Sudah 2 minggu ini putera kami Noor Aini sakit. Kami
sudah melakukan berbagai upaya untuk mengobatinya.
Aku sudah membawanya ke Puskesmas dan isteriku sudah
membawanya ke Rumah Sakit. Paling akhir aku membawanya ke Dokter Spesialis Anak
yang paling terkemuka di kota Banjarmasin.
Tapi hasilnya nihil.
Anak kami masih demam dan panas badannya tak kunjung
turun.
Aku dan isteriku semakin cemas.
Betapa tidak?
Noor Aini (Bahasa Arab, artinya: Cahaya Mata) adalah anak kami satu-satunya dan merupakan buah
perkawinan kami yang paling mahal.
Tegasnya: Noor Aini memang adalah cahaya mata kami dalam
pengertian yang sebenarnya.
Selain merupakan anak kami yang semata wayang, Noor Aini
juga merupakan simbol penyelamat keharmonisan rumahtangga kami, bahkan juga
merupakan penentu kelangsungan rumahtangga kami.
Maklumlah, Noor Aini baru lahir ke dunia setelah kami
kenyang didera kecemasan dan rasa was-was tentang kemungkinan untuk menimang
seorang anak.
Ya, Noor Aini memang lahir setelah kami hampir kelelahan
berdo’a dan berusaha selama 7 tahun usia perkawinan kami.
Aku masih ingat bagaimana aku dan isteriku bolak-balik ke
Dokter Spesialis Kandungan dan merelakan separoh gajiku untuk membayar jasa
dokter dan menebus obat-obatannya di apotik.
Kami juga tidak segan-segan berikhtiar di luar jalur
medis, seperti mendatangi orang alim’untuk
meminta air berkah dan mendatangi
rumah orang pintar untuk meminta air mantra”.
Perjuangan untuk memperoleh keturunan ini juga kami
tempuh dalam bentuk puasa dan sembahyang tahajud sebagaimana yang dinasehatkan
oleh orang alim yang kami kunjungi.
Terus terang tidak hanya saran dan nasehat dari dokter,
orang alim dan orang pintar saja yang kami perhatikan dan kami kerjakan, kami
juga memperhatikan nasehat dan saran-saran dari kalangan awam yang layak di
percaya.
Biasanya, kalangan awam semacam ini memberikan
saran-saran menyangkut makanan dan buah-buahan yang harus kami makan dalam
jumlah besar atau sebaliknya harus kami hindari selama beberapa waktu.
Sekedar contoh kami pernah disarankan agar tidak memakan
terong dan buah semangka, tapi sebaliknya disarankan untuk memperbanyak memakan
kecambah dari kacang tanah.
Suasana duka, cemas dan tegang tidak jarang menghantui
seseorang hingga sampai terbawa ke alam mimpi.
Begitulah, malam itu aku bermimpi dikejar-kejar orang,
tak ubahnya persis seperti seorang pemulung yang tertangkap basah tengah
menggasak jemuran orang.
“Berhenti! Tempat ini sudah kami kepung!” teriak para
pengejarku.
Aku tidak perduli dan terus berlari.
“Ayo, kita kejar terus sampai dapat,” teriak pengejar
lain memberi semangat.
“Ya, ya. Kita pukuli sampai mati jika tertangkap nanti!”
“Hore, hore, hore. Kejar, kejar, kejar,” teriak para
pengejarku yang lain.
Brak!
Aku terjerembab.
Seseorang segera meringkusku.
Aku benar-benar tak berdaya.
“Ampun, Pak. Ampun,” ujarku gugup.
“Pukul. Bunuh. Hajar. Injak!” ujar para pengejar lain
sekenanya.
“Sabar, saudara-saudara. Sabar. Jangan langsung disikat.
Kita tanya dulu kesanggupannya,” ujar orang yang mencekalku itu menenangkan
kawan-kawannya yang lain.
“Kapan saudara bisa melunasi hutang itu?
“Hutang apa, Pak?” tanyaku heran.
“Akh, pura-pura lupa kau rupanya, ya?”
“Benar, Pak. Aku tidak mengerti maksud Bapak.”
“Akh, sikat saja, Pak!” teriak pengejar lain tak sabar.
“Ya, sikat saja, Pak!” pengejar yang lain memberi
semangat.
“Diam!” bentak orang yang mencekalku tadi.
Para pengejar lain menjadi takut dan mengurungkan niatnya
untuk menghakimiku secara massal.
“Kapan kau lunasi hutangmu?!” bentak pencekalku itu, kali
ini ditujukan padaku.
Aku menjadi takut karenanya.
“Hutang apa, Pak?”
“Bukankah kau dulu pernah bernazar bahwa jika anakmu
lahir nanti, kau tidak hanya mengadakan selamatan untuk para tetanggamu saja,
tetapi juga akan mengadakan selamatan untuk kami semuanya ini?”
“Oh, siapkah bapak-bapak ini sebenarnya?” tanyaku heran.
“Hahaha, kami adalah iblis penggoda manusia itu.
Hahahaha!”
“Oh, Masya Allah!” pekikku kaget.
Untunglah, aku segera terbangun dari mimpi buruk yang
menakutkan itu.
Jika tidak aku bisa pingsan di dalam mimpi.
Betapa tidak?
Begitu selesai memperkenalkan dirinya, para pengejarku
itu tiba-tiba berubah wujud menjadi iblis dalam pengertian yang sebenarnya.
Sungguh mengerikan, wajah mereka amat menakutkan.
“Astaghfirullahal adzim, baru aku ingat sekarang. Aku
memang pernah sesumbar bahwa jika aku dikaruniai seorang anak, aku akan
mengadakan pesta besar. Jangankan manusia, iblis pun akan aku beri makan,
sebagai tanda suka-citaku.”
Pesta besar dimaksud memang sudah kulaksanakan tak lama
setelah Noor Aini lahir ke dunia.
Tapi, yang kuundang pada waktu itu cuma terbatas pada
para tetangga dan teman sejawatku saja. Dalam arti yang hadir dalam pesta besar
dimaksud terbatas pada bangsa manusia saja.
Ya, ketika itu aku memang tidak mengundang bangsa iblis
sebagaimana nazarku semula.
Maklumlah, pesta suka cita yang kuadakan itu dilaksanakan
secara Islam, yaitu upacara tasmiah (pemberian nama) dan aqiqah (penebusan
diri) untuk anakku; Noor Aini.
Nazar adalah nazar, aku harus melunasinya, ujarku kepada
diri sendiri.
Tapi bagaimana caranya?
Maksudku, bagaimana cara aku mengadakan pesta iblis
dimaksud?
Paling tidak, bagaimana caranya aku mengundang mereka?
Dan lagi apakah keluarga akan sanggup melayani
iblis-iblis undanganku itu, jika pesta dimaksud diadakan di rumahku?
Snggupkah mereka melaksanakan tugasnya tanpa dihantui
oleh rasa takut melihat wajah-wajah iblis yang konon amat mengerikan itu?
“Ih, ngeri. Amit-amit jabang bayi.”
“Jangankan melayani iblis secara bermuka-muka begitu.
Berpapasan dengan pemain kuda lumping bertopeng saja aku sudah lari
terbirit-birit. Apa lagi harus bermuka-muka dengan iblis yang sesungguhnya di
rumah kita ini, Kak,” ujar isteriku.
“Akh, pusing. Aku bener-bener pusing memikirkan masalah
ini, Dik.”
“Itulah, Kak. Mengapa dulu bernazar yang bukan-bukan?”
“Sudahlah, Dik. Aku mau ke rumah Pak Haji Arjan. Siapa
tahu beliau bisa memberikan nasehat menyangkut kesulitan kita ini.”
Ternyata Haji Arjan tidak bisa memberikan nasehat
sebagaimana yang aku harapkan. “Ilmuku belum sampai ke sana,” ujar Haji Arjan.
Tidak cuma Haji Arjan yang aku datangi. Tapi semua tokoh
yang aku datangi tidak ada yang bisa memberikan jalan keluarnya, kecuali Haji
Samad, juru dakwah dari desa sebelah.
“Setiap istilah bisa ditafsirkan secara apa adanya dan
bisa pula ditafsirkan secara kiasan. Tak terkecuali juga istilah iblis itu
sendiri.”
“Maksud, Pak Haji?”
“Bila ditafsirkan secara apa adanya, iblis artinya adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang konon berwajah seram, tapi tidak bisa dilihat dengan
mata telanjang. Tugasnya adalah menggoda manusia agar terjerumus dalam
perbuatan yang dimurkai Tuhan. Sedangkan secara kias, istilah iblis juga bisa
dipergunakan untuk menyebut orang-orang yang secara terang-terangan selalu
melanggar larangan Tuhan,” ujar Haji Samad sambil memandang ke arahku, seolah
meminta pembenaran.
Aku cuma mengangguk.
“Dalam kaitannya dengan nazarmu, aku berpendapat bahwa
engkau sebaiknya mempergunakan istilah iblis menurut pengertian yang kedua.”
Aku mengangguk.
“Bukankah lebih mudah melaksanakan pesta untuk iblis yang
terdiri dari orang-orang yang selalu melalaikan perintah Tuhan ketimbang
mengadakan pesta untuk iblis dalam pengertian makhluk Tuhan yang tidak kasat
mata, yang tugasnya menggoda manusia?”
Aku kembali mengangguk mengiyakan pendapat Haji Samad.
“Nah, bila kau setuju dengan pendapatku, engkau bisa
menunaikan nazarmu dengan cara mengundang Kelompok Utuh Dogol untuk menghadiri
pesta iblis yang kau adakan.”
“Meskipun Kelompok Utuh Dogol wujudnya adalah manusia
seperti kita juga, namun kelakuan mereka sudah mirip-mirip dengan kelakukan
iblis.”
“Bayangkan, ketika azan maghrib tengah dikumandangkan
orang di surau, Kelompok Utuh Dogol masih saja bercanda dan bermain gitar di
jembatan.”
“Jangankan mengerjakan sholat Magrib, sebaliknya mereka
malah mengganggu kekhusukan orang-orang yang tengah mengerjakan sholat maghrib
di surau terdekat.”
“Apakah itu bukan iblis namanya?”
Aku cuma menggangguk.
“Terima kasih, Pak. Pendapat Bapak bisa diterima oleh
akal sehat. Dan aku akan menyelenggarakan pesta iblis sebagaimana yang Bapak
sarankan itu.”
Kali ini Haji Samad yang mengangguk-angguk.
“Supaya afdol pesta iblis dimaksud kau adakan bertepatan
dengan dikumandangkannya azan Maghrib, yaitu saat-saat ketika Kelompok Utuh
Dogol tengah bercanda dan bermain gitar di jembatan.”
Utuh Dogol dan kawan-kawannya memang dikenal sebagai
biang kerok segala keonaran di lingkungan tempat tinggalku di kota Banjarmasin.
Kegiatan tetap mereka sepanjang malam adalah menjadi
petugas siskamling sukarela alias bergadang sambil mencari-cari sasaran
keonaran.
Mereka sering memeras pemuda-pemuda dari desa lain yang
mengunjungi pacarnya di desa kami dengan dalih uang keamanan.
Hampir semua orang di lingkungan tempat tinggalku merasa
risih dengan sepak terjang Kelompok Utuh Dogol yang suka berbuat onar dan
bertindak kriminal itu.
Bahkan, Haji Samad yang terkenal penyabar itu ternyata
juga menaruh benci pada Kelompok Utuh Dogol.
Paling tidak beliau telah menganggap Kelompok Utuh Dogol
sama dengan kelompok iblis.
“Tuh, aku punya hajat mengundang kau dan kawan-kawanmu
untuk makan bersama di rumahku,” ujarku mengundang Utuh Dogol.
“Wah, kejutan nih, Pak.”
“Biasa saja, Tuh.”
“Kapan, Pak?”
“Sekarang juga, Tuh. Semuanya sudah kami siapkan di
rumah.”
“Hei, kawan-kawan sekalian. Kita semua diundang oleh Pak
Tajuddin Noor Ganie untuk makan di rumah beliau pada jam ini juga.”
“Wah, asyik,” sahut kawan-kawan Utuh Dogol.
“Ayolah, kita come
on sekarang juga.”
“Okey,” sahut kawan-kawan Utuh Dogol serempak.
Senja itu bertepatan dengan dikumandangkannya azan
maghrib. Utuh Dogol dan kawan-kawannya makan besar di rumahku.
Tunai sudah nazarku memberi makan iblis.
Memang, nazar adalah nazar.
Aku harus melunasinya.
Terus terang, aku akan tetap membayar nazar ini meskipun
anakku Noor Aini tidak sakit seperti sekarang.
Hanya karena lupa sajalah maka aku lalai untuk
membayarnya.
Bahkan, aku akan tetap membayar nazar ini meskipun Noor
Aini tidak menjadi sembuh karenanya.
Memang, nazar adalah nazar dan aku harus melunasinya.
Alhamdulillah, tak lama kemudian anakku Noor Aini sembuh
dari sakitnya.
Meskipun demikian aku tidak pernah mengusut secara tuntas
apakah kesembuhan cahaya mataku itu ada kaitannya dengan pembayaran nazarku
itu, ataukah kesembuhan anakku dimaksud semata-mata cuma karena pengobatannya
yang instensif saja.
Semuanya tidak perlu kuusut.
Tidak penting, yang penting dalam konteks ini adalah
kenyataan bahwa aku telah membayar nazarku. Perihal Noor Aini sembuh dari
sakitnya itu merupakan kenyataan lainnya lagi.
Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Wallahualam bis
sawab.
0 comments:
Post a Comment