Bunyi
orang menebang pohon di kaki Gunung Maratus sudah tidak kedengaran lagi.
Sebagai gantinya sayup-sayup terdengar suara orang mengunyah makanan. Ketika
itu Lamitak (25 tahun), Lamitik (21 tahun) dan Lamituk (17 tahun) memang tengah
makan siang. Tiga orang bersaudara ini sudah setengah hari ini bekerja menebang
sebatang pohon ulin. Hutan tempat mereka menebang pohon ulin dimaksud adalah
hutan lebat yang jarang dirambah orang. Perkampungan terdekat letaknya sekitar
satu hari berjalan kaki.
Lamitak,
Lamitik dan Lamituk adalah tiga orang bersaudara yang tinggal di Kampung
Taniran. Ketiganya bekerja sebagai peramu hasil hutan profesional yang sudah
sering keluar masuk hutan lebat. Berbeda dengan hari-hari biasanya, kali ini
mereka kembali masuk hutan bukan untuk meramu hasil hutan sebagaimana biasanya.
Tapi, untuk mencari 4 batang pohon ulin berukuran panjang sekitar 20 meter
dengan besar sekitar sepemeluk orang dewasa.
Mereka
bertiga sudah mendaftarkan dirinya sebagai peserta sayembara pencarian 4 batang
pohon ulin untuk dijadikan sebagai tiang guru masjid yang akan dibangun Sultan
Suriansyah.
“Makan
siang di hutan ini akan lebih nikmat jika masing-masing kita dilayani oleh
seorang gadis yang cantik jelita,” ujar Lamituk membuka bicara.
“Hehehe.
Aku setuju dengan pendapatmu, Tuk,” ujar Lamitik menimpali.
“Tapi,
apa ada ya, gadis cantik yang mau diajak menemani kita bekerja di hutan lebat
yang sepi ini, Tik?” ujar Lamituk kemudian.
“Hei,
sejak tadi kudengar kalian berdua ini selalu membicarakan tentang gadis melulu.
Apakah itu berarti kalian berdua sudah ingin cepat-cepat menikah?” kali ini
Lamitak yang berbicara.
“Iya,
Kak. Si bungsu Lamituk tampaknya sudah gatal. Ia ingin sekali menikahi pacarnya
di kampung sebelah. Tapi, sayang uangnya belum cukup.”
“Belum
cukup ataukah belum ada, Tuk?”
“Belum
ada, kak.”
“Uang
bukan masalah, Tuk. Jika kita berhasil menebang empat batang pohon ulin dan
bisa membawanya dengan segera ke kota Muara Banjar, maka kita akan mendapatkan
hadiah uang dalam jumlah sangat besar. Nah, hadiah uang itu tentunya bisa
kalian pakai untuk biaya kawin.”
“Asyiik,”
ujar Lamitik sementara Lamituk cuma tersenyum saja.
“Kami berdua memang akan mempergunakannya
untuk biaya kawin. Kakak sendiri, bagaimana. Karena setahu kami kakak belum
punya pacar?” tanya Lamitik lagi.
“Aku
nanti saja. Biar kalian yang sudah kegatalan itu saja yang kawin duluan.”
Ketiga
bersaudara itu tergelak.
Ketika
itulah dari balik semak-semak yang tersibak angin muncul tiga orang wanita
cantik.
“Hai!”
salah seorang dari ketiga gadis itu menyapa mereka sambil melambaikan
tangannya.
“Hai!”
ujar Lamitik membalas sapaan sambil membalas lambaian tangan gadis misterius
itu.
“Kalian
datang dari mana?” tanya Lamitik.
“Dari
dusun sebelah.”
“Ada
apa di sana?”
“Kami
bertiga menghadiri acara babalian.”
“Rumah
kalian di mana?” tanya Lamitik lagi.
“Di
balik bukit itu,” jawab si gadis singkat sambil menunjuk ke arah bukit yang
dimaksudkannya.
“Wah,
cukup jauh. Mungkin kalian kecapekan. Silakan naik ke pondok kami untuk melepas
lelah sejenak,” kali ini Lamituk yang bicara.
“Terima
kasih. Apakah kami tidak mengganggu kalian.”
“Ah,
tidak. Silakan naik. Kita minum kopi bersama.”
“Hemm,
bagaimana, ya?”
“Ah,
tak baik menolak rezeki. Ayolah naik.”
“Baiklah
jika kami memang tidak mengganggu kalian.”
Melihat
tawarannya disambut dengan baik, wajah Lamitik dan Lamituk tampak berseri-seri.
“Asyik,” ujar Lamitik dan “Kesempatan,” ujar Lamituk, tentunya di dalam hati.
Tiga
gadis misterius itu segera naik ke pondok dan mengambil tempat duduknya
masing-masing. Gadis yang tua memilih tempat duduk disamping Lamitak, gadis
yang tengah disamping Lamitik, dan gadis yang bungsu disamping Lamituk.
“Kenalkan
dulu, aku Lamitik. Itu kakak sulungku Lamitak dan ini adik bungsuku Lamituk.”
“Kenalkan
juga aku Saguisik. Itu kakak sulungku Saguisak dan ini adik bungsuku Saguisuk.”
Selanjutnya
ketiga pasangan pria wanita muda itu saling bersalam-salaman sambil mengulas senyum
manisnya masing-masing.
“Silakan
diminum kopinya, nanti keburu dingin,” ujar Lamitik mempersilahkan ketiga
tamunya.
“Kebetulan
kami ada membawa bekal. Silakan dicicipi sebagai teman minum kopi,” ujar
Saguisak sambil menghidangkan beberapa potong kue ketan.
Lamitik
dan Lamituk segera menyambut tawaran itu, keduanya segera mengambil sepotong
kue ketan dan memakannya dengan lahap sekali. Suasana yang tadinya serba
malu-malu itu segera berubah menjadi suasana penuh keakraban. Dalam tempo
singkat pondok itu menjadi ramai, cerah, ceria dan penuh seloroh. Satu sama
lainnya sudah saling akrab seolah-olah tak berjarak lagi. Lamitik dan Lamituk
bahkan sudah mulai main cubit-cubitan dengan pasangannya masing-masing Saguisik
dan Saguisuk.
“Silakan
dicicipi kuenya, kak,” ujar Saguisak mempersilakan Lamitak.
“Terima
kasih. Nanti saja. Aku masih kenyang. Kami baru saja selesai makan siang.
Lihatlah, bekas-bekasnya juga belum kami
benahi,” ujar Lamitak menjelaskan.
Deg.
Tiba-tiba dada Lamitak berdegup keras. Ada rasa takut yang tiba-tiba menyergap
dadanya. Ia mulai menaruh curiga, jangan-jangan
ketiga gadis misterius ini adalah manusia jelmaan macan. Ia lalu mencuri
pandang ke arah bagian bawah hidung Saguisak, Saguisik dan Saguisuk. Benar saja
bagian bawah hidung ketiga gadis misterius itu tampak rata tidak ada garis
berlubang sama sekali. Tidak salah lagi ketiga gadis misterius ini memang
adalah manusia jelmaan macan.
“Lamitik.
Lamituk. Ayo lari. Cepat selamatkan diri kalian. Gadis-gadis misterius ini
bukan manusia seperti kita. Tapi manusia jelmaan macan!” teriak Lamitak sambil melompat ke luar pondok untuk kemudian
berlari cepat menjauhkan diri dari ancaman maut yang ditebarkan oleh Saguisak,
Saguisik dan Saguisuk. Saguisak yang
melihat calon mangsanya pergi melarikan diri tidak tinggal diam, ia segera
mengejar Lamitak ke mana pun lelaki muda itu berlari untuk menyelamatkan diri.
Lamitik
dan Lamituk yang kaget bukan main juga segera melompat ke luar pondok. Keduanya
berlari secara terpencar untuk mencari tempat persembunyiannya masing-masing.
Saguisik dan Saguisuk segera mengejar calon mangsanya masing-masing. Saguisik
mengejar Lamitik dan Saguisuk mengejar Lamituk.
Sebentar
saja, Saguisik kehilangan jejak calon mangsanya, karena Lamitik ternyata begitu
cepat larinya dan begitu pandai mencari tempat persembunyian yang sulit
dilacak.
Tapi.
“Lamitik!”
panggil Saguisik yang sedang kehilangan jejak.
“Oiii
....!” Betapa kagetnya Lamitik, karena panggilan Saguisik itu disahuti oleh
perutnya sendiri.
Saguisik
segera mengejar ke balik kerimbunan semak belukar tak jauh dari tempatnya
berdiri, karena dari arah situlah suara sahutan perut Lamitik berasal.
Begitulah
yang terjadi berkali-kali, setiap kali Saguisik kehilangan jejak Lamitik, maka
ia akan memanggil nama calon mangsanya itu, dan tanpa dikehendaki Lamitik
sendiri terdengar suara sahutan “oii...!” dari dalam perutnya. Suara sahutan
itu sesungguhnya berasal dari kue ketan pemberian Saguisik yang tadi dimakan
Lamitik (yang kini telah berada di dalam perutnya).
Akibatnya,
kemana pun Lamitik menyembunyikan dirinya, Saguisik selalu berhasil menemukan
tempat persembunyiannya. Setelah sekian lama berlari ke sana ke mari dan
bersembunyi ke situ ke sini, Lamitik akhirnya tak bisa berlari lagi karena
kelelahan yang amat sangat. Ketika itulah Saguisik beraksi membunuh Lamitik.
Benar
apa yang dikatakan Lamitak, Saguisik adalah seekor macam yang menjelma menjadi
manusia jadian. Terbukti, begitu selesai memangsa Lamitik, Saguisik segera
berubah wujud menjadi macan kembali.
Begitu pula
halnya yang terjadi dengan Lamituk, lelaki muda ini juga gagal meloloskan diri
dari kejaran Saguisuk, karena setiap kali namanya dipanggil Saguisuk, maka kue
ketan pemberian Saguisuk yang dimakannya tadi (yang kini sudah berada di dalam
perutnya) akan segera menyahuti panggilan itu. “Oi ...!”. Begitu terkejar, ia
juga langsung dibunuh Saguisuk. Setelah selesai memangsa Lamituk, Saguisuk pun
berubah wujud menjadi macan kembali.
Sekarang
tinggal Lamitak yang masih berusaha menyelamatkan diri dari kejaran Saguisak.
Saguisak sudah kehilangan jejak, Lamitak bersembunyi di balik kerimbunan
semak-semak yang lebat sehingga badannya tidak terlihat Saguisak.
“Lamitak!”
panggil Saguisak.
“Uii!”
Betapa
kagetnya Lamitak, karena panggilan Saguisak itu disahuti oleh jari telunjuknya
sendiri.
“Lamitak!”
“Uii!”
Begitulah
yang terjadi berkali-kali. Setiap kali Lamitak berhasil menyembunyikan dirinya
di balik kerimbunan semak-semak, maka Saguisak akan memanggil namanya dan
panggilan itu langsung disahuti oleh jari telunjuknya. Tanpa dikehendaki
Lamitak, jari telunjuknya itu memang akan selalu menyahuti panggilan Saguisak,
karena dengan jari telunjuk itu telah menyentuh kue ketan yang disodorkan
Saguisak. Akibatnya, ke mana pun dan di mana pun ia bersembunyi, tempat persembunyiannya
itu selalu berhasil ditemukan oleh Saguisak.
“Tidak
ada pilihan lain. Aku harus memotong jari telunjukku ini. Jika tidak aku akan
mati konyol dimangsa Saguisak,” ujar Lamitak. Pras! Lamitak memotong jari
telunjuknya dengan kapak. Lalu, potongan telunjuk itu dilemparkannya jauh-jauh.
“Lamitak!”
“Uii!”
Saguisak
segera berlari ke arah sahutan itu. Betapa kecewanya ia, karena cuma menemukan
potongan jari telunjuk Lamitak. Dari kejauhan Lamitak menyaksikan bagaimana
Saguisak memakan potongan jari telunjuknya itu. Wajah Saguisak tampak sedih
karena ia cuma mendapatkan potongan jari telunjuk saja. Sedangkan Saguisik dan
Saguisuk memperoleh mangsanya secara utuh.
Pada
saat yang bersamaan datanglah ke tempat itu serombongan warga sekampungnya.
Mereka datang di bawah pimpinan ayah Lamitak yang merasa cemas dengan
keselamatan tiga orang anaknya yang tak kunjung pulang selama sebulan penuh.
Dalam seminggu terakhir, ayah Lamitak selalu bermimpi buruk, itulah sebabnya
sehingga ia mengajak warga sekampungnya menyusul Lamitak dan adik-adiknya ke
lokasi pencarian pohon ulin di kaki Gunung Maratus.
“Lamitak!”
“Ayah!”
“Apa
yang terjadi dengan kalian, nak?”
“Lamitik
dan Lamituk tewas dimangsa Saguisik dan Saguisuk, pak. Saya sendiri hampir
tewas dimangsa Saguisak. Untunglah, bapak segera datang ke tempat ini”
“Siapa Saguisak, Saguisik dan Suguisuk itu, Tak?!”
“Tiga
wanita jelmaan macan,” ujar Lamitak. Setelah itu ia pun jatuh pingsan.
“Tidak
salah lagi Saguisak, Saguisik dan Saguisuk itu adalah anak Sangatak dan Sangitik. Kalau begitu,
tunggu pembalasanku,” ujar ayah Lamitak.
Segera
setelah itu ayah Lamitak mempersiapkan upacara ritual pembalasan dendam. Ayah Lamitak dengan khusuknya membaca
mantera-mantera pemusnah macan siluman.
“Saguisak,
Saguisik dan Saguisuk. Aku tahu asal-usul kalian. Kalian bertiga adalah anak
Sangatak dan Sangitik. Berkat aku tahu asal-usul kalian, maka aku dapat
mengutuk kalian. Kutukku ampuh tak tertahankan. Kalian kukutuk jadi abu. Puah
.... jadilah kalian abu!”
“Aduhhh!”
jerit Saguisik dan tubuhnya langsung berubah jadi abu.
Ayah
Lamitak kembali membaca mantera untuk yang kedua kalinya.
“Aduhhh!”
kali ini Saguisuk yang menjerit. Macan siluman itu langsung berubah jadi abu.
“Masih
ada satu macan lagi,” ujar ayah Lamitak. Lalu ia pun membaca mantera untuk yang
ketiga kalinya
“Aduhhh!”
jerit Suguisak dan ia pun berubah jadi abu menyusul kedua adiknya.
Setelah
yakin semua macan siluman telah tewas, barulah ayah Lamitak mengajak
orang-orang sekampungnya untuk mencari sisa-sisa tubuh Lamitik dan Lamituk yang
tidak sempat dimangsa macan siluman. Pencarian itu tidak berlangsung lama,
sisa-sisa tubuh Lamitik dan Lamituk mereka temukan di dua tempat terpisah.
Tubuh Lamitik ditemukan tak jauh onggokan abu Saguisik dan tubuh Lamituk
ditemukan tak jauh dari onggokan abu Saguisuk. Paling akhir mereka menemukan
onggokan abu milik Saguisak di tempat lainnya.
Pada
hari itu juga sisa-sisa tubuh Lamitik dan Lamituk dimakamkan di tempat kejadian
perkara yang terletak di tengah hutan rimba, karena keadaannya sudah rusak
berat dan baunya juga sudah sangat menyengat hidung, sehingga tidak mungkin
dibawa pulang kembali ke Kampung Taniran. Sedangkan Lamitak yang cuma jatuh
pingsan segera dibawa pulang ke Kampung Taniran dengan rakit bambu melalui
jalur sungai. Begitu pula halnya dengan 2 batang pohon ulin yang sudah berhasil
ditebang oleh Lamitak bersaudara juga ikut dibawa ke Kampung Taniran.
Perjalanan
pulang dari kaki Gunung Maratus ke Kampung Taniran tidak seberat dibandingkan
dengan perjalanan dari Kampung Taniran menuju ke kaki Gunung Maratus. Bila
perjalanan ke kaki Gunung Maratus harus dilakukan dengan cara berjalan kaki
menyusuri jalan setapak, maka perjalanan pulang kembali ke Kampung Taniran bisa
dilakukan dengan mempergunakan rakit bambu menghiliri Sungai Maratus.
Setelah
2 minggu beristirahat di Kampung Taniran, kesehatan Lamitak pulih kembali.
Sesuai dengan rencananya semula dan sesuai pula dengan saran ayahnya, Lamitak
kemudian berangkat ke kota Muara Banjar untuk menyerahkan secara langsung pohon ulin yang sudah berhasil ditebangnya di
kaki Gunung Maratus kepada Sultan
Suriansyah. Sebagai salah seorang peserta sayembara yang sudah terdaftar, ia
berharap bisa memperoleh hadiah uang yang besarnya disesuaikan dengan prestasi
yang ditunjukannya, yakni berhasil
menebang 2 batang pohon ulin sebagaimana yang telah
ditetapkan
ukuran panjangnya (20 meter) dan garis tengahnya (sepemeluk orang dewasa).
Keberangkatan
Lamitak ke kota Muara Banjar didampingi langsung oleh ayahnya, sanak
saudaranya, karib keraabatnya dan sejumlah orang sekampungnya. Mereka berangkat
secara berombongan dengan sejumlah perahu berukuran besar besar (jukung tiung)
dan sejumlah rakit bambu lengkap dengan persediaan bahan makanan selama dalam
perjalanan. Batangan pohon ulin yang akan diserahkan kepada Sultan Suriansyah
ditempatkan di 2 buah rakit bambu yang sengaja dibuat dalam ukuran besar.
Perjalanan dari Kampung Taniran dilakukan dengan menyusuri Sungai Amandit,
Sungai Negara, Sungai Barito dan akhirnya masuk ke Sungai Kuin.
Kedatangan
Lamitak dan rombongannya disambut dengan meriah oleh segenap warga kota Muara
Banjar. Lamitak diperlakukan sebagaimana layaknya seorang pahlawan yang baru
kembali dari pertempuran setelah meraih kemenangan yang gilang-gemilang. Hadiah
uang bagi Lamitak diserahkan langsung oleh Sultan Suriansyah dan disaksikan
oleh segenap petinggi Kerajaan Banjar lainnya.
Setelah
diselidiki secara seksama barulah diketahui bahwa Saguisak, Saguisik dan
Sauguisuk ternyata adalah kaki tangan Pangeran Temenggung juga. Saguisak,
Saguisik dan Saguisuk adalah siluman macan yang ditugaskan Pangeran Temenggung
untuk mengagalkan rencana Sultan Suriansyah membangun masjid di pusat kota
Muara Banjar.
...selanjutnya?
Klik Daftar Isi atau Bagian Enam
0 comments:
Post a Comment