Foto-foto bayi dan suamiku mas Banyu sudah disebarkan oleh berbagai pihak. Aku, abah dan semuanya meminta bantuan polisi untuk mencari barangkali bayiku masih hidup saat kecelakaan. Namun semua nihil kosong tak ada hasil.
”Bagaimana
pak?”
”Maaf
Bu tak ada satu pun yang mengenali foto anak Ibu, kami sudah mendatangi
berbagai rumah yatim-piatu di daerah Solo dan sekitarnya juga di pihak rumah
sakit tempat Ibu dirawat dulu. !”
”Ya,
sudah pak, pasrah saja!”
”Kami
juga menitip pesan dan meninggalkan pesan dan beberapa selebaran barangkali di rumah
sakit yang lainnya juga mengetahui kabar tentang anak Ibu, juga di Panti Asuhan
Harapan Bunda, Tunas Melati, Mutiara Hati dan berbagai tempat lainnya untuk
menghubungi kami jika ada yang mengetahui
keberadaan anak tersebut. !”
”Iya.
Pak. Terima kasih!”
Mertuaku
ayah dan ibu mas Banyu pun juga telah tiada tak ada yang paham dan tahu
informasi bagaimana anakku selamat atau ikut meninggal dalam kecelakaan maut di
Sumberlawang 20 tahun silam.
Semua menjawab kuat saksi-saksi yang masih hidup bahwa bayiku ikut tewas bersama ayahnya.
Hanya doa-doaku yang menjenguk kematianmu suamiku, anakku. Hanya air mata sedihku. Yang melihatmu senyummu telah hilang. Dalam kecelakaan dan kehilangan demi kehilangan. Seringkali napas hanya sepenggal di ujung jantung. Di sisa hidupmu yang tersisa.
”Kematian adalah takdir!” kata Eddy Banyu waktu dulu pernah bercerita tentang kematian.
Kematian adalah ujian. Ujian kesabaran yang harus dilalui hamba. Yang harus dicapai dan dijalani dengan ikhlas. Agar kita tetap sabar menerima ketentuan dan takdir-Nya. Bila Engkau adalah ujian kesabaran. Duduk dalam hening dan dalam kebahagiaan. Agar tahu nikmatnya Hidup. Kematian adalah jawaban agar kita tahu nikmatnya hidup yang perlu disyukuri. Kematian adalah ujian. Agar kita memaknai arti akhirat. Dan mensyukurinya dalam penuh keberkahan
Jangan bersedih. Wahai saudaraku yang sedang diuji. Sakit, kematian dan kehilangan adalah ujian agar kita sabar. Sabar adalah bisa menahan keadaan yang tidak kita sukai!. Perbanyak sedekahmu. Di jalan Tuhan dengan ikhlas. Hanya untuk diridhoi Allah. Bukan demi riya. Perbanyak sedekah. Akan memperpanjang umur dan sehat. Menjadi tolak balak agar sehat. Dan menjadi manfaat bagi orang lain!. Aku ingin seperti apa adanya. Yang tidak tahu apa-apa. Tapi sangat memahami cinta. Sangat memahami jalan cinta. Memang harus dilalui. Apa yang lebih berharga dari ketakwaan. Dan ketenangan iman. Apa yang lebih sia-sia dari kehinaan dan kecemasan.
Semua untuk
Allah. Hidup dan mati untuk mencari Allah, bersyukur nikmatNya. Ketika semua
orang diberi kaki komplit dan sempurna. Kita sering melihat hal-hal di atas
kita. Coba kalau kita lihat sering di bawah kita. Kita akan senantiasa
bersyukur. Sungai Hu. Hamba mengambang. Mengalir menuju-Mu. Tangan hamba
menggapai-Mu. Saat tenggelam perahu Nuh.
Menemukan-Mu. DiMusim
salju beku. Di telaga syin. Berperahu Nun. Mencari anak-anakku. Mencari baginda
nabi. Selamatkan kami. Dari api neraka. Di jembatan Tsa. Disungai-
sungai beraroma bangkai dosa-dosa anyir dan bau. Aroma-aroma yang mengambang. Antara
rindu-rindu syahwat. Diantara tikai-tikai zaman. Hamba memilih pergi. Di gunung
Jabal Nur. Cahaya-Mu yang bintang.
Aku dapat sms dari sahabat kuliah sekarang di Kemenag Bali,
Namanya Syifa Hidayati.
”Kemarin alhamdulillah pak Kakanwil rawuh di madrasahku, lama terjebak banjir di jalan, memberi suport bahwa kita harus bangga dan cinta
Kemenag. 1. Madrasah sekarang lebih diterima masyarakat. 2. Kemenag
tidak main-main, peringkat ke 4, anggaran 50% anggaran untuk pendidikan 3. Lembaga
survey Kemenag adalah no 2 Kemenag sebagai lembaga Kinerja terbaik no 2 setelah
Kenterian Perikanan n kelautan. 4. Zona Integritas tujuan utk mewujudkan
Wilayah bebas Korupsi (WBK dan WBM)
mind set kita harus berubah jadi bangga dan
mencintai Kemenag. Sip ‘kan Jeng? Kita
berbuat terbaik untuk Kemenag, siapa lagi kalau bukan kita iya ‘kan?”
“Alhamdulillah
ya Jeng!”jawab Syifa setelah lama tanya kabar-kabar.
“Bagaimana
dengan anakmu Ryasa?”
“Iya ini
Ryas sudah lulus dari S-1 Kimia di UGM ini sedang mau cari program S-2, jeng,
tak suruh saja cari-cari peluang mumpung masih muda dan browsing cari-cari beasiswa. Uminya masih biayai adik adiknya.”
“Wah
keren anakmu Da, Alhamdulillah ikut seneng!”
“Makasih
jeng, gimana ya setelah abinya gak ada semua urusan jadi tanggung jawab
saya, Jeng, beginilah!”
“Sabar
jeng Dida!”
“Amin maturnuwun!”
“Yang
kedua?”
“Masih
semester 5 ini Jeng ambil Geofisika di UPN Yogja!”
“Wah
nuruni bakat abinya ya, Alhamdulillah!”
“Yang
Nauval!”
“Iya
ngambil Sastra Inggris, Jeng alhamdulillah toefelnya
kemarin 450, dan dia memang berbakat bahasa Inggris!”
“Okey Jeng siplah ikut seneng anakmu
pintar-pintar, ya Jeng,!”
Namun
sesungguhnya aku sangat kagen dan rindu bayiku, anak pertamaku yang hilang atau
meninggal dalam kecelakaan maut. Begitu mengerikan trauma ini, begitu
menakutkan sebuah kehilangan.
Dunia
begitu menakutkan jika kita tidak tenang dan memikirkan di luar yang gelap,
yang kotor dan mengerikan. Ya Allah lindungilah anak-anakku dari tangan-tangan
jahil yang ingin merampas kesucian hatinya anak-anak yang tak berdosa, bersih
dan selalu suci hati dan pikirannya. Jernihkanlah pandangannya hati dan
pikirannya Ya Allah. Lindungi dari hal hal yang tidak baik. Jagalah selalu
keselamatan hati, jiwa dan raganya. Amin. Tak putus doa-doa Maulida untuk buah
hatinya yang amat disayangi.
Surga
yang hilang. Ya Allah tentramkan hati kami dari segala rasa ambisi dan saling
menguasai. Kuatkan iman kami agar kami bisa hidup nyaman dengan semua orang dan
bisa bermanfaat hidup ini untuk umat.
Berkilo-kilo
sepi, berton-ton kecemasan terkadang membayang di perjalanan, yang itu-itu
saja, berjuta-juta kebosanan hinggap menyelinap di relung batin. Namun betapa
roda hidup akan terus berputar dan berputar, entah di stasiun penghabisan mana
berhenti. Semenjak kematian Edy Banyu
suamiku, dunia sedikit aku buka, namun tentu tidak semuanya. Tidak ada
yang bisa ditukar waktu. Seperti Puru tokoh wayang yang rela menukar
kemudaannya dengan usia ayahnya agar ayahnya bisa hidup lebih lama. Demi
kecintaan ayahnya dia rela segalanya. Menyerahkan sisa umurunya untuk Bapaknya.
Aku
terima jodoh dari abah angkatku di
pondok Abah Zarkasi, begitu saja. Setelah
amnesia dan ingatanku pulih. Aku hanya terima nasibku ketika Abi Faizal salah
satu santri di pondok Al-Mukmin pimpinan Ustaz Zarkasi meminangku. Dan
statusku janda berubah jadi nyonya. Pinangan sederhana di pondok karena abi pun juga anak yang datang dari kota lain yang
kebetulan mondok di Ustaz Zarkasi.
“Da…buka
pintunya dong Da!”
“ Aku
ingin sendiri dulu gak mau diganggu
dulu!”
“Bukan
gitu Da, siapa yang datang kau pasti senang, sini Dedy bawa teman-temannya
sekampus!”
“Whaaat!”
“Oh my God, kenapa Dedy ke sini, kok tahu
aku mondok di sini!”
Pondok Ustaz
Zarkasi adalah rumah keduaku, di sinilah lebih 5 tahunan lebih aku dirawat dan
mendapat curahan kasih sayang dari Ibu Nyai dan ustaz, sehingga aku bisa
menjadi guru madrasah, kegemaranku menulis tetap masih berlanjut. Dan aku
kembali pulih dalam perawatan mereka.
“Heyy
temuilah, mereka tamu loh!”
“Itu
juga ada teman-teman sekosmu!” kata mbak Nisa, mengetuk ngetuk pintu.
“Buat
apa mereka kesini, buat apa coba, aku ‘kan
mau menikah?”
“Gak baik bersikap begitu pada tamu Da!, Gak sopan loh!”
“Ayok
mana Didaku yang baik, yang sopan, jujur dan selalu menghormati orang lain?!”
“Iya iya
Mbak…bawel amat!”
“Ihh
jutek amat wajahnya gak boleh gitu dong,
senyum senyum yang lebar!”
Mereka
semua kumpul di ruang tengah rumah kakak perempuan angkatku di pondok. Kalau
aku malas pulang memang aku ke rumah kakakku itu.
“Menikah
itu anugerah Da, buat apa malu tuh banyak yang pingin menyusul dan segera punya
pasangan hidupnya!”
“Dan kau
sudah dipertemukan Tuhan dengan jodohmu Da, dan Tuhan sudah mempersatukan hati
kalian dengan perkawinan nan agung, dan tak satupun manusia yang bisa memisahkannya!” Mbak Sinta
memelukku erat, juga Beny, Siwi, Anik, Suci, Menik dan teman-teman sekos
lainnya.
“Jodoh”?
“Perjodohan?!
kali!”
Jujur bagiku laki laki memang
segala penguasa dunia yang egois. Sangat egois dan mengerikan. Jika ngomong
seenaknya saja. Semau maunya saja. Semua mencekam dan menakutkan dunia akan
runtuh dibuatnya. Dan bodohnya sudah berapa banyak dari kaumku yang menyerahkan
hidup “mati”nya di tangan seorang lelaki. Wajar dan aku bisa menerima,
kenyataan pahit yang memedihkan hati. Perempuan bisa terhenti dan menghentikan
hidupnya hanya untuk lelaki konyol. Dan hidup konyol adalah jika menemukan
pasangan hidupmu lelaki yang konyol, lelaki egois yang selalu hanya bisa
memandang dirinya super egois, super baik dan tak pernah tahu dimana letak
kelemahannya, mau menang sendiri, dan selalu menjust orang lain dengan
kejelekan-kejelekan, bahkan mengkafirkan orang lain. Sudah hidup akan terhenti
sampai disitu saja jangankan kau akan tersenyum karena setiap hari kau akan
melihat api yang menyala membakar rambutmu, membakar hatimu dan pikiranmu,
membakar hatimu dan rumah hatimu juga rumah tanggamu, jadi lautan neraka!. Dan
aku tak suka dan aku membenci sebenci bencinya, lelaki begitu.
“Menikah bukan akhir segalanya, Da!”
kata Mbak Nisa.
“Buktinya Mbak masih diberi
kesempatan sama kakak iparmu untuk bekerja dan melanjutkan study lanjut, iya ‘kan!”
“Tetapi tidak semua lelaki seperti
itu Mbak!”
“Iya juga sih, tetapi rata-rata
lelaki yang baik akan memberikan pendapat dan support dan mendukung istrinya,
pasangan hidupnya!”
Dalam hati aku berkata aku memang
harus menerima pernikahan ini, karena semata untuk membalas kebaikan dan balas
budi baik Ustaz Zarkasi, abi keponakan dari Abah
Zarkasi yang dipeliharanya sejak kecil. Dan aku tetap minta doa restu abah dan umiku sendiri di luar kota yang
jauh, bahwa mereka pun telah memaafkan kesalahan dan mengampuni dosa dosaku
dulu pernah melawan dan durhaka padanya. Ibuku sudah memaafkan, juga abahku, dan saudara-saudaraku mulai
menjalin silaturahmi lagi denganku.
“Sebagian besar kuamati memang
begitu zaman sekarang banyak para suami atau lelaki justru memberikan kebebasan
untuk bekerja berkarya dan apa keinginan dan kehendak istri. !”
“Iya sekarang banyak sekali lelaki
yang berpendidikan tinggi, jadi jiwa dan wawasannya makin terbuka, mau menerima
pandangan dan wawasan pihak istrinya atau perempuan!”
“Jangan takut untuk menikah Dida!”
“Selama kau yakin pilihanmu baik ya
yakinilah memang ia yang terbaik ‘kan!”
“Menikah itu tidak membuat hidupmu
berakhir Da, justru memulai hidup baru yang lebih suci danMulia dalam ikatan
suci!” kata temanku Sita.
Mengikuti
hati mati, mengikuti rasa binasa. Sama sama sulit seperti pilihan memakan buah
simalakama. Antara menyeberang atau berlanjut. Sama-sama sudah basah terkena
hujan. Situasi yang rumit membutuhkan kesadaran yang benar benar penuh keyakinan. Begitu
berjalannya waktu hanya waktu yang
sangat misteri menyembunyikan yang belum kuketahui dengan sempurnanya. Dan baru
dengan berjalannya waktu aku ketahui kejelasannya, kebaikan dan kekurangan Faiz suami pilihan orang tua
angkatku. Tak ada yang salah dan disalahkan. Semua orang tak ada sempurnanya,
pun demikian aku di mata Faizal aku
bukan juga bidadari yang tanpa cacat, banyak kelemahan dan kekuranganku. Tetapi
komitmen tetap jalan, kebersamaan akan melengkapi saling mengisi dan melengkapi
ketaksempurnaan. Meskipun hubungan memang pasang surut dan tidak stabil dalam
perjalanan ke depan. Gelombang kehidupan kadang membuat biduk terasa karam dan
terdampar di pulau asing dan sepi, gersang dan tandus. Ya hanya dihuni oleh
hatiku sendiri. Aku pun asing di mata Faizal, Faizal pun asing di mataku. Kadang
tak seiring sejalan. Kadang turun-naik hubungan, memuncak percik konflik turun-naik
grafik hubungan memanas dingin dan terjadi konflik dan pertikaian.
Faizal
tumbuh dari pribadi yang keras, egois dan maunya menang sendiri. Sungguh bukan
pribadi yang santun dan santai saat pertama menjalin hubungan. Ibarat kucing
sudah tahu belangnya, ibarat topeng sudah tahu kedoknya. Tidak semua anak
pondok dan pesantren itu culun lugu jujur dan santun. Semua tidak menutup
kemungkinan adanya ketaksempurnaan. Dan jangan harap menuntut kesempurnaan
manusia hanya Allah tempat kesempurnaan sejati.
Duniaku
yang dulu kurasa terbuka jadi tertutup dan aku jadi pribadi yang penakut, mudah
sedih, pemarah dan banyak tekanan. Sebetulnya kita tak banyak sejalan atau
seiring sejalan. Banyak pikiran-pikiran berbeda dan terkadang kalau aku
tersinggung dan bisa jadi konflik yang memuncak. Di sini aku memposisikan diri
sebagai pihak yang mengalah saja. Meskipun itu urusan prinsipil. Soal hubungan orang
tua dan anak misalnya. Justru Faizal menjadi duri dan pemecah keluarga abah dan nyai.
Ini yang kadang menjadi ganjalan kenapa
hanya beda pandangan atau mazab kita jadi bertikai kita jadi berkonflik dan
tidak mau berhubungan dengan orang tua.
”Sungguh Ya
Allah, jika kudapatkan surga suami tetapi aku kehilangan orang tua, abah dan
Ibu pun aku harus rela kuikhlaskan ya Allah!”
”Apakah harus
begitu ya Allah surga yang kau berikan aku penuh dengan pengorbanan hati!”
”Tidak, aku
juga tidak ingin menyakiti orang tuaku itu Ya Allah!”
Riak-riak
kecil seringkali menghampiri dan menerpa biduk mahligai pernikahan, hingga
gelombang besar menghantam. Adalah hal biasa dalam perkembangan sebuah
pernikahan. Hanya hati seteguh karang dan sekuat karang lah yang bisa membuat
perjalanan biduk kehidupan sampai pada ending dan titik akhirnya. Banyak
perbedaan-perbedaan yang justru ditiadakan atau disikapi dengan pertentangan. Aku
cenderung mengalah seperti kebiasaan perempuan Jawa lainnya menempatkan sisi
rasa mengalah dan berbesar hati untuk kehidupan kelanggengan keluarganya. Aku
bukan type yang mau menang sendiri, namun ketika aku tersinggung dan merasa
dilecehkan dan tidak dihargai atau dihina maka aku sangat berani untuk melawan
siapa saja. Rasa mengalahku entah apa aku merasa diinjak injak.
Sangat sulit
aku menerima lelaki lain selain Banyu dalam hidup. Aku sebenarnya sudah pasrah
dan tak ingin lagi melanjutkan hidup. Aku tak sanggup. Aku ini akan mulai gambling berjudi dengan hidupku
selanjutnya apa akan lebih baik apa lebih jelek dengan menikah dengan Faizal,
tanpa cinta. Sungguh cinta telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untuk bayu. Hatiku sudah
miliknya, aku kemudian harus membuka cinta baru dengan Abi Faizal. Faiz dari pribadi dan latar sosial
yang sangat berbeda dengan lingkunganku dulu di kampus. Faiz memang kuliah juga
namun aku tak begitu mengenalnya. Kecuali sebatas taaruf dan niat bismillah
semoga baik seperti yang diajarkan oleh Ustaz Zarkasi.
Perbedaan-perbedaan
kecil hingga pada konsep hidup yang besar memanglah ada dengan Faiz. Faizal
sangat kaku mensikapi hidup cenderung tidak luwes dan sikap mau berkorban dan
mengalah demi cinta dan demi apapaun, kayaknya
Faizal tidak ada seperti itu. Dunia ketertutupan Faizal yang menurutku
berlebihan dan tidak masuk akal, aku harus terima, pandangannya dan
menghormatinya namun aku sungguh sebenarnya aku tidak setuju dan mengikuti
begitu saja. Karena kekecewaanku dan karena banyak hal yang harus aku katakan
dalam hati maka, aku mulai membuka-buka buku-buku lagi dan membuka diariku lagi,
hidupku banyak tekanan dari suami, hal-hal kecil kecil yang aku tidak setuju
namun tak bisa aku lawan. Faizal dengan tidak merasa bersalah dan terus merasa
benar dengan sikap dan pandangannya sering kali menghina dan mengujat dan
selalu menyalahkan. Inilah hal tidak aku sukai dari Faizal. Hal hal yang sering
kali hal yang kecil namun sangatlah mengganggu. Misalnya kebiasaan di rumah
memakai sandal atau sepatu yang masuk rumah tidak suka menjaga kebersihan, sak geleme
dewe, saat lantai di pel, kalau naruh baju sembarangan tidak sesuai
aturanku, naruh baju di kursi makan, menyambung kabel listrik di rumah berantakan,
suka makan pete, jengkol dan lainya yang bau,
tidak pernah mau menjaga kebersihan, tempat tidur berantakan, ya semua
memang tugas aku aku yang mengatur tetapi aturan itu tak pernah digubris dan
dihormati bahkan dilanggar terus akhirnya jadi kebiasaan jeleknya itu jadi
kebiasaan dan aku hanya menonton dengan geram. Dan jika pergi gak pamit Aku didik dari keluarga yang
apapun harus ijin dan pamit kemanapun pergi. gak
pernah pamitan sama aku. Aku biasa dididik dan tumbuh dari keluarga yang
menjaga keselarasan komunikasi yang terbuka. Tanpa bisa mengubah dan tak harus
bisa diubah. Aku untungnya bisa mencuekkan hal hal kecil perbedaan perbedaan
letupan kecil yang sangat mengganggu menjadi hal yang biasa dan tak kuanggap
mengganggu. Hidup adalah berkilo-kilo kehambaran, kegersangan dan berkilo-kilo
rasa sepi yang terus merajam, meski hidup bersama meski ada teman meski
semuanya ada tetapi hambar seperti sayur tanpa garam. Intinya Faizal tak pernah
mau membuka mata dan menghargaiku, tak pernah membuka untuk menghormati
kemanidirianku selama ini. Bagaimana dia berkedok agama, dan menggunakan alibi
kemandirian perempuan untuk lepas dari tanggungjawabnya sebagai kepala rumah
tangga. Faizal menggunakan kemandirian perempuan hanya untuk egonya, dan tak
pernah mau berpikir mendidik dan membiayai anak anak dan begitu saja lepas
beban untuk membiayai kebutuhan hidup anak anak. Yang lebih bete lagi saat dia selama hampir lebih 5
tahunan lebih hampir 7 tahun off
kerja dari proyek dan di rumah saja, praktis semua kebutuhan rumah tangga
dengan 3 anak satu suami aku semua yang menghandel. Lelah dan kadang menyerah
saat aku harus jatuh bangun sendiri mencari kebutuhan hidup. Gali lubang tutup
lubang, usaha apa saja aku lakukan untuk dapat makan dan bertahan hidup.
Hidupku sekarang
hanya milik Allah, hanya dialah yang berhak untuk dipuja, disembah dan berhak
menguasai hidup kita. Kita tinggal menunggu antrian jalan pulang, kita mau cari
apa lagi rasanya sudah tak pingin apa-apa lagi. Hanya aku dan Allah saja
sekarang saat semua yang kumiliki
meninggal dan menjauh pergi apa yang bisa dipertahankan dari sebuah waktu hanya
kefanaan yang tak berujung.
Hidup dimulai
lagi saat usia 40 tahun. Usia yang sangat tua untuk memulai kehidupan, namun
sebuah kematian tidak harus membuat hidupmu terhenti bukan? Dan Menghentikan
hidupmu bukan? Hidup terus berjalan dan hanya memohon perlindungan Allahlah
hidup ini akan selamat dan bahagia. Dan inilah kebahagiaan. Di tengah segala
persoalan aku harus bisa mengatasi sendiri, memutuskan sendiri dan tak ada
siapapun yang membantu termasuk Faizal.
Hidup dengan
Faizal ternyata butuh perjuangan yang luar biasa bukan hanya perjuangan untuk
mendapatkan cintanya tetapi aku sendiri juga berjuang untuk mendapatkan cintaku
sendiri. Aku beruntung mempunyai sedikit pondasi keagamaanku yang sedikit agak kuat sehingga apapun persoalan
bahkan hidupku sendiri kuserahkan pada yang mengatur hidupku hanya Allah. Dengan
berserah hidup pasrah dan apapun jadi tenang, dan terasa indah. Dan hidup
dengan Faizal ’tak mudah terasa begitu sulit untuk mencintainya. Namun jika
Allah telah membuatku mudah juga terasa mudah dan ringan. Perbedaan bukan untuk
kujadikan alasan konflik. Aku tak suka konflik. Namun terkadang tanggungjawab
yang dibebankan padaku terasa berat, sementara berbagi tanggung jawab dengan
Faizal pun juga tak mudah, tak begitu dewasa Faizal mensikapi tanggung jawab
sebagai seorang kepala rumah tangga. Aku tidak tahu apa Abah Zarkasi dan Ibuku juga merasakan hal yang sama, kekecewaan
memilih suami untukku. Yang aku tahu
sekarang abah dan Bundaku sudah tenang hidup di alam kelanggengan di
alam baka. Selama beliau hidup pun aku tak pernah berkeluh kesah dengan Faizal,
aku tak mau memberikan kesimpulan bahwa merekalah yang membuatku menderita dan
bahwa pilihannya bukanlah yang terbaik untuk puterinya. Juga kepada kelima
saudara saudaraku aku tak pernah bercerita apapun mengenai rumah tanggaku yang sampai puncaknya kemarin
hampir putus di tengah jalan dan hampir aku menggugat cerai Namun itu tak jua
kulakukan dan kuceritakan pada siapapun. Kecuali karena hanya pada diaryku tempat kumenulis keluh kesah dan segala rasa
hatiku, karena bagiku menulis adalah untuk terapi jiwa. Dan pada buku-buku itu
sayapku terkembang, menjadi diriku yang terbang terbuka bebas kemana saja. Dan
menulis sebagai obat jiwa, tempat menuangkan segala kisah.
Dan aku tidak
begitu suka, kisah puteri yang begitu menemukan sang pangeran, kemudian cerita
selesai dengan happy ending dan berakhir bahagia. Hidup bukan dongeng. Hidup
memang cerita tapi bukan hal-hal yang indah saja. Tetapi ada suka duka dan
penuh dengan misteri ketakutan penderitaan dan kebahagiaan, misteri yang sangat
luar biasa. Dan Allah lah segala tempat kumenuju. Hidup matiku dan segala
bergantung pada-Nya, segala daya dan kekuatan. Hidup bukan serentetan kata-kata namun sederet realita.
Hari Minggu,
pas ketiban jatah pengajian dan sholawatan ibu-ibu muslimat di kampungku.
Aku kebagian tempat dan segala uba rampe
disangga bareng-bareng acara
kampung di tempatku. Kebahagiaan itu sangat sederhana dan indah serta mudah dan
deket dengan kehidupan kita sehari hari. Mengapa harus dicari sampai ke ujung
dunia pasti juga tidak akan ketemu. Karena hati yang bahagia adalah hati yang
senantiasa diliputi kecintaan pada Allah dan Rasul, bersafaat bersholawat dan
berzikir tak henti pada Allah. Kebahagiaan itu dalam hati yang tenang sumeleh
dan terasa dekat dengan siapapun mereka yang senantiasa mengagungkan asmaNya. Itulah
surgaku sekarang surga yang kupilih terlepas dalam hatiku bahagia atau tidak sedang
sengsara atau menderita sedang kekurangan atau kelebihan bukankah cukup Allah
saja kita meletakkan kebahagiaan dan meminta pertolongan-Nya. Di kampungku sedang
ada acara pengajian ibu-ibu muslimat NU dan dipimpin pak Kiai di pondok
kampungku. Abah Zarkasi, nyai dan
banyak santrinya juga hadir di rumahku. Aku mulai menjauh dari dunia luar apapun yang membuatnya aku tak mau terebut
kembali perhatianku ada dinding pemisah dunia yang sangat tinggi antara dunia
di luar rumah dan dalam rumah. Dua dunia, yang terpisah dan apapun takkan
mungkin bisa membuatku bersatu, dan membuatnya bisa mengubah atau mempersatukan
jiwa. Meskipun orang-orang yang menjadi penghalang dulu sudah tak ada abahku suamiku Faizal, Mereka berdua sudah meninggal
dan aku hanya seorang janda yang ditingal mati suami.
Dunia luar rumah sudah kututp rapat. Aku tak
mau lagi acara acara puisi yang jauh, duniaku di rumah menulis dunia buku dunia
novel. Namun dunia sudah begitu kerasnya. Dan tak bisa disatukan. Meski
demikian kita tetap menjalin hubungan baik dengan semua orang dan sahabat. Sesekali
menghadiri acara launching buku
kenalan. Semua teman-teman yang suport
dan mendukung. Tidak ada rasa iri, tidak ada dendam dan kesumat dan sakit hati.
Buat apa dendam dan sakit hati kita sudah tak pernah melukai siapapun dan tak
menyakiti siapapun, kita adalah jiwa-jiwa yang saling merdeka. Aku hidup
sendiri dan mandiri dengan kekuatan dan apa yang ada pada potensi diriku
sendiri tidak tergantung orang lain apalagi mengganggu, merusak dan merugikan
orang lain. Itu tentu bukan sifatku. Aku bukan pengganggu dan perusak siapapun
jika orang hanya menilai kesendirian dan kepedihanku ini biarlah hanya Allah
yang menjaga dan menjadi hijabku. Aku tidak mau membuka diri, duniaku hanya
membaca buku dan mengajar dan itu sudah cukup membahagiakan aku tidak ingin
mencari kebahagiaan lain. Kecuali membesarkan anak dan cucuku, memberi manfaat
pada saudara sanak keluarga dan tetanggaku dengan apa yang bisa kulakukan untuk
hidup memberi manfaat pada sesama.
Dan kebaikan
itu abadi seperti halnya juga kebenaran akan mengikuti, sebaliknya kebenaran
abadi maka kebaikannya akan mengikuti, seperti itulah hukum yang berlangsung. Sehingga
aku akan mengikuti jalan hijrah para pejuang Islam para suhadak Islam dan penerusnya untuk tetap
di jalan Allah, menemukan kedamaian dan ketenangan dan kedamaian yang
dirisalahkannya. Aku akan butakan mataku untuk melihat dunia kutulikan telinga untuk mendengarkan
ghibah kututup mulutku untuk
membicarakan aib orang lain, riya dan menyombongkan amal ibadah, kututup
telinga untuk mendengarkan orang menghasut, dan kututup mati hati untuk warak,
riya, dan hasad. Hidup harus hijrah, berubah baik dan mengubah diri pribadi
menjadi kebaikan terlebih dulu dari dimulai pribadi sendiri terlebih dulu. Kebenaran
dan kebaikan itu abadi maka akan selalu diikuti oleh siapapun yang punya hati.
Dan cinta
adalah kekuatan untuk melenyapkan dan menafikan bisikan-bisikan gaib syetan dan
menguatkan keyakinan untuk tetap di jalan Allah. Itulah kekuatan cinta yang
sesungguhnya, kekuatan cinta yang sejati ada pada kekuatan untuk menundukkan
hawa nafsu sendiri dan mengalahkan emosi, dan membiarkan kebenaran dan kebaikan
melingkupi memenuhi relung hati. Apakah kau akan sampai ke sana pada Cinta
Sejati itu? Yang bisa lepaskan cinta duniawi dan cinta ragawi, dan melenyapkan
segala yang berhubungan dengan materi dan hubudunya dan cinta ragawi. Maka
sudah tak berharga lagi kaya miskin, jelek baik, cantik dan tidak cantik itu
baru dalam tataran cinta datar anak sma sebagai cinta monyet. Tetapi bagaimana
melebur dalam suksma untuk terus dalam kebenaran dan kebaikan dalam situasi dan
kondisi apapun tetap di dalam satu rasa Allah Tuhan Semesta Alam. Sudahkah kita
sampai tahap sana?.
Paling tidak
aku punya kejujuran dalam buku bukuku yang bisa kau hargai. Lihatlah siapa aku,
tubuhku dan seluruh kecantikan ragaku yang tertutup itu akan kau baca terkuak
dan kau lihat sebagai mutiara terpendam, paling tidak kau bisa menghargai
kejujuran itu sendiri. Sesuatu yang lahir karena kejujuran itu kupikir lebih
berharga ketimbang sesuatu yang dipoles dan rekayasa.
”Kalau kau
pingin tahu bagaimana kecantikanku bacalah bukuku, kau akan dapatkan setiap
jengkal kelembutan dan keindahan dan kemolekannya!” aku kutipkan pembuka dalam
acara seremonial dalam acara bedah buku, dimana aku ketemu Benny yang mencariku.
Teman sekosku dulu di Muthiagana Solo.
”Jangan dulu
ditafsirkan kecantikan ragawi jelas aku takkan mengungkapkannya atau
memamerkannya padamu!” jelas itu aku banyak bincang dengan para narahubung
acara yang kupandang keren itu.
Benny dengan
segala kerinduan dan keindahan persahatan kupeluk kami berpelukan lama dan
berbincang soal karir pekerjaan, keluarga dan anak, yang lama.
”Akhirnya kau
sampai juga Da!”
”Kau juga
sampai juga Beny, kita sampai di kota Solo yang sama dengan mempertemukan
keterpisahan kita hampir 25an tahun”.
”Terus
bagaimana bukumu, tokohmu yang si jangkung, puisimu, cerita novelmu aku sudah
baca semua ya Da!”
”Great hebat kamu”
”Hebat? ”
Hebat adalah sesuatu yang jujur dan apa adanya, kejujuran lebih kemilau dari
emas ‘kan Beny!”
”Seratus,
bener banget Da!”
”Menikmati
sesuatu kejujuran yang terlahir dari sikap yang dewasa adalah sebuah pemahaman
yang dewasa pula, dibutuhkan kedewasaan yang full untuk bisa menikmati setiap
jengkal kata dan perilaku tokoh di dalamnya!”
Cinta adalah bisa kekanak-kanakan, yang suka
merajuk dan minta perhatian. Seberapa besar cinta pasti ada saja kesalahpahaman.
Hal yang sangat lumrah.
”Dan kau
sendiri di masa tuamu gak lagi punya
keinginan untuk menikah lagi, Da!?”
”Gak kayaknya!”
”Subhanalllah
sungguh aku bahagia banget bisa dipertemukan denganmu kembali Da setelah
keterpisahan jarak dan waktu, sebetulnya
aku banyak membaca bukumu!
”Hidup ‘kan sebuah keajaiban Ben, menurutku
semua adalah misteri Allah, hanya Allah yang tahu kapan dipertemukan dan
terpisah, hidup ini ‘kan misteri Beny!”
”Iya Da bener
juga!”
”Jadi selain
ngajar kamu nulis lagi Da!”
”Ya begitulah
Beny, aku sudah pensiun tidak ngajar lagi tinggal menikmati masa tua dengan
anak cucu, menikmati hari tua menjadi nenek yang indah!”
”Hahaha. Kau gak berubah Da meski dah nenek nenek
tetap gaul meski pemalu dan keluguan dan kepolosanmu bercerita, membuatku
kadang terpingkal-pingkal kalau baca!”
”Haduhh Beny
rambut sudah putih semua, sudah lama kita meningggalkan dunia hitam ya, Ben. Hahaha!”
”Hahaha betul
bingits Daaa. . . kita ketularan alay sama seperti perbincangan anak anak kosan ya Da. . . !”
”Wkaka padahal
usia ‘kan baru 25 kebalik saja angkanya hahaha!”
Usia sudah
demikian udzur hanya pingin memikirkan kubur. Sering sekali tapak tanganku tak
cukup lebar untuk memberikan bantuan dan pertolongan ke sesama, saudara dan
mereka yang seringkali membutuhkan pertolongan kita.
Setiap saat
adalah akan menemui ujian. Ujian yang membuat kita kadang merasa tak berguna,
tak berarti dan kekecewaan. Jiwa besar kadang tak cukup. Kesabaran adalah
kekuatan untuk menahan hal-hal yang tidak kita sukai. Hal hal yang tak bisa
kita terima, sulit dipahami itu kesabaran.
Pikiran kadang
bercabang kemana-mana anak suami,
keluarga, pekerjaan, karir dan semua terkadang terjebak dalam kesia siaan, yang
panjang. Merasa jahat merasa tidak baik, merasa tidak berguna, merasa
disalahkan.
”Begitu cinta,
jika terjadi sesuatu pada orang yang kita sayangi sakit atau terluka atau
bahkan meninggal, sungguh aku tak akan sanggup dan tega melihatnya. !”
Faizal adalah
lelaki yang super egois, lelaki paling egois di seluruh dunia yang kukenal. Segala
sesuatunya harus diukur dengan paradigmanya sendiri, yang tidak cocok dianggap
musuh dan rivalnya. Ia tak pernah mau menerima pandangan orang lain, dan tidak
pernah mau mendengarkan pendapat orang lain. Termasuk aku istrinya. Banyak hal
yang kupaksakan cocok demi kecocokan namun hatiku tidak bisa menerima. Sebenarnya
memang sudah lama ketidakcocokan dengan Faizal.
Namun sekali
lagi ayat-ayat-Mu setiap pagi tadarus, tiap membuka pagi denganmu. seperti suara zikir lebah yang bertahmid
setiap pagi. Menguatkan hatiku yang lemah, menegakkan hati yang patah,
meluruskan hati yang bengkok, mendirikan kaki yang lumpuh. Engkaulah dengan
kalam suci-Mu yang dibaca setiap jam 07. 00 WIB mengawali ibadah pagi dengan
bismillah untuk mencapai keridoaan-Mu semata.
”Mbak Dida
ditunggu Ibu, Ibu mau ada acara pengajian, ni anak anak sudah berkumpul semua!”
telpku dari adikku
”Ya Sa, nanti
Mbak nyusul ini lagi nunggu Naufal pulang dari renang, sebentar aku meluncur
sana!”
”Iya Mbak,
pokoknya dateng loh keluarga kita pada kumpul-kumpul nih!”
”Iya insyallah!”
Ada telpun
lain juga masuk dalam ponselku dari teman kerjaku di madrasah pak Ali Mustofa,
seorang penulis yang buku Islamnya diterbitkan penerbit besar.
”Gimana pak!”
”Iya Bu, jadi
besok tolong dibuka untuk acara bedah buku di madrasah!”
”Iya Pak,
insyaallah!”
”Selamat dan
sukses ya Pak Ali semoga barokah dan sukses selalu ditunggu karya-karya Bapak
berikutnya!”
”Iya Bu
makasih insyaallah, besok jangan lupa njih!”
”Njih siap pak!”
Lagu Cakra ‘kan mengalun lembut serak serak di
tengah senja lepas ini, sebuah soundtrack film Rudy Habibie. Sambil
kumenunggu anakku yang pulang dari les, kuputar lagu Cakra ‘kan, Mencari Cinta Sejati :
Hembusan angin meniup wajah alam. Mataku tak berkedip menatap langit. Terlalu
luas tak bertepi pandang. Bisakah
tanganku menyentuh awan. Berwaktu-waktu aku mengasuh rasa. Mendengarkan
jiwaku berkata–kata. ’tak mungkin
kuabaikan. Selamat tinggal kenangan denganmu. Kau bukanlah kesalahan. Tak pernah aku menyesal. Tapi biarlah aku terbang bebas. Mencari cinta sejati. Mendengarkan jiwaku berkata-kata. ’Tak mungkin kuabaikan katya hati. Kau dan aku tak bisa bersama. Bagai syair lagu tak berirama. Selamat tinggal kenangan denganmu. Senyumku melepas dikau pergi. Selamat tinggal kenangan denganmu.
Solo dalam
kenangan. Dan aku akan selalu terkenang. Beteng Gladak, Sekaten, Beteng
Vasternburg, Gereja, Bank Indonesia. Klewer yang terbakar atau dibakar. Sekejab
hangus jadi arang, dan kini mulai dibangun kembali. Sungguh kekayaan budaya
dengan segala kelebihan dan kekurangan hilang begitu saja. Mataku jadi
berkaca-kaca. Mengingatkan puluhan tahun yang lalu aku di sana. Saat obsesi
obsesi masih tinggi, harapan target target masih ingin diraih. Saat mimpi mimpi
masih terkembang di langit, saat idealisme idealisme masih di awang-awang. Tidak
lagi seperti kini dan sekarang. Hidup sudah terbeban realitas. Hingga setiap
saat aku lewat peristiwa peristiwa di Solo di gladag membekas tahun 1998
reformasi demo dan pembakaran besar besaran di depan gladak berjumpalitan ada
ban ban dan mobil dibakar, demo rasis dan kerusuhan sosial di Solo, pribumi dan non pribumi dari Solo
hingga kota kota kecil di sekitarnya. Sungguh Solo rusuh, geger cina dan pribumi terulang
kembali, penjarahan, pembakaran Beteng, pemerkosaan dimana mana mencekam menakutkan. Mengerikan.
Kali pepe. Lampion dan bedug
berjajar. sepanjang jalanmu. Memberi rona
warna malammu. Blusukan dari kampung kampung
tempo dulu. Tak sekadar
menyanyikan
lagu bengawan solo. Pagi para pengendara laku.
Batik dan malam beradu. Di café dan kraton, hotel dan andrawina. Lampion dan
lampu, bakmi dan serabi. Kraton dan
rakyat di cangkir
kopi. Sriwedari.
Wedangan dan
bar bertemu. Solo kini
dan masa lalu.
Tembok sultan surjan
dan tombak. Bertemu
dalam geliat syahdu aura
putri solo. Halus kenes
sekenyal serabi notosuman
Selegit hitam
manis bubur pleret putih
mulus. Sepanjang kali pepe. Sepanjang sejarah yang tak pernah
tidur.
Setinggi tanggul tanggul. Aku mengenangmu
gadis manis. Yang malu malu
mencintai di luar tembokmu.
Sehabis pawai sekaten. Engkau lah huruf-huruf yang hilang tak terbaca di buta zaman meski
kau tak butuh suara riuh pawai gunungan bersorak tak sampai
puncak. Umbul-umbul menyembul,dari dalam
rahasia tertancap dada. Saling berebut
untuk sampai ujung langit,antara hitam
putih dan aneka warna rona. Mabuk di
lautan pawai melengang di dekat urat kau tersenyum. saksikan kami yang tak
pandai memikul huruf : sepi dalam keranda barisan menuju satu alamat. Engkau
lah huruf-huruf yang hilang tak terbaca.
Di buta zaman,meski kau tak butuh suara riuh pawai gunungan bersorak tak sampai
puncak umbul-umbul menyembul dari dalam
rahasia tertancap dada saling berebut
untuk sampai ujung langit antara hitam
putih. dan aneka warna rona mabuk di
lautan pawai melengang di dekat urat kau tersenyum saksikan kami yang tak
pandai memikul huruf : sepi dalam keranda barisan menuju satu alamat.
Kraton, kau bukanlah tembok mati. Saksi dan catatan sejarah. Kau boleh jadi elang dengan sayap. Tak pernah mundur menantang ombak di depan. Keluar
dan melihat. Laut pantai selatan. Ringin itu adalah pohon teduh. Dengan rambatan akar
yang kekar. Menumbuhkan keteduhan
dan perdamaian. Pada alun alun jiwa semesta
yang luas. Kau menjadi
lambang suci. Yang sakral
maulid nabi di mesjid agung. Rakyat mendapat
berkahmu. Dalam perayaan sekaten. Kau
menjelma kendi. Batik, komedi
putar, dan tembikar. Untuk
cindera mata. Tentang kotamu. Saksi dan catatan sejarah. Saksi cinta yang
salah. Kau boleh jadi elang
dengan sayap. Tak pernah mundur
menantang ombak di depan. Keluar dan
melihat. Laut pantai selatan. Ringin itu adalah pohon teduh. Dengan rambatan akar
yang kekar. Menumbuhkan keteduhan
dan perdamaian. Pada alun alun jiwa semesta
yang luas. Kau menjadi lambang suci. Yang sakral maulid
nabi di mesjid agung.
Rakyat mendapat
berkahmu. Dalam perayaan sekaten. Kau
menjelma kendi. Batik, komedi
putar, dan tembikar. Untuk
cindera mata. Tentang kotamu
Slamet Riyadi. Wedangan hik. Menghirup
aroma malam. Gurihnya serabi
semanis senyum para gadisnya. Tentang
rindu yang terbakar. Engkaukah. yang datang. Serupa orang suci. Menemani malam
malam slamet riyadi. Aku menemukan
mangkubumi.
Di antara dua kota. Solo menjadi
lautan api reformasi. Gladak merah darah
api. Membara ambrukkan istana
matahari. Membara segitiga meruncing
genting. Menusukapa saja. Membakar merusak menharah. Kursi terguling di
jalanan tumpah. Gladak riuh rendah. Pribumi dan non pribumi. Saling memendam
kesumat zaman. Dalam merah sejarah
berdarah. Akankah terulang kerusuhan rasial, kerusuhan social pribumi
dan nonpribumi. Anarkhi dimana-mana. Wedangan
hik. Menghirup aroma malam. Gurihnya
serabi semanis
senyum para gadis. Tentang
rindu yang terbakar. Engkaukah yang
datang. Serupa orang suci. Menemani malam
malam slamet riyadi. Aku menemukan
mangkubumi. Di antara dua kota Solo dan Yogya. Aku terhanyut
dalam nostalgia. Perempuan senja. Yang menapaki jejak
luka cinta. Aku hanya garwa padmi.
Yang tak punya derajat tinggi. Selir ratu tanpa kursi. Dari mana
asal usul. Bobot bebet dan
bebet. Yang tak pernah
bias kau terima. Di
silsilah keluargamu. Oh apalah
beda sama merah warna darah. Tetapi
rambut sama hitam. Isi kepala
berbeda. Kau bilang itu feodal. Tetapi nyatanya kau pelihara huga.
Kau bedakan kasta martabat. Harkat dan
pangkat. Karena nashab. Ohh sampai
kapankah tembok itu
kau bangun tinggokan. Sampaikan kapan mengungkung
pemikiran. Robohkan jika memang
hanya jadi belenggu. Seteru yang
memakan darah korban perselisihan. Saksi Reformasi. Sayap kupu terluka. Mengapa harus kau robek. Dalam
senggama tuntaskan alunan
kesumat. Robohkan laknat
dalam jabat. Menjadi sisa sisa
trauma. Satu saudara. Pernah banjir darah. Luapan bengawan solo. Tetapi kau mudah lupa. Apartemen mewah yang kau huni. Riwayatmu yang mengalir.
Tuhan apa salahnya aku memandang
langit luas dan terbuka. Dunia di luar tubuhku begitu banuak berubah di luar
dan perubahan di luar sana cukup dahsyat. Apa aku hanya duduk saja memandang
perubahan itu. Dunia sudah banyak berubah. Dunia semakin banyak diisi dengan
transisi menuju Islam. Dan semakin banyak meninggalkan hal hal tradisi kekunoan,
tetapi membuka cakrawala cerdas memandang Islam. Meninggalkan hal hal yang
dianggap sia-sia dan bertele-tele. Tetapi menuju kebenaran dan kebaikan abadi. Dimana
mana dibuka boarding scholl, di mana-mana
dibuka sekolah IT Islam Terpadu dari TK sampai Perguruan Tinggi. Orang orang
sudah memalingkan pandangan dan perhatiannya pada sekolah-sekolah Islam dengan
menjanjikan tingkat pemahaman sesuatu perkembangan anak dan membekali
pendidikan agama anak-anaknya. Dengan nama dan embel embel terpadu islam, dan
nama nama islami, misalnya Biruul Walidain, Az Zahra, dll, tentu akan menarik
minat orang tua untuk memasukkan anak ke lembaga pendidikan yang penuh muatan
islam. Terlepas dari nilai komersialisasi Islam namun secara nyata mereka
mengemas pendidikan yang diridhai illahi dan lebih ke penanaman nilai nilai
Islam sejak dini.
Hari-hari terasa berat. Rasanya tak
sanggup melanjutkan hidup. Begitu sulit dan berat. Butuh stamina dan keteguhan
untuk melanjutkan hidup meski beban yang berat sudah tak sanggup kupikul lagi. Perkawinan
di atas kertas, seperi perahu kertas di atas air. Ludes dan kandas dan tak
sanggup memikul beban kehidupan begitu ganas gelombang kehidupan menerjang
pukang. Di mana lagi aku harus hidup dan meletakkan kehidupan. Bahkan
kebahagiaan pun tak sempat dipikirkan dan tak sempat mencari dan menemukan. Hidup
hanya sekadar jalani. Hidup yang begitu berat
dengan beban bagaimana sanggup kau hidup 20 tahun hidup tanpa rasa
mencintai memiliki, begitu hambar kehidupan, begitu berat hati terpaut.
Selanjutnya? Klik Daftar Isi atau Bagian Selanjutnya, yakni Kartini Gugat.
0 comments:
Post a Comment