Zainul
Muttaqien
Lelaki itu berkulit hitam.
Jenggotnya sedikit lebat. Wajahnya mulai keriput, tapi matanya selalu penuh
dengan gelora. Orang-orang di kampung
kami sangat menghormatinya. Kata-katanya begitu berwibawa. Lelaki itu bernama
Kardiman, lurah di desa kami. Aku selalu memperhatikan pak Kardiman. Ia mampu
membuatku mengaguminya
Siang
begitu panas. Di sebuah lapangan kelurahan, kami berkumpul memperingati hari
Bahasa. Ini baru pertama kali terjadi di desa kami. Orang-orang duduk di bawah
tenda. Aku melihat pak lurah menaiki podium. Ia akan
memberikan sambutan. Aku diam memperhatikan seluruh gerak tubuhnya. Ketika ia mengucapkan salam, orang-orang
serentak menjawabnya. Perlahan ia
memulai sambutannya. Luar biasa, setiap
kata yang keluar dari mulutnya mampu menyihir ratusan orang larut dalam
kata-katanya.
Aku pun larut dalam
kata-kata itu. Namun, tiba-tiba orang-orang saling pandang seolah tak paham
pada apa yang dikatakan pak lurah. Aku diam dan kaget. Lurah Kardiman berbicara
dalam bahasa asing. Sungguh aku kagum padanya. Seorang lurah mampu berbahasa
asing dengan baik. Namun, di sisi lain
aku kecewa, untuk apa ia berbahasa asing di depan orang-orang seperti kami? Orang-orang
kampung yang tak mengerti
pada bahasa itu.
Kulihat
orang-orang di sampingku saling berbisik.
"Bicara
apa sih pak Kardiman itu?" kata
lelaki berkumis tipis pada temannya di sampingku
"Dia
bicara pakai
bahasa asing," kata temannya itu.
"Ah, bagaimana kita bisa
ngerti, ada-ada saja pak lurah itu."
Aku hanya diam
mendengar bisikan-bisikan itu, sementara pak Kardiman berpidato dengan bangga
seperti seoarang presiden yang berbicara di depan konfrensi internasional. Aku
tertawa dalam hati melihat pak Kardiman, padahal orang-orang mulai tak
memperhatikan kata-katanya.
Ketika
acara telah usai, aku beranjak menuju kerumunan orang-orang yang berebut salaman dengan pak lurah. Pada sebuah ruang
di acara itu, aku menemui pak lurah.
"Maaf
mengganggu, Pak, " kataku memulai.
"Oh
ya tidak apa-apa," kata pak lurah kardiman.
"Saya
bangga punya lurah seperti Bapak yang mampu berbahasa asing dengan baik. Saya kagum dan
sangat tertarik dengan Bapak. Kalau
boleh tahu, bagaimana Bapak bisa
begitu mantap berbahasa asing di depan tadi?" tanyaku padanya.
Dia tertawa mendengar
pertanyaanku itu. Aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya.
"Kenapa
kau bertanya seperti itu?" Lurah Kardiman berbalik tanya padaku.
"Ya
sekedar ingin tahu Pak, soalnya jarang ada seorang lurah yang mampu berbahasa
asing dengan baik seperti yang Bapak lakukan tadi."
"Kurasa
kau tak perlu heran. Kau pikir
saya pandai berbahasa asing?" Tanya pak Kardiman. Aku masih tak mengerti dengan maksudnya.
"Maksud
Bapak?”
"Saya
hanya menghapalkan teks yang saya baca tadi malam.
Dengan saya berbahasa asing seperti tadi di depan, secara otomatis
orang-orang menyangka saya pandai berbahasa asing, dengan begitu juga nilai
kewibawaan saya bertambah. Saya gunakan bahasa asing sebagai alat mendapatkan dukungan dari
masyarakat," kata pak Kardiman panjang lebar.
"Saya
tak menyangka Bapak bisa
seperti itu, sebegitu pentingnya bahasa asing, sehingga Bapak menggunakan cara seperti itu, kenapa tidak
dengan bahasa daerah saja?" kataku dengan nada kecewa.
"Kalau
saya pakai bahasa daerah, mereka mengerti apa yang saya sampaikan, kalau pakai
bahasa asing mengerti tidak mengerti tapi mereka menganggap saya orang yang cerdas," katanya dengan
nada santai.
"Jadi
bapak membodohi mereka dengan bahasa asing?"
"Bukankah
pemimpin sekarang seperti itu? Mereka
membohongi rakyat
dengan bahasa
yang kita sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Bahkan, terkadang pemimpin kita
lebih percaya diri menggunkan bahasa
asing dibandingkan bahasa kita sendiri, apalagi bahasa daerah,” kata pak Kardiman. Wajahnya terlihat santai,
dan orang-orang sudah meninggalkan tempat acara ini.
"Ya, benar adanya
yang Bapak katakan, Terimakasih atas waktunya." Aku pamit. Lurah itu
tersenyum memandangiku.
***
Di antara angin yang
membelai pepohonan depan rumahku, sawah-sawah yang membentang mengingatkanku
pada masa kanak-kanak yang riang. Debu-debu beterbangan seperti anganku yang
melayang ke dalam khayal. Di sebelah timur rumahku, ada rumah yang kurasa
terlihat begitu mewah. Ada anak kecil
yang bermain di rumah itu. Aku tertarik
padanya. Perlahan kudekati rumah itu.
"Alako apa le'?
dha'emma kancana ma' amaen kathibi'an? " kataku menyapa anak kecil itu.
Kulihat dia kebingungan, seperti tak mengerti pada apa yang kukatakan.
"Ngapain Dek, kok sendirian, kemana temanmu?" kataku kembali.
"Gak ada Mas, teman-teman yang lain main
di rumahnya sendiri,"
kata anak keci itu.
Aku diam sambil
memperhatikan anak kecil itu, Ah, ternyata anak kecil itu tak mengerti bahasa
daerah sini, padahal ia terlahir di desa ini. Aku sedikit resah memikirkan anak
kecil itu. Bagaimana mungkin ia tak
mengerti bahasa daerah sini.
"
Eh, ada Mas Andi, ayo masuk Mas," kata Ibu
anak kecil itu ketika melihatku ada di depan rumahnya.
"Makasih Bu. O ya Bu, si Fira ini gak bisa bahasa daerah sini ya Bu? Tanyaku.
"Oh
ya memang semenjak
lahir saya tak pernah memperkenalkanya dengan bahasa daerah sini,"
katanya.
"Memangnya kenapa tidak mengajari
bahasa daerah disini dulu
Bu?" tanyaku.
"Ya kalau pakai bahasa daerah sini gak kelihatan gaul atau terlalu gimana gitu, kurang percaya diri," kata Ibu itu ceplas ceplos padaku.
"Ya kalau pakai bahasa daerah sini gak kelihatan gaul atau terlalu gimana gitu, kurang percaya diri," kata Ibu itu ceplas ceplos padaku.
"Oh,
begitu ya Bu" ku iyakan perkataannya.
Aku takut menyinggung perasaan ibu itu jika kata-katanya kubantah.
"Yah,
kamu tahu sendirilah sekarang banyak orang gengsi menggunakan bahasa daerah
bahkan bahasa nasional,” lanjut ibu itu lagi.
"Dan
ibu ikut-ikutan gengsi?"
"Mungkin
ya mungkin tidak, yang penting ikut zaman aja, Mas" sahut ibu itu
ringan. Anak kecil tadi sudah masuk ke
dalam rumahnya. Ibu itu juga masuk. Aku
pergi dari rumah itu.
Aku
kembali ke tempat yang tadi, kembali
kulihat
daun-daun yang berguguran seperti gugurnya hatiku memikirkan bahasa yang tak
kumengerti alurnya. Aku ragu dan takut bahasa daerah di sini
perlahan akan memudar seiring berjalannya waktu. Atau bahkan bahasa di sini akan berganti
manjadi bahasa asing. Sungguh
benar-benar tak bisa
terbayangkan dalan benakku.
Gerimis
mulai turun dari langit
seiring turunnya air mata yang mengalir.
Batinku terasa sakit. Kenapa ada banyak orang tak percaya diri dengan
bahasa sendiri, bahkan seorang pemimpin pun seolah telah melecehkan bahasa
sendiri. Aku benar-benar tak mengerti
jalan pikiran orang-orang seperti mereka.
Ah, semua ini benar-benar memalukan bagiku, atau mungkin sebenarnya orang-orang seperti merka berkata
"Aku malu memiliki bahasa seperti ini" Duh! mereka adalah orang-orang yang malu,
malu pada bahasa sendiri, aku tak tahu apa aku harus tersenyum pada orang-orang
seperti itu atau kagum padanya.
Dan
hujan turun dengan lebatnya, aku masuk ke dalam rumah meninggalkan
bayangan-bayangan orang seperti mereka. Kubuang mereka bersama air hujan agar tak ada
orang-orang yang malu mengakui bahasanya sendiri. Yah, hujan itu akan mengaburkan
perihal orang-orang semacam mereka, tentang Pak Lurah atau Ibu anak itu.
Maka
ketika hujan itu
terus mengalir, tubuhku
semakin menggigil. Biarlah aku menggigil
seperti ini daripada berhadapan dengan orang-orang seperti itu. Hujan teruslah mengalir biar gigil ini semakin tercipta, kataku dalam hati kemudian aku
tertidur.
STAIN Pamekasan
Madura 09 November 2011
0 comments:
Post a Comment