Ben
Putra
“Halim, cepat bangun! Hari
sudah siang, kau harus sekolah kan ?”
Teriak ibu dari luar kamarku sambil mengetuk pintunya dengan keras.
Aku beringsut melepaskan
selimut tipis yang menutupi tubuhku. Kubuka jendela kamarku dan langsung
kurasakan udara yang begitu segar menghembus wajahku. Kuhirup udara segar itu
hingga terasa merasuk dalam ke dadaku.
Begitulah udara pagi di
desa kami, udara yang masih sangat asri. Tidak ada polusi di sini, tidak ada
hiruk pikuk kehidupan kota dan tidak ada kebisingan dari kendaraan-kendaraan
bermotor karena memang letak desa kami yang begitu jauh. Bukan hanya jauh dari kota besar, tapi juga
jauh dari pembangunan, jauh dari kesejahteraan, dan jauh dari jangkauan
perhatian pemerintah. Kami adalah warga desa perbatasan negara yang entah
memang sengaja dilupakan atau kalau memakai bahasa orang pintar “terlupakan”.
Aku adalah anak keempat
dari sebuah keluarga buruh tani yang tinggal di desa kecil bernama Desa Krayan.
Desa kami adalah sebuah desa terisolir yang terletak persis di perbatasan
provinsi Kalimantan Timur dan Malaysia .
Jika dilihat dari dari bentuk fisik dan aktivitas sehari-hari, tak ada hal yang
membedakan kami dengan mereka—orang-orang Malaysia.
Desa kami dan desa mereka hanya dipisahkan
oleh sebuah tapal batas kecil, sehingga kami terlihat sama dalam segala hal,
termasuk bahasa. Dan jika ditanya bahasa apa yang kami pakai, maka jawabannya
adalah bahasa Melayu Malaysia .
Jangan tanya mengapa, karena itu juga yang selalu kutanyakan dalam hatiku.
Mengapa kami orang Indonesia
harus mengikuti bahasa mereka? Mengapa bukan mereka yang mengikuti bahasa kami?
Apa karena kebiasaan kami yang selalu menonton acara-acara mereka di televisi
setiap hari? Apa karena kehidupan dan mata pencaharian kami yang berkutat
dengan mereka dalam bahasa Melayu? Atau karena kesadaran dan kecintaan kami
terhadap bangsa yang mulai pudar? Entahlah!
“Halim, cepatlah mandi!”
Teriakan ibu membuyarkan lamunanku.
Aku segera keluar kamar
membawa handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Kulihat ayah sedang duduk di
kursi kayu depan televisi sambil menikmati singkong rebus dan segelas kopi di
depannya. Aku menghentikan langkahku dan memperhatikan tayangan itu.
Ayah sedang menonton
sebuah saluran televisi nasional yang merupakan satu-satunya saluran yang bisa
ditangkap di desa kami, itu pun hanya sekali-sekali jika cuaca sedang bagus.
Makanya tidak heran jika anak-anak di desa kami tidak tahu apa-apa tentang
perkembangan politik Negara Indonesia ,
apa saja produk-produk terbaru Indonesia, dan siapa saja menteri yang saat ini
sedang menjabat di Kabinet Indonesia .
Tapi jika ditanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan Malaysia ,
mereka dengan mudah menjelaskannya satu persatu. Heran? Jangan heran karena
selain saluran televisi Indonesia
yang hanya satu-satunya itu, selalu saluran televisi Malaysia yang kami tonton.
Kulihat tayangan itu, sang
pembaca berita, seorang wanita dengan wajah yang cantik jelita sedang
membacakan berita tentang hari Sumpah Pemuda yang tepat jatuh pada hari ini.
“Ayah, hari ini hari
sumpah pemuda ya?” tanyaku.
“Iya, hari ini hari Sumpah
Pemuda,” jawab ayah tanpa melepaskan pandangannya dari televisi di depannya.
“Yah, kenapa di sekolah
kami hari Sumpah Pemuda tidak diperingati?”
“Tidak perlu diperingati
di sekolah, Lim. Cukup selalu kau ingat di dalam hatimu, bahwa kita adalah
warga Negara Indonesia .
Itu yang lebih penting.”
“Ayah kenapa kebanyakan
orang-orang di desa kita tidak menggunakan bahasa Indonesia, mereka lebih suka
memakai bahasa daerah atau bahasa Melayu? Bukankah kita orang Indonesia ?”
“Itu sudah menjadi
kebiasaan, Lim. Kita kerja di tempat mereka, kita selalu menonton berita
tentang mereka, kita bergaul dan berniaga dengan mereka, dan dalam semua
aktivitas itu kita menggunakan bahasa mereka.”
Aku terdiam, sedikit
perasaan prihatin tersisip di hatiku. Seperti itukah hebatnya negara tetangga
itu, sehingga kebanyakan dari kami rela kehilangan identitas diri sebagai warga
Negara Indonesia ?
Mengenaskan!
Mungkin benar kalau kami
berada jauh dari perhatian pemerintah. Benar kalau kami selalu merasa
dianak-tirikan. Tapi, walau bagaimanapun, darah yang mengalir di tubuh kami
adalah darah ibu pertiwi, tanah yang kami pijak adalah tanah air tumpah darah
Indonesia.
“Kau belum mandi Lim?”
bentak ibu yang datang dari dapur.
Aku bergegas pergi ke
kamar mandi dengan beribu pertanyaan yang masih menghinggapi pikiranku.
***
Aku terus berlari memacu
langkahku melalui jalan tanah berdebu di depanku. Perlahan langkahku melambat
hingga akhirnya berhenti. Aku sampai di depan sebuah bangunan kayu yang
merupakan sekolah kami. Sekolah kami adalah sebuah bangunan yang bobrok dengan
atap seng yang berwarna coklat karena
karat dan berdinding kayu berlubang karena dimakan usia.
Di halaman kulihat
beberapa temanku sedang bermain kelereng. Mereka terlihat begitu asyik bermain
sambil berbincang-bincang menggunakan bahasa Melayu. Kudekati mereka,
“Apakah kalian tahu ini
hari apa?” Tanyaku pada mereka.
Mereka diam lalu saling
memandang heran.
“Hari jum’at lah!” jawab salah seorang dari mereka dengan logat
Melayunya, diikuti oleh derai tawa teman-teman yang lain.
“Hari ini tanggal 28
Oktober. Apa kalian tahu ini hari apa?”
Tak ada yang menjawab,
mereka saling pandang lalu diam.
Apa kalian tidak tahu? Ini
hari Sumpah Pemuda!” kataku sambil tersenyum.
“Sumpah pemuda?” mereka
terlihat bingung.
“Iya, ini hari Sumpah
Pemuda. Hari dimana seluruh rakyat Indonesia bersatu. Hari kebangkitan
negara kita. Hari lahirnya tekad dan semangat untuk memerdekakan negara kita!”
jawabku penuh semangat.
Mereka diam sejenak, lalu
kemudian berbisik menggunakan bahasa Melayu yang sepertinya sudah begitu kuat
tertanam di otak mereka, sehingga berhasil menyingkirkan ingatan mereka tentang
bahasa negaranya sendiri.
“Bisakah mulai sekarang
kita menggunakan bahasa kita saja?” aku berkata tegas.
“Kita biasa pakai bahasa
Melayu tak?” Jeff menimpaliku, diikuti dengan anggukan setuju dari anak-anak
lain.
“Kita orang Indonesia ,
bahasa kita Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Melayu!” Bentakku seperti seorang
narator dalam sebuah demo.
Mereka semua diam. Suasana
menjadi hening.
Tiba-tiba terdengar suara
bunyi lonceng yang berasal dari besi yang dipukul dengan keras dari arah
kantor. Lonceng itu pertanda bahwa jam pelajaran akan segera dimulai. Kami
membubarkan diri, berlarian menghambur menuju kelas. Aku masuk dan langsung
memilih bangku paling depan. Tak lama, Ibu Murtini guru kesenian kami masuk ke
ruang kelas dengan senyum ramah di wajahnya.
“Selamat pagi anak-anak!”
“Selamat pagi, Bu
Guru!” jawab kami serentak.
“Ada yang tahu hari ini hari apa?” tanya bu
Murtini dengan lembut.
Aku mengangkat tanganku.
“Hari Sumpah Pemuda, Bu
Guru!” jawabku lantang.
“Benar sekali! Hari ini
adalah Hari Sumpah Pemuda. Dan oleh
karena itu, Ibu akan menyuruh kalian untuk menyanyikan lagu wajib nasional guna
megenang jasa para pahlawan kita. Siapa yang bisa, silahkan ke depan!”
Semuanya tetap diam, tak
ada suara sama sekali. Begitu memprihatinkan, bukan? Bahkan, tak ada satupun
dari anak-anak Indonesia ini yang mengingat lagu wajib nasional. Lama ibu guru
menunggu, namun tak ada satupun murid yang mengangkat tangannya. Ibu guru
tersenyum lembut lalu melihat ke arahku.
“Halim, apa kau bisa?”
Aku mengangguk, lalu maju
ke depan kelas. Dengan pelan dan lirih aku menyanyikan sebuah lagu tentang rasa
banggaku menjadi seorang anak Indonesia .
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Hiduplah
tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia
Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Merdeka Merdeka
Hiduplah
Indonesia
Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Merdeka Merdeka
Hiduplah
Suasana di dalam kelas itu
hening. Aku menyanyikan lagu itu dengan sepenuh hati. Mataku memandang keluar
kelas, memperhatikan bendera Merah Putih yang sedang berkibar di tiang bambu di
depan sekolah kami. Bendera pusaka itu kian pudar, pudar warnanya di mata kami
dan juga mulai pudar di hati kami.
Silakan klik Senarai Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.
0 comments:
Post a Comment