Setiap malam Bioskop
Sederhana Theatre menjadi tempat berkumpul para pencandu filem, ada yang
membeli tiket masuk, tetapi tidak sedikit yang berusaha masuk ke dalam gedung
bioskop dengan cara menyerobot (tanpa karcis). Aku termasuk ke dalam kelompok
yang ke dua ini (kelompok penyerobot).
Begitulah, setiap malam
sehabis shalat Isya aku dan kakakku sudah berada di sekitar gedung bioskop.
Dari rumah kami jalan kaki ke sana karena jaraknya cuma 500 meter. Meskipun
jaraknya begitu dekat, aku tak pernah berani berangkat sendirian. Bukan karena
takut bertemu orang jahat atau bertemu hantu, tapi aku takut karena mataku
waktu itu terkena penyakit rabun senja (bahasa Banjar kaur hayaman).
Begitu senja tiba, maka mataku
tak bisa lagi melihat dengan jelas, semuanya terlihat gelap. Apa lagi jalan
menuju ke gedung bioskop tidak dilengkapi dengan penerangan listrik yang
memadai. Lampu listrik yang dipasang di tiang-tiang listrik di sepanjang jalan
bukanlah lampu merkuri yang terang benderang tapi cuma lampu bohlam yang
bersinar kuning temaram.
Setiap kali berangkat
menuju ke gedung bioskop, aku selalu berjalan dengan tertatih-tatih. Tanganku
berpegangan erat pada tangan kakakku. Keadaanku ketika itu tak ubahnya seperti orang buta yang dituntun
saja. Situasinya akan lebih parah lagi ketika aku dan kakakku pulang dari
gedung bioskop sekitar pukul 24.00 wite. Bagiku, jalan sepertinya gelap semua,
tanpa penerangan sama sekali.
Begitu tiba di kawasan
gedung bioskop, kami berdua langsung berdiri di samping kiri atau kanan pintu
masuk ke gedung bioskop. Dari tempat yang strategis itulah kami mengamati
orang-orang yang sedang mengantri di depan pintu masuk ke gedung bioskop.
Inilah posisi yang menurut kami paling strategis. Setiap kali kami melihat ada
om-om atau bapak-bapak yang kami kenali sedang ikut mengantri di sana, maka
kami akan menyapanya atau sekadar memberi isyarat agar beliau berkenan mengajak
kami untuk masuk ke dalam gedung bioskop dengan berpura-pura sebagai anak kemenakan
mereka.
Taktik ini cukup manjur,
karena om-om atau bapak-bapak yang kami kenal itu sulit untuk menolak
permintaan kami. Beliau khawatir kami akan bercerita kesana kemari bahwa om ini
atau bapak itu adalah orang yang pamurunan (bahasa Banjar, artinya kurang lebih
raja tega). Stigma pamurunan dalam konteks tidak mau mengajak serta kemenakan
menonton filem termasuk perilaku yang ketika itu bisa merusak citra diri om-om
atau bapak-bapak dimaksud.
Namun, taktik ini tidak
bisa dipraktekkan jika filem yang diputar pada malam itu adalah filem untuk
tujuh belas tahun ke atas. Para porter karcis yang bertugas di pintu masuk
bioskop ini pasti akan bertindak tegas melarang anak di bawah umur menonton
filem untuk tujuh belas tahun ke atas. Jika membandel maka petugas porter akan
memanggil penjaga keamanan yang sangat
disegani oleh siapa saja, yakni Polisi Milter. Keberadaan Polisi Militer
sebagai komponen penjaga keamanan merupakan salah satu keistimewaan Bioskop
Sederhana Theatre Banjarbaru ketika itu. Setiap kali menghadapi kasus semacam
ini aku biasanya menyesali diri mengapa usiaku tidak cepat-cepat naik menjadi
tujuh belas tahun ke atas.
Boleh jadi, karena faktor
kesulitan ekonomi yang dihadapi secara merata oleh segenap warga kota
Banjarbaru ketika itu, maka membeli karcis untuk menonton filem dianggap
sebagai pemborosan yang amat nyata. Dari pada dipakai untuk membeli karcis
menonton filem di bioskop, uangnya lebih baik dibelikan beras atau lauk pauk
untuk keperluan makan sehari-hari.
Setiap malam suasana di
sekitar bioskop Sederhana Theatre selalu eksplosif. Begitu pintu masuk ditutup
dan filem mulai diputar, maka anak-anak bengal yang berada di luar akan mulai
berbuat ulah menggedor-gedor pintu bioskop dengan batu atau alat penukul
lainnya sehingga menimbulkan kegaduhan luar biasa yang membuat para penonton di
dalam bioskop menjadi terganggu karenanya.
Tidak tahan dengan teror
gedoran semacam itu, maka petugas biasanya akan mengalah dan membuka pintu
bioskop. Sudah barang tentu orang-orang yang berada di luar bioskop akan segera
berebutan masuk ke dalam bioskop begitu pintu dibuka oleh petugas jaga. Mereka
para penonton gratisan ini harus rela menonton sambil duduk di lantai yang
jaraknya sekitar satu meter dari layar putih. Pulang dari gedung bioskop mata
mereka akan berkunang-kunang dan leher mereka terasa pegal-pegal karena terlalu
lama mendongak.
Bila pintu masuk gedung
bioskop tak kunjung dibuka oleh petugas jaga, maka anak-anak bengal Banjarbaru
akan melakukan berbagai usaha lain untuk
membuka paksa pintu masuk yang sudah dikunci rapat oleh petugas jaga. Anak-anak
bengal Banjarbaru ketika itu tidak segan-segan melengkapi diri dengan sejumlah
peralatan yang dapat digunakan untuk membobol pintu masuk gedung bioskop,
seperti obeng, pisau belati, atau parang. Sekali waktu aku bahkan mendengar
mereka membawa linggis dan membobol dinding beton toilet bioskop yang tidak
dijaga petugas.
Suatu malam aku mengalami
nasib nahas, ketika itu suasana di luar gedung bioskop sedang chaos atau kacau
balau. Dua kelompok anak bengal terlibat cekcok, mereka saling melempar batu,
dan tanpa sempay berkelit sebutir batu nerujung runcing melayang ke arahku
dengan cepat, dan crap… menancap di kepalaku.
Darah segar langsung
muncrat dari kepalaku, tak lama kemudian aku pingsan. Ketika siuman aku sudah
berada di rumah. Kakakku bercerita tubuhku yang pingsan dibopong ramai-ramai
oleh teman-teman sekampung menuju ke rumah. Peristiwa nahas itu membuat kami
berdua dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuaku.
Menonton filem termasuk
hiburan yang ketika itu sangat digemari oleh warga kota Banjarbaru. Selain
menonton filem di bioskop Sedehana Theatre, warga kota Banjarbaru juga sering
diberi kesempatan untuk menonton filem gratis yang diputar oleh Jawatan
Penerangan. Meskipun filem yang diputar oleh instansi pemerintah ini adalah
filem yang itu-itu juga, warga kota Banjarbaru tak pernah melewatkan kesempatan
menonton filem gratis ini. Filem yang sering diputar adalah filem binatang
purba yang menyerang dan membuat kerusakan di sebuah kota. Belakangan baru aku
tahu binatang purba dimaksud adalah dinosaurus.
Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.
Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.
0 comments:
Post a Comment