Pada mulanya Pak Darmawan (66
tahun) cuma dikenal secara terbatas di lingkungan tempat tinggalnya saja. Tapi,
begitu terbetik berita ia berjumpa dengan lailatul qadar pada 23 Ramadhan 1422
H (16 Desember 2002), namanya langsung meroket sebagai tokoh yang populer di
seantero daerah Kalsel dan sekitarnya. Lebih-lebih setelah peristiwa dahsyad
yang dialaminya itu dilansir sebagai berita utama di sejumlah koran terbitan
Banjarmasin.
Peristiwa perjumpaan Pak Darmawan
dengan lailatul qadar semakin mengukuhkan reputasinya sebagai orang yang saleh.
Hanya orang saleh saja yang mendapat kesempatan berjumpa dengan lailatul qadar.
Begitulah, setelah peristiwa itu Pak Darmawan menempati posisi yang terbilang
istimewa. Sejak itu ia dijadikan sebagai ikon orang saleh yang diyakini
mempunyai sejumlah maunah (keistimewaan tertentu yang bersifat spiritual).
Dalam hal ini orang-orang yang datang berkunjung ke rumahnya meyakini bahwa
berkat kesalehannya yang sudah teruji itu maka doa-doa yang diucapkan Pak Darmawan
akan makbul atau akan diijabah oleh Allah Swt.
Disemangati oleh keyakinan
semacam itulah maka orang-orang kemudian datang berbondong-bondong ke rumah Pak
Darmawan yang terletak di kampung Sungai Durian, Kelurahan Cempaka Putih,
Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong, Kalsel. Akibatnya selama
berbulan-bulan, bahkan masih berlanjut hingga sekarang ini, rumah Pak Darmawan
selalu dipadati oleh orang-orang yang ingin berjumpa dengannya untuk berbagai
kepentingan.
Para tamu dimaksud pada umumnya
datang untuk meminta berkah kepada Pak Darmawan. Prosesi pemberian berkah
dimaksud dilakukan oleh Pak Darmawan dengan cara membacakan doa selamat. Ketika
doa selamat dibacakan, Pak Darmawan berulang kali meniupkannya ke arah air
mineral (yang masih berada di dalam kemasan cangkir) milik para tamu yang
datang ke rumahnya. Tapi, mengingat jumlah tamunya yang begitu banyak maka
tidak semua tamu dapat dilayani dengan cara seperti itu. Sungguh pun demikian
para tamu sudah cukup puas jika kemasan air mineral yang dibawanya disentuh
oleh Pak Darmawan.
Meskipun Pak Darmawan tidak
pernah meminta imbalan apa-apa atas jasanya memberikan berkah itu, namun,
orang-orang yang datang meminta berkah kepadanya selalu menyelipkan amplop
berisi uang dengan jumlah yang bervariasi sesuai dengan keikhlasan
masing-masing tamu. Amplop berisi uang itu dimaksudkan sebagai peneguh doa yang
dalam bahasa Banjar disebut pikaras. Uang pikaras yang diberikan secara
sukarela oleh para tamunya inilah yang kemudian membuat nasib Pak Darmawan
berubah secara drastis.
Ia yang selama ini hidup dalam
keadaan miskin papa di dalam sebuah gubuk reyot yang tiris, mendadak sontak
berubah menjadi orang kaya baru yang mapan secara ekonomi. Konon, hanya dalam
tempo 6 bulan, Pak Darmawan telah berhasil meraup rezeki nomplok sebesar Rp.
100 juta. Dengan uang itulah ia merenovasi gubuknya menjadi rumah yang layak
huni, dan membayar ongkos naik haji. Pada tahun 2003, ia naik haji bersama-sama
dengan saudara kandung, dan adik iparnya.
Pak Darmawan dilahirkan di desa
Sungai Durian pada tahun 1942. Ia adalah anak sulung dari 5 orang bersaudara.
Ayahnya bernama Japri dan ibunya bernama Salbiah. Di lingkungan tempat
tinggalnya ia lebih akrab disapa Ulak Uwan. Ulak adalah istilah kekerabatan
dalam bahasa Banjar, artinya paman yang usianya lebih tua dibandingkan ayah
atau ibu dari orang yang menyapanya. Pada usia 6 tahun, Pak Darmawan mengalami
kebutaan. Sejak itu, aktifitas hidupnya menjadi terbatas. Tapi ia pantang
menyerah, hari-hari gelapnya di masa muda diisinya dengan giat belajar
menghafal Al Qur’an. Mula-mula ia berguru kepada ayahnya (Japri), setelah
ayahnya meninggal dunia ia berguru kepada bibinya Zawiyah. Hasilnya, ia berhak
disebut sebagai seorang hafiz karena mampu menghafal Al Qur’an sebanyak 23 juz.
Sejak usia muda Pak Darmawan
dikenal sebagai orang yang tekun beribadah. Selain aktif mengerjakan shalat
fardhu berjemaah di surau desanya, Pak Darmawan juga aktif mengerjakan shalat
tahajud, shalat tasbih, shalat tobat, dan shalat-shalat sunat lainnya. Amaliah lain
yang juga giat dilakukannya adalah membaca Al Qur’an dan berzikir. Ia juga
aktif mengikuti majelis taklim, tadarus Al Qur’an, dan selalu berusaha memenuhi
undangan hajatan para tetangganya. Dulu ia mempunyai seorang sahabat karib
bernama Pak Markawi, orang inilah yang bersedia mengantarkan Pak Darmawan naik
sepeda ke tempat-tempat majelis taklim, tadarus Al Qur’an, atau ke
tempat-tempat hajatan para tetangganya sekampung. Tahun 1995, Pak Markawi
meninggal dunia, dan sejak itu Pak Darmawan terpaksa melakukan aktifitas
hidupnya secara mandiri. Hingga usia tuanya sekarang ini Pak Darmawan masih
tetap berstatus sebagai bujangan.
Peristiwa perjumpaannya dengan
lailatul qadar terjadi pada hari Sabtu 8 Desember 2002. Ketika itu, pukul 23.00
Wita, ia baru saja selesai mengikuti shalat tarawih berjemaah di langgar.
Sesampainya di rumah ia melanjutkan ibadahnya mengerjakan shalat mutlak, shalat
tobat, berzikir, dan membaca shurah Al Kahfi. Setelah itu barulah ia berangkat
tidur.
Pada saat tidur itulah
lamat-lamat ia mendengar bunyi seperti atap terbakar, dan matanya yang buta
samar-samar menangkap cahaya terang benderang. Peristiwa itu berlangsung
sekitar 10 menit. Ia kemudian memutuskan bangun dari tidurnya dan berniat untuk
melanjutkan ibadahnya. Ia kemudian berjalan ke tempat wudhu yang terletak di
tepi sungai tak jauh dari rumahnya. Ketika itulah ia mendengar bunyi langkah
kaki orang dalam jumlah banyak mengikuti langkahnya. Setelah selesai berwudhu
ia kembali ke rumahnya, dan suara langkah kaki orang banyak itu kembali
didengarnya. Bahkan, ia merasa kakinya berulang kali berantukan dengan
kaki-kaki orang lain yang rupanya sedang menunggu kedatangannya di rumah.
Ternyata, salah seorang di antara
orang-orang yang mengelilinginya malam
itu tidak lain adalah Pak Markawi, sahabatnya yang sudah meninggal dunia 7
tahun yang lalu (1995). Pak Markawi memintanya menjadi iman shalat tasbih
berjemaah. Dari suara gemuruh orang membaca tasbih yang didengarnya, ia
meyakini jumlah orang yang ikut shalat tasbih berjemaah di belakangnya sangat
banyak. Setelah selesai mengerjakan shalat tasbih berjemaah, ia disalami oleh
para jemaah yang menjadi makmun di belakangnya. Ketika itu ia merasakan tangan
orang-orang yang menyalaminya berkulit sangat lembut (kecuali tangan Pak
Markawi). Setelah itu orang-orang itu pergi entah ke mana. Sepeninggal
orang-orang itu, Pak Darmawan tidak bisa tidur hingga tiba waktu sahur.
Hari Minggu, 9 Desember 2002,
sekitar pukul 17.00 Wita, Pak Darmawan baru menceritakan apa yang dialaminya
itu kepada Bu Kurnia bibinya. Sejak itu, cerita tentang pengalaman gaib Pak
Darmawan mulai beredar dari mulut ke mulut. Mula-mula hanya sebatas di
lingkungan orang-orang sedesanya saja. Tetapi hari demi hari berita itu terus
menyebar luas hingga akhirnya meliputi seantero daerah Kalsel, bahkan sampai ke
daerah tetangga, yakni Kalteng, dan Kaltim.
Entah bagaimana awal mulanya,
orang-orang yang mendengar cerita di atas kemudian menyimpulkan bahwa Pak
Darmawan telah berjumpa dengan lailatul qadar. Mereka meyakini orang-orang yang
ikut melaksanakan sembahyang tasbih berjemaah di belakang Pak Darmawan pada
malam itu tidak lain adalah para malaikat yang sedang melaksanakan tugasnya di
dunia untuk mengatur segala urusan manusia setahun ke depan.
Pak Darmawan bukanlah
satu-satunya orang di Kalsel yang diberitakan pernah berjumpa lailatul qadar.
Orang pertama yang diberitakan pernah berjumpa lailatul qadar adalah Abdullah,
orang tua Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari, penulis kitab kuning Sabilal
Muhtadin yang terkenal itu. Konon menurut sahibul hikayat, ketika berjumpa
dengan lailatul qadar, Abdullah diceritakan berdoa kepada Allah Swt agar semua
keturunannya nanti berhasil meraih reputasi terhormat sebagai seorang ulama
yang mumpuni. Doa ini dikabulkan Allah Swt, karena hampir semua ulama terkemuka
di daerah Kalsel pasti mempunyai hubungan darah dengan Abdullah.
Sejak itu orang-orang di Kalsel
silih berganti diberitakan berjumpa dengan lailatul qadar. Tahun 1992, sepuluh
tahun sebelum Pak Darmawan berjumpa dengan lailatul qadar, terbetik berita
Aminuddin seorang remaja tanggung yang tinggal di salah satu sudut kota
Amuntai, berjumpa dengan lailatul qadar. Sejak itu hingga sekarang rumah
Aminuddin juga ramai dikunjungi orang-orang yang ingin meminta air berkah
kepadanya. Paling akhir, tahun 2006, terbetik berita seorang warga kota
Banjarmasin juga telah berjumpa lailatul qadar. Sama seperti yang sudah-sudah,
orang-orang juga datang berbondong-bondong ke rumah warga kota Banjarmasin yang
diberitakan berjumpa dengan lailatul qadar.
Daerah Kalsel tampaknya merupakan
daerah yang warganya paling sering berjumpa dengan lailatul qadar. Hal ini
boleh jadi berkaitan dengan perilaku warganya yang suka beribadah memuja
kebesaran Allah Swt tidak hanya pada bulan Ramadhan tetapi juga di seluruh masa
hidupnya.
0 comments:
Post a Comment