Berkumpul dalam tilawah para lebah. Para pencari dan perindu kebahagiaan sejati. Di malam sepi, mendirikan malam sunyi. Menenggelamkan diri dalam pensucian diri. Kangen ini adalah kangen para sufi. Pujangga agung yang bijak hati. Mengikuti cinta pada Maha Suci. Rindu ini abadi Ya Rasul penerang kalbu. Jalan panjang dan terjal sampai sudah kini. Singgah di rumah-Mu yang abadi. Bersama selawat para ribuan lebah mencari syafaat nanti. Menyusuri sungai- sungai dan kanal-kanal di tubuh sepi.
Wahai junjungan hamba, Muhammad yang berparas bayi. Suci tak bernoda, tak bisa menyentuhnya. Kekotoran tak mampu menjamahnya. Rindu yang teramat sunyi untuk surgamu.
Wahai zat yang maha tinggi, pemilik rindu sejati. Manusia menjadi serendah-rendahnya dalam kehinadinaan. Bila tak mau ikut bertaubat membuang kotorannya sendiri. Rindu ini rindu rahasia-Mu…untuk sampai di arsy-Mu.
Di sepanjang roda-roda waktu mencari-Mu. Kau malah dhepipis di jantung, memompa udara di tubuh, menyayangi hati, mengasihi nadi, mengalirkan napas, tetapi tak menyadari dekat-Nya mencari. Jauh di luar musim yang asing dan gerah, setetes embun di gurun sahara dikira-kira Kau, ternyata salah sangka, terjebak perangkap hujan, membukakan pintu gua hira: masuklah! Kembalilah cinta sejatiku. Terjebak bunga yang dibawa batman, seikat tanda untuk Februari, memikat dalam paragraf yang menyuntikan bisa di dalam cinta. Warnanya tak lagi jingga. Dalam sepatu langkah waktu, hitungan menjadi merah gosong kehitam-hitaman terperangkap diksi-diksi Februari. Hanya jaring-jaring kata memenjarakan udara hingga nadi mengering. Sementara semestamu hanya bahasa sayap beratnya di Cinta-Nya. Mata hujan dari jarak yang maha panjang, tajam mengkristal bening melesap di ketinggian, menciumi kemarau yang merindukan sebagai tanda mata. Bukankah kau tak sebenar pergi dari musim? Menyeberangi jarak- jarak rindu yang tak beranjak.
Pergimu adalah perginya juga. Mata hujan itu menitik pelan di jantung malam.
Kristal pecah memenuhi ruangan dara, seperti hujan yang menunggu kekasihnya yang sampai kapan bertahan di atas kemarau yang berbisik tentang awan.
Sampai kapan badai akan terus datang sementara gerhana dan gempa datang silih-berganti, menukar warna senja. Takkan bisa kau lepaskan lukisan langit itu? Tak bisa bukankah selalu ada dalam mata jiwamu yang sebening telaga.
Setangkup kelopak hatimu berdaun waru mekarkan rasa tentang madah cinta yang tak bias kau tuliskan sebagai rindu katamu. Sebagai cinta yang sempurna, antara lukisan, patung dan cerita kita. Di pasar seni, tanda mata, cindera mata, abadi sampai senja menutup mata. Pada ayat-ayat hujan, cinta-MU kubasuhkan. Hujan tak berhenti mencintai-Mu. Hujan tak berhenti
Satu persatu waktu meluruh menyelesaikan rintiknya meski tak jua selesai. Pada tubuh lelaki langit yang menurunkan surga. Melarutkan kenangan yang tak terbaca. Pada titik, koma dan jeda. Dalam setiap penggalan kalimat. Hanya satu yang terindah, hanya satu yang tak tergantikan. Menyusun paragraf hujan. Teritmekan musim demi musim yang asing. Sebuah cinta yang rahasia.
Atas nama Cinta telah kuletakkan di atas ayat ayat Cinta-Nya. Mahabah yang membentuk oase-oase yang tak memfatamorgana mata. Setetes embun di tengah padang sahara. Paragraf yang terus harus kubaca. Tentang lelaki Surga yang menyimpan cinta yang rumit. Yang harus kudaki hingga akhir waktu berputar. Yang menitipkan benih pohon di rahimku. Paragraf tubuh berjatuhan kenangan. Meruntuhkan langit yang terus kueja untuk sampai pada rindu-Mu. Iqra, iqra, bacalah hujan. bacalah hujan. Dan lelaki yang menitipkan surga di kakimu masih meraga. Ketika ruang dan waktu meleleh di tangan-Mu masih berdebu. Ketika orang-orang mereguk cahaya mandi di kolam zaman-zaman masih lumpur membajak nafsu dan doa yang tak sampai–sampai masih saja si fulan yang diam dalam seru panggilan.
Gunung dosa di atas kepala bukit-bukit tur berimis cahaya menuju tangga-Mu. Makam-makam yang lelah kunaiki di sini, diam-diam kusembelih sendiri, dan yang pulang hanyalah pakaian dan nama beliau. Aku masih si fulan yang fakir, sedekah yang masih marah bila gelarku lupa ditulis dan tak disebutkan masih si fulan.
Tubuhku lumpur meski kungkum di kolam zam-zam. Tubuhku berdebu meski baju ihramku membalut nafsu ragaku. Berhala yang masih memuja tahta. Masih si fulan yang pulang hanya gelar, si fulan masih fakir sedekah dan marah bila namaku lupa disebut haji dan hajjah. Ya akulah si fulan yang pulang dari Arafah.
Adalah ketika Allah menyatukan hatiku dan hati Abi Faizal untuk menunaikan ibadah haji di Mekah Al-Mukaromah. Ini adalah haji terakhir yang kami tunaikan berdua dengan Abi Faizal, lelaki yang akhirnya meminangku dan memilihku menjadi istrinya. Abi Faizal adalah lelaki yang baik, bijaksana dan selalu sopan dan menghargai perempuan. Maka pilihan pada Faizal ini, karena tingkah laku Faiz adalah impian semua orang yang ingin bahagia dunia akhirat. Yang menempatkan perempuan sebagai umi dan nyai. Surga itu telah kupilih dulu, sejak dia menyuntingku begitu aku kehilangan Banyu.
Dan saat saat yang indah adalah saat kami berdua menunaikan ibadah haji sebelum kematiannya. Sholat selalu berjamaah, puasa selalu bersama, dan kita TMT, Teman Menilai Teman, bukan Teman Makan Teman. Faizal bisa mengayomi dan semakin tua seperti teman. Komentar teman-temannya tentang Faizal waktu di pondok, adalah baik, maka Kiai Syarif memilihkannya untukku. Tak sampai 3 bulan proses taaruf dilanjutkan ke pelaminan proses lamaran. Karena Abi Faizal ingin aku tidak diambil orang, maka ia cepat-cepat melamarku. Padahal, saat itu secara batin aku belum siap mencintainya. Laki-laki memang ketika sudah cinta ya sudah. Logis, tidak banyak pertimbangan jlimet kalau sudah merasa klik. Sedang perempuan berbeda dia banyak sekali pertimbangan dan njlimet. Apalagi aku, antara ya dan tidak, opsi abu-abu antara menerima atau menolak. Tetapi Abahku dan Ibuku memang mendukung penuh agar aku menerima saja lamaran Faizal.
Ya rasul salam alaika. Ya nabi salam alaika. Langit yang membentangkan dada. Mata tengadah. Kubuka langit bagi hati. Mata hujan dan salju. Sebongkah batu di gurun. Cahaya di Jabal nur. Menyusuri jejak para Habibi.
Di tanganku waktu dan ruang meleleh. Gerimis putih di bumi legam. Sehitam dosa. Anak-anak Adam. Lekat dada dan tanah. Kuserahkan silsilah jalan pulang. La baikallahumma la baaik. Labaaik Laa syarika lalabaaik. Inal hamda Wan Nik’mat. Laka walMulka Lasyarikallah. Seruan-Mu menjemput.
Kaki-kaki melangkah menuju singgasana-Mu. Seruan-Mu menjadi surga. Larangan-Mu menjadi neraka para penyeru-Mu para pencari-Mu. Kalbu tersipu cahaya suci, terpancar Baitullah, saka guru Arsy-Mu. Kakbah dindingmu, tempat tunduk segala makhluk tak ada panggilan indah selain panggilan-Mu.
Menyembelih hewan bertanduk di jiwa sendiri ternyata lebih sulit. Dengan parang setajam apapun. Musuh sejatimu adalah hewan piaraan. Nafsumu, lebih rendah.
Hewan yang kau kurbankan ‘kan menjadi tunggangan di hari akhir, membawa amalan-amalan di punggungnya. Dan darah yang kau sembelih membersihkan kotoran. Debu di tubuh akan menjadi air bagi haus. Delapan puluh tahun Ibrahim menunggu Siti Hajar, tegar. Ismail harus dikurbankan. “Sembelihlah aku Ayah!”. Apalah arti tubuh. Apalah arti nyawa. Tuhan memanggilmu. Tuhan menyerumu, beterbangan putih di atas gurun, lautan manusia berombak-ombak, mengucur salju-salju dari lembah mata, doa-doa menyelam di kedalaman zam-zam, melayari perahu Nuh, membelah lautan Musa dengan tongkat tujuh ayat Alfatihah Labaikalahumma labaik.
Labaik khala yarikalabaik Innal khamda wanikmatan Walmunkaha syarikala khalalabaik. Panggil aku. Panggil aku. Beribu-ribu kalimat thoyibah.
Ampunan-Mu. Syafaat nabi-Mu. Ampunan-Mu. Kain kiswahlah kuciumi. Kain ihramlah jubah hatiku. Jadi saksi tetesan airmata. Dosa yang segunung Sinai. Dosa yang menjulang di Bukit Tur. Kuikhlaskan napas ini untuk-Mu. Kau tiada duanya. Saat pedang ini menyentuh lehermu. Ketika perintah menyembelihmu.
Segenap waktu dan darahmu telah kau maharkan untuk keyakinan ini “jangan ragu dan bimbang Ayah. Laksanakan perintah tuhan. Takkan ada kekhawatiran dan kelemahan”.
Semua patuh. Seperti siang dan malammu patuh dan setia. Seperti bumi dan matahari yang mengelilingi hari. “Laksanakan segera Ayah”. Dalam kalimah syahadat. Di ufuk kerinduan Hajar Aswat. Dan telah disempurnakan nikmat. Rindu Masjidil Haram. Datang dari Tanah Hitam.
Kulit legam, nasib kelam. Kuseret jiwaku dalam tawaf. Meniti di butiran tasbih. Hari-hari sepi, bercampur dalam saf- saf Masjidil Haram. Menabuh sunyi sendiri. Membasuh airmata dosa tak bertepi. Satu-satunya harta adalah cahaya.
Yang tak pernah padam. Penyempurna. Kakbah, Safa dan Marwa. Arofah, Muzdalifah dan Mina. Tempat tawaf dan sai. Wukuf, mabit dan melontar jumrah. Dalam sabar dikuti.
Baitullah…Baitullah. Seruan wahyu.
Warisan Adam, Nuh, Ibrahim. Ya Illahi Rabbi. Rahmat-Mu kueja. Terimalah aku sebagai tamu di rumah-Mu. Idul Adha. Merah darah tertumpah lagi. Mengalir membasahi bumi. Keikhlasan kesucian janji. Satu tumbang tertebas parang. Tanpa daya. Terjerembap terjatuh sekali tersentuh. Namun bukan itu, bukan itu perintah Tuhanmu. Tetapi ada satu tanya. Adakah sama. Pengorbananmu dan pengorbanan Ismail terdahulu. Selalu ditunggu kerinduan itu di pintu Masjidil Haram seperti anak-anak yang memakai jubah ihram bersucih tubuh dalam cawan zam-zam dari daki dosa dan debu perjalanan duniaimu. Selamat datang di tanah suci, ya tamu senyum ramah tanah tempatmu bersujud
Wahai para pecinta lempar jumrah keliling Kakbah lari-lari kecil si dari Bukit Safa dan Marwah. Kaki-kaki keteguhan yang menancap di dada runtuhkan berhala yang memesona, menyihirmu dalam tipu daya. Jembatan Titian Sidrathal Muntaha. Di atas jembatan titian yang rapuh, sendirian, kukumpulkan segala kekuatan untuk melawan ketakutan demi ketakutan. Dan kau takkan pernah melihat lagi bayanganku memintas. Kabut telah membuat tubuhku lenyap di keasingan rindu. Yaasiin… dan rimbunnya petaka dan bencana. Di kelokan sungai sangsai, mengalirkan nadi yang amis oleh sisa pertempuran. Dan luka-luka belumlah kering. Sejarah terulang dan terulang.
Di bawahnya telah lama menghuni batu cadas. Sebelum kita lahir. Untuk kita lompati dalam arung jeram. Ini bukan sekadar permainan. Tetapi uji nyali. Membutuhkan super ego. Man jadda wa jadda. Yang mengharuskan menahan perih menadahi air mata. Musim runcing sepanjang jalan. Di atas jembatan titian sendirian. Alif lam mim. Kucari rumah jannah, kucari Baitullah. Menemukan jejak Ibrahim dan bekas api dan kayu-kayu-Mu.
Menunggu, engkau masih menunggu. Di pertigaan malam menemuimu. Musim yang kelu. Kita hanya segumpal bayi yang tak lagi berwarna. Kita tak lagi menunggu waktu, membiarkan detiknya berlalu, dari jam-jam kelu, jemu.
Ketika semua arus kembali pada awal kepercayaaan, kita sama berbalik, meninggalkan punggung masing-masing. Berlari. Engkau berhenti, aku berhenti. Engkau lari terentang jarak tiada henti, tiada titik untuk sekadar mengucapkan jati pergi mati.
Mautkah batas antara kita? Gaibkah ujud dan ada kita? Ya latta… Ya uzza ditubuhku tertenung, rubuh terlena bisu dalam tafsir ganda kekal dalam rahasia kabut itu dan putih buanglah dari wajah dan di ujung rambutmu putih. Kabut itu patungmu sendiri sementara cemeti melejit dari halilintar membakar rumpun ilalang.
Uzza, Lata, Hubal mematung bisu kabut gerbang perjalanan. Kenapa jalan ini begitu tak ingin kita kenang lagi? Ceceran darah pertarungan amis pada sisa-sisa pertengkaran hujan, jalan tak pernah berujung.
Bangkit dan hadapi kenyataan. Dunia mimpi hanya pantas untuk mereka yang tidak punya nyali. Mereka yang dusta kata-kata. Lari dari kenyataan yang tak pernah ia temukan. Percayalah pada Tuhanmu. Bahwa Dia tempat sebaik-baik tempat untuk berlari. Saat kau kehilangan diri kehilangan kepercayaan diri. Kehilangan teman-temanmu. Dialah teman sejati yang selalu bisa kau percayai. Dan tak pernah mengkhianati. Wahai jiwa-jiwa yang kehilangan. Wahai jiwa-jiwa yang terkhianati. Ikutilah cahaya Illahi. Suatu saat bakal kembali. Terbayang satu wajah, satu nama penuh cahaya, Muhammad namanya. Lelaki pilihan jadi kerinduan para perempuan. Para pecinta kebahagiaan.
Mungkinkah hamba dipertemukan? Mungkinkah hamba dapat menyentuhnya dan berlindung di dadanya. Sungguh air mata hamba adalah tak kering karena sesal dan rindu. Sosokmu nan agung dan bijaksana. Lembut dan teduh santun pula uswah khasanah. Tiang nan kokoh dalam keluarga.
Engkau idola kepala rumah tangga. Saat hamba tak punya panutan dan kehilangan sosok. Papa, ayah, abah dan bapak. Aku kecewa, aku marah, aku tidak bahagia karenanya. Maka jadilah aku sosok pemberontak. Karena kenyataan dan impian tak sejalan. Karena impian selalu indah dan melenakan.
Suara jangkrik bertasbih meramaikan malam. Meramaikan masjid di hatimu yang kau dirikan, tanpa seorang pun tahu kecuali Dia yang selalu terjaga.
Bangun-bangunlah… bangun-bangunlah… Jangan biarkan sepimu menutupi bibirmu, membungkam air matamu dalam belenggu. Keluarlah dan hadapi sepimu. Sebenarnya ramai. Bersama jutaan kaki-kaki lain. Yang berdiri dan sujud tunduk tahajud. Maha Besar Allah yang mempunyai cinta. Dengan juz-juz cinta. Aku arungi dalam segenap ikhlas. Mari bangkit dari apa saja. Dari kebodohan. Dari kelemahan. Dari kesalahan. Dari dosa. Dari keterpurukan. Dari kejahatan. Dari rasa malu. Dari kehinaan. Dari keterbatasan. Dari kungkungan.
Bangkitlah … dari kesakitan. Dari kesedihan. Senyumilah dunia meski sepahit apapun kenyataan kita terima. Jangan menyerah jangan buat diri kita dihancurkan kesia-siaan. Fatimah Az-zrahra. Bunga surga nan wangi. Pujaan hati perempuan dan lelaki.
Air bening tempat kami bercermin. Fatwa dan bimbingan jadi cahaya, iman, dan takwamu hiasi hati penuh keluhuran budi. Fajar nan indah paras pesona. Kerendahan hatimu terpancar. Aku banyak belajar darimu tentang bersikap, bertingkah-laku. Hatimu seputih salju. Keindahan mendengar keluh kesah. Hati pancaran lautan kesabaran. Wangimu menebarkan keharuman. Perempuan pemberani. Perawat duka.
Selanjutnya? Klik Daftar Isi atau Bagian Selanjutnya, yakni Di Hamparan Sajadah.
0 comments:
Post a Comment