Nailiya
Nikmah JKF
Wajah rembulan itu persis
di hadapanku sekarang. Beberapa detik setelah derai tawa yang lain reda.
Pipinya memerah. Kedua bola matanya mencari kedua bola mataku. Aku tahu, ia
sangat kesal padaku. Aku pasrah. Mau bagaimana lagi. Aku benar-benar tidak
bisa.
“Faisal, sudah berapa kali
Ibu bilang. Gunakan bahasa Indonesia….”
Ia menahan marah.
“Maaf Bu lah…ulun kada tapi lancar basa Indonesia,” aku memohon.
“Coba ulang jawabanmu tadi
dengan bahasa Indonesia ,”
ucapnya tegas.
Aku berpikir keras kata
apa saja yang akan kugunakan. Apa ya? Eh, pertanyaannya tadi apa? Aku malah
lupa pertanyaannya. Oh, iya tentang perlindungan HAM di Indonesia beserta
contoh-contoh kasus yang terkini. Sebenarnya aku tahu jawabannya, tapi aku
kesulitan menguraikannya dengan bahasa Indonesia .
“Menurut saya,
perlindungan HAM di Indonesia masih belum maksimal. Napa yu lah, …anu tu na kita lihat ja lo, masih banyak lo yang…” ah, kembali lagi ke bahasa daerahku.
Tawa teman-temanku berderai lagi sementara wajah rembulannya menjadi mendung.
Begitulah, setiap aku
berbicara, teman-teman selalu menertawakanku karena aku tidak fasih berbicara
bahasa Indonesia .
Apalagi pada saat jam pelajaran bu Maya. Dosen Kewarganegaraan itu sangat
sering menegurku. Dia bilang, dia tidak melarang penggunaan bahasa daerah, tapi
jika sedang dalam proses belajar mengajar ia berharap semua mahasiswa memakai
bahasa Indonesia .
Malah kadang kebiasaanku berbahasa daerah terbawa juga ketika aku menjawab soal
tertulis.
Mulanya aku cuek saja. Mau
dimarahi dosen, mau diberi nilai rendah juga tidak apa-apa. Sampai suatu siang—hari
yang mengubah sejarah hidupku. Siang itu aku bermaksud makan siang di kantin
kampus. Sebelum aku masuk, kudengar di dalam kantin suara-suara yang sudah
sangat kukenal. Suara teman-teman perempuan sekelasku.
“Kalo aku sih suka sama Danu. Keren banget orangnya!” suara Ika.
“Kalau Faisal, gimana?” Itu suara Mira. Aku
menghentikan langkahku dan memasang telinga baik-baik.
“Faisal? Ke laut aja kali!” Suara Ayu disambut gelak tawa
para perempuan.
“Iya, jangan sampai deh punya cowok kayak dia. Malu-maluin
banget. Ngomong aja ga lancar gitu.” Suara Neta.
“Sebenarnya… Faisal tu baik, lumayan keren juga sih…dan ga berdosa juga kan
pake bahasa Banjar? Kita kan juga orang Banjar? Masa ga suka sama bahasa sendiri? Bagus juga kan buat
melestarikan budaya Banjar lewat bahasanya? Cuman
ya…memang harus lihat-lihat sikon juga. Kalau situasi formal, ya lebih baik
pakai bahasa nasional lah…”papar Bulan.
“Jye…yang naksir
Faisal…" seru Karin. Lagi-lagi yang lain tertawa terbahak-bahak. Aku
membalikkan badan, membatalkan niat ke kantin. Aku menuju perpustakaan.
Percakapan mereka tadi sangat menggangguku. Masa
sih ketidaklancaran berbahasa membuat seseorang tidak keren? Tapi, apa tadi
yang dikatakan Bulan? Melestarikan budaya? Ah, Bulan…Bulan. Gadis yang sering
berkerudung ungu itu sudah lama membuatku terpesona. Bani pernah menyemangatiku
agar segera menembak Bulan. Menurut Bani lebih cepat lebih baik, nanti keduluan
orang. Dengar-dengar Danu juga jatuh hati pada Bulan. Anehnya, Ipeng menyuruhku
melupakan Bulan. Menurut Ipeng, Bulan bukan perempuan biasa. Ia tak mudah jatuh
cinta dan sangat menjaga diri. Entah apa maksud Ipeng. Yang kutahu, Bulan anak
musala. Sering nongkrong di teras
musala kampus kami. Tapi, bukankah ia menganggapku lumayan keren? Mungkinkah ia
juga naksir aku?
* * *
“Rin, kayapa lah supaya aku lancar
bepender pakai basa Indonesia?” aku meminta nasehat pada Karin, teman
sekelasku. Karin menatapku lalu tertawa terbahak-bahak. Aneh, kenapa dia
tertawa? Aku kan serius?
“Kembali ke bangku SD aja!” jawabnya lalu tertawa lagi.
“Karin! Aku serius nih!” bentakku.
“Gerangan apakah yang
membuat pangeran Faisal ingin mempelajari bahasa Indonesia ?” gurau Karin sambil
bergaya ala Mamanda.
“Karin!” Aku pun
meninggalkan Karin yang tak henti tertawa.
Karin mengejarku. “Maafkan
aku, Sal. Jangan merajuk dong. Sama
teman kok begitu?”
“Ya, kumaafkan. Sekarang
jawab pertanyaanku tadi?”
“Aku juga nggak tahu, Sal. Hmm…bagaimana kalau kau
banyak membaca?” usul Karin.
“Membaca? Mambaca apa?”
tanyaku.
“Apa saja. Yang kau sukai”
Karin tersenyum manis sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Lalu di sinilah aku
sekarang. Terdampar di pulau buku alias perpustakaan kampus. Berkali-kali aku
bersin. Alergiku kumat. Debunya minta ampun. Hmm, membaca apa ya? Ah, bagaimana
kalau novel? Aku mengambil beberapa novel lama dan baru. Biar kubandingkan
bagaimana bahasa novel lama dan baru. Bagaimana kalau aku jadi pengamat novel?
Apa itu termasuk melestarikan budaya seperti kata Bulan? Ah, teringat Bulan aku
jadi senyum-senyum sendiri. Siti Nurbaya,
Salah Asuhan, Lelaki Lebah, Rumah Debu, Di bawah Lindungan Ka’bah, Ayat-ayat
Cinta, Rindu Rumpun Ilalang, Pelangi di Pelabuhan…. Eh, yang dua terakhir
ini bukan novel. Aku mengambil sembarang lalu membacanya. Beberapa minggu aku
asyik membaca novel. Ternyata menyenangkan sekali membaca novel di sela-sela
rutinitasku.
Pascamembaca beberapa
novel, aku malah dapat ide untuk segera menembak Bulan. Mungkin karena novel
yang kubaca bertema cinta semua? Entahlah. Yang jelas, aku langsung lancar
menulis surat
cinta. Aku mengetiknya di rental komputer. Astaga! Lima
lembar surat
cintaku! Biasanya aku tak lancar menulis. Jangankan lima lembar, dua paragraf saja aku
terengah-engah. Anehnya lagi, tak ada bahasa daerah di dalamnya. Aku lancar
menulis dalam bahasa Indonesia .
“Cinta merupakan anugrah terindah yang diberikan oleh Tuhan. Cinta bisa
menjadi energi yang tak tertandingi. Karena cinta, seseorang yang lemah bisa
menjadi kuat. Karena cinta, seseorang yang penakut bisa menjadi pemberani.”
Ini bagian pembuka suratku. Paragraf selanjutnya tentang makna cinta dalam
berbagai bahasa. Halaman kedua barulah aku menulis, “yang kukagumi Bulan Purnama Sari. Bulan, aku padamu. Yang penting aku
padamu.“ Hm, aku mengutip lagu Charlie. Paragraf selanjutnya aku menulis
teori tentang cinta lagi sampai halaman terakhir.
“Rin, titip ini ya buat Bulan.” Aku menyerahkan surat ku pada Karin. Tak
seperti surat
cinta umumnya, suratku tak kulipat dan tak kuamplopi. Suratku kujilid seperti
makalah tugas kuliah. Disampulnya kuketik judul “Surat Cinta untuk Bulan”,
namaku, NIM, kelas, prodi dan jurusan. Aku yakin Bulan akan terpesona dengan
gayaku menembaknya. Agak ilmiah, unik, dan nyeni. Itu menurutku, sih.
“Bulan?” Karin menatapku
heran. “Sejak kapan kau berurusan dengan anak
musala itu?”
“Sejak…sejak seminggu yang
lalu,” aku menjawab asal.
Lama aku menunggu reaksi
Bulan. Dua hari, tiga hari, seminggu, dua minggu, tak ada apa-apa. Sikap Bulan
biasa saja. Seolah tak terjadi apa-apa. Aku pun menanyakannya pada Karin. “Kok Bulan tidak memberi jawaban
apa-apa?”
“Jawaban atas apa?” tanya
Karin.
“Surat , eh
titipanku dua minggu yang lalu,” ujarku.
“Oh, esaimu itu. Hmm, kata
teman-teman bagus. Kebetulan hari ini pengumumannya.” Karin membuatku bingung.
Pengumuman? Apa Bulan mau mengumumkan jawabannya terhadapku? Masa sih gadis sekalem Bulan memakai
cara yang heboh begitu?
“Oi, Karin, kamu apakan si
Faisal, privat bahasa dan sastra Indonesia , ya? Tiba-tiba Banu, Dani dan Iwan menghampiri
kami.
“Selamat, ya Sal. Nggak nyangka, kamu jago nulis.” Banu
mengulurkan tangannya. Disusul Dani dan Iwan.
Aku ternganga. “Selamat
apa nih?” tanyaku curiga.
Jangan-jangan tiga temanku ini sedang merencanakan sesuatu.
“Esaimu juara satu!” jawab
Iwan.
“Esai? Esai yang mana?”
tanyaku.
“Oh, hebat…. Jadi kamu
ngirim lebih dari satu esai? Memangnya tema yang ditentukan anak musala apa sih
kok kamu bisa lancar bikin banyak
esai gitu?” tanya Dani. Aku semakin bingung. Lalu kulihat Ipeng datang membawa
piala.
“Nah itu Ipeng, kita tanya
dia aja,” kata Karin.
“Selamat ya Sal. Esaimu
yang berjudul Surat Cinta untuk Bulan terpilih
sebagai juara satu. Nih pialanya. Kok tadi nggak menghadiri acara pengumumannya
di musala? Nggak yakin menang, ya?” Kicauan Ipeng membuatku kaget. Ya ampun!
Suratku, pernyataan cintaku untuk Bulan dikira esai buat lomba?
“Sal, Bu Maya titip ucapan
selamat. Dia bangga sekali…” suara teman-teman tak lagi kusimak. Aku memeluk
piala itu erat-erat. Pikiranku ke Bulan. Bulan…Bulan. Gagal sudah usahaku.
* * *
Di sudut musala
Dear
Diary… aku menulis ini untuk Faisal tapi dia tak perlu tahu.
Maafkan
aku, Sal. Aku tak bisa menerima cintamu. Cintaku pada-Nya melebihi cintamu
padaku. Surat
cintamu yang indah itu sedikit kurevisi lalu kumasukkan ke kotak lomba menulis
esai Ayat-ayat cinta-Nya yang diadakan oleh musala kampus kita….
Silakan klik Senarai Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.
0 comments:
Post a Comment