim alaiih!” terdengar sahutan koor yang riuh rendah.
Memang sudah menjadi
kewajiban tak tertulis di kalangan para pendulang intan bahwa barang siapa
berhasil menemukan intan, tak peduli besar atau kecil, maka yang bersangkutan
harus memekikan shalawat nabi sebagai tanda syukur ke hadirat Allah Swt yang
telah memberinya rezeki besar. Selanjutnya, siapa saja yang mendengar shalawat
nabi dipekikan seseorang harus menyambutnya dengan sahutan koor salim alaiih.
“Ada orang micik,” pekik pamanku sambil repleks
berdiri.
Ia hendak berlari ke arah
asal suara di mana shalawat nabi dipekikan.
“Hei, Ganue. Jangan ke
sana. Bahaya. Nanti kau kena gebuk upas
susuruhan Dai Nippon,” cegah kakekku setengah berbisik karena takut
didengar orang lain.
“Ya, kita melihatnya dari
jauh saja,” ujar ayahku.
Pamanku tak jadi berlari.
Ia lalu duduk kembali di sisi kakekku yang sedang mencuci batu dulangan dengan
linggangannya. Dari tempatnya berada, kakekku, ayahku, dan pamanku melihat nun
jauh di sana para pendulang intan pada berlarian ke arah asal suara di mana
shalawat nabi dipekikan. Mereka ingin melihat dari dekat intan yang baru saja
ditemukan.
Namun, kerumunan itu tak
berlangsung lama, karena dua orang pemuda bersenjata pentungan kayu segera
membubarkan kerumunan itu. Mereka tanpa ragu memukulkan pentungan kayunya
masing-masing ke tubuh orang-orang yang berkerumun di sekeliling pendulang
intan yang baru saja memperoleh intan itu. Itulah yang dikhawatirkan kakekkul,
sehingga ia melarang ayahku dan pamankul ikut-ikutan berkerumun seperti
orang-orang yang lainnya.
Seorang lelaki tua, orang
yang baru saja menemukan intan itu, digiring oleh dua orang pemuda bersenjata
pentungan kayu yang tidak lain adalah anggota pasukan keamanan bentukan Bunken
Kanreken. Mereka bertiga berjalan tergopoh-gopoh.
“Minggir. Minggir!” teriak
salah seorang diantaranya sambil mengayun-ayunkan pentungan kayunya ke arah
siapa saja yang menghalangi jalan lewat mereka.
Orang-orang segera
menyisih memberi jalan kepada mereka bertiga, jika tidak maka tubuh mereka akan
terkena pukulan pentungan kayu itu.
Sebentar saja, orang tua dan kedua orang pemuda bersenjata pentungan kayu itu
telah tiba di tempat yang ditujunya, yakni sebuah gardu yang terletak persis di
tengah-tengah lokasi pendulangan intan Tambak Kariwaya.
Begitu tiba di depan
gardu, mereka bertiga langsung menjura memberi hormat kepada seorang lelaki
Jepang yang sedang berdiri tegap di dalam gardu. Lelaki Jepang di dalam gardu
itu tidak lain adalah Tuan Sakurata (bukan nama sebenarnya) petugas Bunken
Kanreken Martapura. Kepada lelaki Jepang inilah semua pendulang intan di Tambak
Kariwaya harus menjual intan temuannya dengan harga yang ditetapkan dengan
sesuka hatinya dan sama sekali tidak boleh ditolak. Jika ada orang yang berani
menolak harga yang ditetapkannya maka pendulang intan yang bersangkutan akan
segera dikarungi oleh petugas Kempetai dan pulang tinggal nama.
Setelah menjura memberi
hormat, salah seorang pemuda bersenjata itu melaporkan maksud kedatangannya ke
gardu itu.
“Lapor, kami membawa
pendulang bernama Amat Gobang untuk menghadap. Ia bermaksud menjual galuh temuannya kepada Tuan. Laporan
selesai!”
“Suruh masuk orang itu!”
“Siap!”
Sebelum masuk ke dalam
gardu, Amat Gobang sekali lagi memberi hormat kepada Tuan Sakurata.
“Mana galuh temuanmu itu, Pak Tua?!”
“Ini Tuan.”
“Hah, cuma 1 karat, Pak
Tua.”
“Ya, tuan.”
“Baiklah, sesuai dengan
ketentuan harga beli intan yang sudah ditetapkan oleh Bunken Kanreken
Martapura, galuh Pak Tua ini saya
beli seharga 20 yen. Bagaimana?!"
“Setuju, Tuan.”
“Bagus, Ini uangnya
terimalah!”
“Terima kasih, Tuan.”
“Ya, segeralah kau kembali
ke tempat kerjamu, Pak Tua!”
“Ya, Tuan.”
Sebelum pergi meninggalkan
gardu itu, Amat Gobang dan kedua pemuda bersenjata itu kembali menjura memberi
hormat ke arah Tuan Sakurata yang berdiri di dalam gardu.
TIGA
Hujan panas siang itu
ternyata memang merupakan pertanda baik bagi peruntungan nasib beberapa orang
pendulang intan di Tambak Kariwaya. Betapa tidak? Belum lama berselang setelah
Amat Gobang berhasil menemukan sebutir intan, di sana-sini terdengar lagi
pekikan shalawat nabi silih berganti.
“Stt. Ganie. Ganue. Kita
juga micik,” bisik kakekku sambil
menjawil kedua anaknya.
“Benar, Yah?” tanya
ayahkul.
“Benar. Lihatlah ini,”
ujar kakekkul sambil memperlihat intan temuannya kepada ayahku dan pamanku.
“Wow, lima belas karat,
Yah!”
“Ssttt. Jangan
keras-keras,” ujar kakekku.
“Shalawat, Yah.”
“Allahumma shali alaa Syaidina Muhammad,” ujar kakekkul setengah
berbisik.
“Salim alaiih,” sahut ayahku dan pamanku, juga dengan suara setengah
berbisik.
“Mengapa harus berbisik
seperti ini, Yah?” protes ayahku.
“Nanti kedengaran anak
buah Tuan Sakurata.”
“Memangnya kenapa, Yah?”
“Ayah tak mau menjual galuh ini kepada Tuan Sakurata. Harganya
sangat murah. Lebih baik kubuang ke sungai dari pada harus kujual kepada Tuan
Sakurata.”
“Tapi, Yah. Risikonya
sangat berat.”
“Ayah tahu itu. Tapi, ayah
punya akal.”
“Satu hal lagi, Yah.”
“Apa itu, Ganue?”
“Bukankah shalawat nabi
harus dipekikan dengan suara yang lantang sebagaimana yang difatwakan oleh para
ulama sepuh di kota Martapura?”
“Tidak harus begitu. Ayah
tahu persis fatwa shalawat nabi itu merupakan fatwa pesanan Bunken Kanreken
Martapura. Tujuannya untuk memudahkan petugas mereka memonitor pendulang yang
berhasil menemukan galuh di lokasi
pendulangan yang diawasinya.”
“Maksud, ayah ulama-ulama
sepuh Martapura itu telah ditekan oleh Bunken Kanreken Martapura untuk
mengeluarkan fatwa itu?”
“Ya!”
“Hemm, kalau begitu Bunken
Kanreken itu telah memanipulasi kharisma para ulama sepuh Martapura untuk
kepentingan mereka.”
“Ya, itulah yang terjadi,
Nue.” Ujar kakekku bersemangat sekali. Orang tua ini rupanya gembira sekali
menyaksikan kecerdasan anak kembarnya dalam menafsirkan hal-hal yang tersirat
di balik yang tersurat menyangkut kewajiban mengumandang shalawat nabi tsb di
atas.
Dulu, shalawat nabi juga
pernah dimanipulasi oleh Pangeran Syarif Hasyim al Qudsy seorang keturunan Arab
yang entah bagaimana justru menjadi kaki tangan pemerintah pendudukan Belanda
di bekas wilayah Kerajaan Banjar. Ketika itu ia memerintahkan anak buahnya
untuk mengumandangkan shalawat nabi jika berhasil menangkap para penduduk
pribumi yang menjadi pendukung Sultan Hidayatullah.
EMPAT
Matahari sore itu sudah
begitu condong ke barat, menandakan sebentar lagi senja akan datang menyungkup
lokasi pendulangan intan Tambak Kariwaya. Satu demi satu pendulang intan
kembali ke rumahnya masing-masing. Kakekku, ayahku, dan pamanku juga sudah
mulai mengemasi alat-alat kerjanya seperti linggis, linggangan, dan ayakan.
Setiap pendulang intan, tanpa kecuali, harus melewati pemeriksaan ketat yang
dilakukan oleh petugas keamanan di pintu ke luar lokasi pendulangan intan.
Mereka digeledah satu demi satu oleh para petugas bersenjata lengkap. Sekali
waktu pernah ada seorang pendulang intan berusaha menyelundupkan intan
temuannya, akibatnya fatal ia langsung diserahkan kepada petugas Kempetai untuk
dihukum mati karena kesalahannya itu.
Menurut cerita kakekku,
ayahku dan pamanku kebat-kebit karena pemeriksaan di pintu ke luar pendulangan
intan Tambak Kariwaya pada hari itu dipimpin langsung oleh Tuan Sakurata.
Ajaib, kakekkul lolos dari pemeriksaan yang langsung dilakukan oleh Tuan
Sakurata sendiri. Padahal …
Belakangan, kakekku
membongkar rahasia bagaimana ia berhasil meloloskan intan sebesar 15 karat dari
penggeledahan yang dilakukan langsung oleh Tuan Sakurata. Ternyata, ada lubang
rahasia yang sengaja dibuat kakekku pada linggangan miliknya. Intan dimaksud
disembunyikannya di dalam lubang rahasia itu. Setelah intan dimasukkan lubang
rahasia itu disamarkannya dengan cara ditutupi dengan damar berwarna hitam
(sewarna dengan warna linggangan).
LIMA
Pada tahun 1945,
pemerintah pendudukan Jepang terpaksa angkat kaki dari tanah air kita.Sesaat
setelah angkatan udara Amerika Serikat berhasil menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima
dan Nagasaki, Kaisar Hirohito mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Jepang telah
menyerah kalah tanpa syarat kepada Sekutu. Kesempatan baik itu dipergunakan
oleh dwitunggal Soekarno Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia.
Pada tahun 1950, kakekku
baru berani menjual intan hasil temuannya di Tambak Kariwaya kepada seorang
saudagar intan di kota Martapura dengan harga Rp. 200.000,-. Hasil penjualan
intan itu membuat kakekku sekeluarga menjadi orang yang paling kaya di kampung
sungai Pumpung ini. Sebagian kecil uangnya dipergunakan untuk membayar ongkos
naik haji atas nama kakek sendiri, nenekku, ayahku, dan pamanku. Sisanya
dibelikan tiga buah rumah besar, dan digunakan untuk modal usaha jual beli
alat-alat mendulang intan.
Kakek sengaja membeli tiga
buah rumah besar, satu rumah ditempati sendiri, dan dua rumah disewakan. Namun,
tidak lama kemudian ayahku menikah dengan ibuku. Kakek memberikan salah satu
rumah itu sebagai hadiah perkawinan untuk ayahku dan ibuku. Tidak berselang lama,
paman Ganue juga menikah, kakek lalu memberikan rumah yang satunya lagi sebagai
hadiah perkawinan untuk pamanku dan tanteku. Hingga sekarang rumah warisan
dimaksud masih berdiri dengan kokohnya dan ditempati oleh anak, cucu. atau
buyut kakekku. Lokasi tempat rumah warisan itu berdiri terkenal dengan sebutan
Komplek Ganie Ganue, terletak di tepi Jalan Mistar Cokrokoesoemo, Kecamatan
Cempaka, Kota Banjarbaru.
ENAM
Cerita heroik kakekku yang
berani mempertaruhkan batang lehernya melawan pemerintah pendudukan Jepang
dengan cara sebaimana yangdiceritakan di atas, dimuat di berbagai surat kabar
terbitan Banjarmasin, bahkan juga di berbagai surat kabar terbitan Jakarta.
“Aku sengaja bersikeras
tidak mau menjual intan hasil temuanku kepada Tuan Sakurata tempoe doeloe,
karena disamping harganya terlalu murah, tindakan menjual intan hasil temuan
kepada Tuan Sakurata juga merupakan tindakan bodoh.”
“Maksud, Pak Hans?”
“Dengan berbuat begitu maka kita secara tidak
langsung ikut membantu pemerintah pendudukan Jepang membiayai keperluan pasukan
perang Dai Nippon yang sedang bertempur mati-matian di berbagai medan
pertempuran di seluruh kawasan Asia Timur.”
“Fakta inilah yang tidak
aku sukai. Bangsa Jepang ketika itu, bagaimana pun juga berstatus sebagai musuh
bangsa Indonesia, sehingga haram hukumnya bagi bangsa Indonesia membantu bangsa
Jepang.”
Keterangan.
Linggangan,
alat pencuci batu dulangan dimaksud, dibuat dari batang kayu berukuran besar
yang dibentuk menjadi kerucut persis seperti caping raksasa. Linggangan
merupakan alat kerja yang paling vital bagi seorang pendulang intan. Tanpa alat
ini para pendulang intan tidak bisa mencuci batu dulangannya dengan baik.
0 comments:
Post a Comment