“Tidak Dida, pokoknya Ibu tidak
setuju kau menikah dengan lelaki yang tak pernah jelas itu, seperti lukisan-
lukisan abstrak yang tak ibu pahami!” Maulida menunduk karena Ibu gak suka aku bergaul dengan para seniman,
penyair, pelukis yang menghentikan
mahasiswa yang bernama Banyu itu yang
sekampus dengan Maulida.
“Abah
dan Umi ‘kan belum tahu? Belum mengenal Banyu secara dekat, dia teman kakak
kelas waktu di kampus!”
“Apa bedanya dengan Faizal? Aku tak
mengenalnya meski dia dulu satu pondok dengan Dida, Abah!”
Pokoknya pikirkanlah dulu, Azam akan
melamarmu kalau kau mau menerima lamarannya!”
“Tidak aku tidak mencintai Azam, Abah, aku mencintai Banyu!”
“Dida!
“Kau membantah abah!”
“Kau menjadi anak durhaka!”
“Tidak Abah, ampuni Dida!”
Jantung abah jadi kumat dan harus dibawa ke Rumah Sakit. Semua mata memandangku aneh dan marah. Sejak itu aku tidak punya siapa siapa lagi kecuali diriku sendiri.
Inikah jodohku. Tuhan, apakah jodoh harus dimulai dengan adanya jatuh cinta. Bagaimana jika tidak. Bagaimana jika aku jatuh cinta hanya pada Banyu, padahal aku hanya bisa jatuh cinta dengan Banyu. Ada benarkah Banyu cinta terakhirku dan benarkah aku sudah tak bisa jatuh cinta lagi. Jika lagi lagi sangat cuek dengan cinta pasangannya, lalu perempuan hanya bisa mengukuhkan cinta dengan kesetiaannya yang agung. Bisakah Tuhan. Saat aku memilih adalah saat yang paling sulit, dan genting dalam hidupku. Apalagi memutuskan pilihan dengan siapa aku menikah. Sulit atau mudah mungkin hanya cara pandang, bisa sulit kalau memang hidup itu dipersulit. Bisa mudah jika memang cara pandang kita hati kita bisa memudahkan.
Tentu tidak mudah dimana aku harus menjatuhkan pilihan. Yang jelas melanjutkan memang sudah tidak mungkin. Sementara meninggalkan juga bukan hal mudah. Haruskah kuterima jodoh. Dari orang lain. Seperti proses taaruf yang dilakukan pak kiai atau bu nyai seperti yang biasa dilakukan oleh perempuan-perempuan di sekitarku, perempuan-perempuan pondok, yang hanya diperkenalkan pak Kiai terus menikah. Tuhanku ya Allah betapa mudahnya memilih jika itu karena-Mu. Maka yang yang kubisa hanya pasrah. Hanya engkau yang tahu jodohku yang sebenarnya. Seperti kakakku yang baru saja married Mbak Waridatun dengan salah satu santri Kiai Syarif, hanya sebuah taaruf dan perkenalan antarkiai, lalu Abah-ku mengizinkan cukup simple dan mudah bukan? Mengapa aku juga harus seperti itu? Apakah aku harus juga mengalami hal yang sama dengan kakak kakak perempuanku. Mbak Sakinatunisa pun juga begitu prosesnya diperistri oleh anak pak Kiai pengasuh pondok Walisongo Kiai Ma’ruf. Mbak Zain dan Masku Luthfi.
Abah adalah seorang sosok laki laki yang sangat dihormati di daerahku dan dituakan. Kharismatik. Dan selalu omongannya idu geni digugu dan ditiru. Baik pada anak-anaknya maupun orang lain. Sosoknya yang cenderung tertutup, jarang tersenyum, jangan gojek dan jarang banget berkumpul dengan anak anaknya juga sangat jarang bicara. Ia tidak bisa sembarangan gojekan dan gleyengan. Buat anak anaknya abah adalah sesosok yang sangat menakutkan, dan tidak bisa dibantah baik oleh umi atau anak-anak dan saudara saudaranya.
“Ibu
hanya melihat dari luar saja, orang kok dilihat hanya dari kovernya,
bayangan Ibu tak seperti itu kenyataannya, Banyu anak yang baik kok Bu, dia
sangat menjagaku, katanya saat dia
temukan cinta sejati ia akan sangat tunduk dan sangat menjaga dan apapun akan
dia lakukan untuk melindungi cinta sejatinya!”
“Banyu tidak bersal dari lingkungan
kita? Hanya karena perbedaan cara pandang Tuhan, mengapa harus memisahkan dua
insane yang saling mencintai?
“Halah
gombale Mukiyo, Ibu
dak usah muluk,
kamu gak usah banyak pacaran atau
apapun yang bukan muhrimnya
kalau taaruf jelas ya lamar dan nikah to, lebih aman dan syarie!” kata Ibuku.
“Aku ‘kan ndak pacaran Bu!, Dida masih tahu mana yang muhrim mana yang
gak muhrim, mana larangan dan perintah Bu, insyallah masih kuat Iman Dida!”
“Da, Ibu sarankan kau ambil Akta 4
saja mengambil penyetaraan D4, kau bisa ngajar saja di madrasah menggantikan Abah-mu tho!”kata Ibu dan itu di dukung oleh Bapak.
“Kau perempuan Da, bagaimana pun abah gak
mau kau kerja jam 6 pagi berangkat pulang jam 6 sore, Bapak lebih suka kau
mengajar, sudahlah ambillah kuliah lagi Ekstension ambil jurusan di Akta 4 di
Universitasmu, soal biaya gak usah
kau pikirkan!” desakan Abah tiap hari
kudengar saat aku luntang lantung lulus sarjana mau kerja apa.
“Sedari dulu sebetulnya abah tidak ingin kau masuk jurusan
sastra, abah lebih suka kau mengikuti
jejak mbakyumu jadi dosen, di UGM, atau di Kimia, seperti kakakmu yang masuk
kedokteran atau jurusan Ekonomi, karena itu pilihanmu sendiri ya kau seharusnya
lebih konsen belajar dan menyelesaikan kuliahmu bukan ngurusi kegiatan-kegiatan
di luar kuliahmu yang gak genah itu itu akan sangat mengganggumu
dan tidak cepat lulus, Da!” kata abah
begitu sinis melihatku.
“Lihat adikmu, sudah pintar sekolah cari sendiri tidak pernah merepotkan orang, masih muda sudah asisten dosen, dan sebentar lagi sudah jadi sarjana!” Ibu menimpali.
Maulida is Maulida. Ia memang berbeda dengan anak anak Ibu yang lainnya. Ibu dikenal sangat patuh dan setia, juga Bapaknya yang sangat keras dan disiplin mendidik anak anaknya. Membuat saudara-saudara Maulida seperti bersaing untuk unjuk prestasi dan ingin memberikan kebanggaan pada Abah dan Ibunya, tentu kecuali Maulida kecil.
“Cari jodoh itu seumur sekali kalau kau sekali keliru selamanya kau akan menyesal seumur-umur. Maka perlu dipilih pilih dan dperlu dipertimbangkan banyak hal. Jangan asal pilih. Apalagi laki-laki urakan, dugal dan tidak jelas apa yang ingin kau harapkan dari lelaki macam itu” Ibu kembali menimpali pembicaraan mereka bertiga.
Itu artinya sinyal hubunganku dengan Bariq tidak direstui orang tua. Dan anehnya Bariq tahu. Bodohnya aku juga gak bisa perjuangkan dia. Haruskah aku menyesali semua karena kebodohanku mengapa aku tak mengejarnya. Mengapa baru kematian yang biacara baru aku tahu betapa cintanya padaku, mengapa baru aku paham betapa dia teramat sayang padaku. Dan ini penyesalan yang tak pernah aku bisa memaafkan.
Terkadang beda kekasih dengan teman orang yang mau memahami dan mengerti itu sangat jauh. Lebih nyaman kita menemukan orang yang memahami dan mengerti daripada kekasih. Dan Banyu ada di antara itu. Banyu lebih paham tentangku dan aku lebih paham tentang Banyu jadi komunikasi nyambung. Tentu lebih nyaman hubungan. Bukan “huka”, hubungan kekasih yang terkadang lebih diwarnai intrik saling pingin memiliki menguasai dan mengatur dan melarang dan memerintah. Ordinat dan sub ordinat. Tetapi dengan orang yang tidak cantik atau tidak ganteng namun sangat mengerti dan memahami jauh lebih nyaman dan menerima. Sebab cinta itu memahami keadaan atau menyadari keadaan. Dan tahukah kamu laki-laki paling tidak suka diatur-atur, diperintah-perintah dan disuruh-suruh. Apalagi diatur, dikekang dan dibatasi. Dunia laki laki adalah dunia kemerdekaan yang absolute, aneh dan jika itu sudah mengenai harkat dan kewibawaannya apapun akan dipertaruhkan apalagi hanya demi perempuan atau sekadar cinta. Itu tak penting banget. Dan aku sadar Banyu dengan sikap kelelakiannya yang begitu tegas dan keras, pendiriannya yang kuat dan tak goyah. Ketika ia tak mau menyakiti dan mau melanjutkan hubungan. Ya sudah itu mutlak dan tak bisa ditawar tawar lagi. Soal cinta dia sangat logis selogis logisnya lelaki. Sinyal bisa berlanjut sudah aku dapatkan dan logis juga dia berpikir logic. Laki laki memang berpikir logika, beda banget dengan perempuan yang biasanya hanya suka baperan. Perasaan dan emosi yang dikedepankan. Bukan logika yang indah.
Dan Eddy Hayu Banyu pun sudah memilih. Itu artinya ia memang bener-bener
menggunakan logika. Ketika cinta tak bisa berlanjut, ya sudah tidak ada perlu
dirisaukan dilanjutkan dan dipertahankan, karena jika terus dipaksakan hanya akan
sakit dan terluka. Dan ia selalu punya ketegasan kalau ya, iya kalau tidak,
tidak. Titik. Aku berada di antara dua yang bersitegang, Bapak atau Banyu. Pilihan
yang sama sama sulit dan jika berlanjut akan saling terluka, dan itu tak ingin
terjadi tak ingin hal itu yang diinginkan Banyu. Ia ingin tak menyakiti hati
siapapun termasuk aku.
Di saat aku harus memilih, di antara
kepentingan di antara dua cinta. Cinta
dan restu orang tua ataukah nekat mengambil jalur lari yang itu tidak disukai
Banyu dan Banyu tidak mau dengan cara cara tidak jantan dan gentle, itupun
bukan sikap Banyu. Saat sulit kuharus melepaskannya. Saat sulit dalam hidupku
harus memilih, diantara surga. Dimana surgaku yang harus kupilih. Surgaku
sendiri atau surga Bapakku?. Orang tuaku. Dan mengikuti kemauan Bapak
meninggalkan Banyu dan menerima jodoh dari lingkungan pondok. Dalam taatruf aku
dikenalkan dengan Faizal anak Kiai Makruf kenalan Abah.
Aku memang akhirnya mengikuti
kemauan abah untuk mengambil
ekstension dari Fakultas Sastra mengambil FKIP jurusan Bahasa di kampus yang
sama, setelah lulus S1. Aku masih mengambil di kampusku saja kebetulan membuka
program Akta IV.
Pikiran Ibu yang jawa kolot ditambah
sikap Abah yang keras dan frontal
dalam agama, aku jadi serba salah dan merasa tak mendapat ruang gerak. Apalagi
selama ini mereka sudah memberikan keleluasaan yang besar padaku dibanding
dengan mbak dan kakak-kakakku yang harus mondok sampai kuliah. Aku diberi
dispensasi tidak mondok saat kuliah. Bersyukurkah aku tidak atau tidak tahu,
tetapi aku justru sekarang tahu mungkin aku menyesal kenapa aku tidak belajar
mengaji di Pondok sama seperti yang dilakukan kakak dan adikku.
“Seharusnya kau paham bagaimana
memilih pacar atau jodohmu, Da!”
“Mbak sangat kecewa dan sangat
terpukul dengan kejadian ini dan keputusanmu yang sangat egois!”
“Kupikir kau paham bagaimana memilih
jodohmu Da, harusnya Abah tak perlu
mencarikan jodohmu kalau kau tidak memilih Banyu!” kata kakakku. Adikku hanya
menangis melihat aku menangis dalam persidangan keluarga. Aku mati-matian
mempertahankan cinta Eddy Hayu Banyu, satu satunya lelaki yang telah mengikatku
dengan cintanya.
“Pikirkankanlah dulu Da sebelum
ambil keputusan menikah itu seharusnya sekali dalam seumur hidup, tidak baik
kalau sampai cerai-cerai. !”
“Nah dengarkan tuh kakakmu
menasehatimu, sama, kalau menikah itu seharusnya sekali saja dalam seumur
hidup!”
Abah
dan umi serta kakak dan adikku sangat sedih dan kecewa dengan keputusanku
memilih Banyu daripada Azzam jodoh yang disiapkan abah anak dari Kiai Syarief teman Abah dari Pondok Al-Mukmin. Salahkah aku memilih sendiri jodohku di
luar tembok pondok. Aku tak bisa mencintai Azzam. Dan bener kata umi dan abah
apa rumah tangga harus didasarkan hanya semata oleh cinta mengapa bukan pada
akidah dan akhlak yang jelas. Dan Dan lainnya.
Begitulah perempuan selalu
diharuskan menikah sekali seumur hidup. Tetapi apa laki laki juga begitu,
seenaknya saja gonta ganti pasangan. Dapat satu nambah lagi. Sementara
perempuan harus menerima apa adanya dan tidak punya hak untuk jujur kalau rumah
tangganya misalnya kurang bahagia kurang harmonis. Perempuan hanya boleh bisa
menahan penderitaan, menerima dengan kesabaran dan bertahan mati matian
mempertahankan rumah tangganya meskipun ia tidak pernah bahagia. Itulah
hebatnya perempuan. Itulah kuatnya perempuan. Dia bisa bertahan dalam apapun,
kondisi apapun. Dia harus tetap merawat dan menjadi perawat cintanya meskipun
dia sendiri mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
Itulah
kekuatan perempuan untuk tetap menyelamatkan perkawinan dan bahtera rumah
tangganya meskpun dia sendiri hancur berantakan, hatinya berderai derai hancur
berpuing puing yang penting rumah tangganya baik, dan anak anaknya tetap hidup.
Sungguh perempuan yang opurtunis, bisa menyembunyikan luka dan ketidakbahagiaannya
sendiri demi membuat kesan dalam rumahtangganya bagus dan berjalan lancer. Hipokrit.
Dan penuh kemunafikan. Jika ia tak bisa mengakui kejujuran dan keadaan yang
sesungguhnya dalam rumah tangganya, perempuan bisa dan pandai menutupi. Serapat
rapatnya sebuah aib dalam rumah tangganya karena itu ajaran budaya Jawa yang
harus dilestarikan dalam keluhuran budi perempuan dan istri. Pandai menyimpan
rahasia rumah tangganya. Suami dan semua yang terjadi dalam rumah tangganya.
0 comments:
Post a Comment