Dudi Irawan
Aku membuka lipatan surat
dari ibuku. Surat itu tiba kemarin sore dan baru sempat kubaca malam ini. Ada
rindu yang diam-diam menyelinap dalam kalbuku saat melihat goresan tangan ibu
diatas kertas bergaris-garis yang kini dalam peganganku. Isi surat ibu ringkas
saja dengan ejaan lama dalam tiap kalimat yang tertulis disana.
Kepada
Ananda Rahmat
Terjinta,
Assalamualaikum wr wb
Ibu kabarkan keadaan keluarga kita
di kampung baik-baik sadja, adik-adikmu djuga tetap bersekolah seperti biasa.
Harapan ibu semoga ananda di rantau djuga tetap dalam lindungan Allah SWT dan
giat bekerdja. Terima kasih, kiriman dari ananda telah kami terima dan ibu
sangat bersyukur sekali karena wang jang ananda kirim sangat membantu untuk
membiayai kebutuhan adik-adikmu saat ini.
Radjin-radjinlah bekerdja dan
pandailah dalam menempatkan diri di lingkungan orang-orang disekitarmu. Ibu dan
adik-adikmu tak putus berdoa agar ananda selalu diberikan ketabahan dan
kesabaran dalam mendjalani hidup diperantauan. Pesan ibu djanganlah sekali-kali
engkau tinggalkan sholat. Tetaplah selalu mengingatNya dalam situasi sesulit
apapun.
Itu sadja, ibu akhiri surat ini.
Salam rindu dari ibu dan adik-adikmu untuk ananda disini. Semoga ananda selalu
dilimpahi kesehatan baik lahir maupun bathin.
Wassalamualaikum warrohmatullahi
wabarakatuh,
Tertanda
Ibunda
Aku
tersenyum usai membaca surat ibu, baik dari susunan kalimat-kalimat yang
tertulis di sana maupun isinya. Ibu memang hanya tamatan Sekolah Rakyat. Dan
bagi beliau dapat membaca dan menulis saja sudah lebih dari cukup. Ibu tentu
tak bisa menulis surat dengan tata bahasa Indonesia yang baku yang telah
diterapkan dalam pendidikan di masa sekarang.
Air
mataku lalu menitik tanpa terasa. Kerinduan ini begitu membuncah usai membaca
surat dari ibu. Sejak keputusanku untuk pergi merantau beberapa tahun silam tak
sekali pun aku pulang ke kampung untuk menjenguk ibu dan adik-adikku.
Kubayangkan wajah ibu yang tua dengan kacamata rabun bertengger di hidungnya
yang keriput. Adik-adikku yang saat aku
pergi dahulu baru berusia sepuluh tahun, pastilah kini mereka telah tumbuh menjadi
remaja.
***
Semenjak
bapak tiada, aku nekad pergi dari kampungku yang kecil dan damai. Aku ingin
mengadu nasib ke kota. Tepatnya, aku ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih
layak di tempat baru agar aku bisa menghidupi ibu dan adik-adikku di kampung.
Bila
bertahan tinggal di kampung, selamanya aku akan menjadi buruh tani yang bekerja
keras demi upah kecil. Tentunya, upah sekecil itu tak cukup untuk membiayai
adik-adikku sekolah, bukan? Menjadi buruh tani memang sangat memprihatinkan.
Dahulu,
ibuku juga bekerja. Ya, tepatnya bekerja sebagai penjahit. Tapi, semenjak
penyakit rabun jauh menyergap penglihatannya pesanan jahitannya semakin
berkurang dari hari ke hari. Dalam situasi serba kesusahan seperti itu, ibu tak
henti-hentinya mengingatkanku untuk selalu tawakal dan tak lupa untuk
menunaikan salat lima waktu.
Aku
menghitung-hitung mungkin telah hampir enam tahun aku tak pulang-pulang
kekampungku. Aku melipat kembali surat dari ibu dan menciuminya sebagai bentuk
peluapan kerinduanku yang mendesak. Lalu kusimpan baik-baik dalam laci meja
disudut kamar kontrakanku. Kulirik jam dinding yang tergantung, telah
menunjukkan pukul sembilan kurang.
Aku
meraih jaketku lalu mengenakannya. Kini saatnya kembali bekerja. Anak buahku
tentu telah lama menunggu di markas sejak tadi. Kulupakan sejenak rinduku yang
tadi bergemuruh, kutepiskan dahulu bayang-bayang renta wajah ibu dan
adik-adikku yang lucu nun jauh dikampungku sana. Aku bergegas keluar kamar
menuju halaman. Sepeda motorku yang sejak tadi sore kuparkir di teras segera
kupacu membelah malam yang dingin dan gelap.
“Bang, ada kabar tak
mengenakkan,” kata seorang anak buahku yang beranting di telinga dan bertato di
lengannya saat menyambut kedatanganku.
Ya, aku telah berada di
sebuah rumah besar yang agak terpencil dari rumah-rumah yang banyak bertebaran
disekitar sini.
“Kurir kita, si Cungkring,
tertangkap polisi sore tadi.” lanjutnya dengan nada pelan seakan takut aku akan
marah.
“Mana
yang lain? Borek, Godak dan Bowo?” tanyaku tanpa mengubris perkataan anak
buahku itu.
Anak
buahku diam saja.
Aku mendengus sambil
menghidupkan sebatang rokok.
“Apa mereka tertangkap
juga? Lama-lama bisnis kita bisa hancur berantakan kalau satu demi satu orang
kita tertangkap. Pelanggan kita tentu akan mencari pemasok shabu dari komplotan
lain bila kita terlambat mengirimkan barang pesanan mereka!” tukasku dingin.
Anak
buahku itu masih diam tak berani menjawab. Ia malah berpura-pura mengawasi ke
arah jalan yang gelap. Tak lama seorang pria datang dengan mengendarai motor lalu
berhenti tepat di depan rumah.
“Itu
Bowo datang!” tunjuknya.
Aku duduk menunggu hingga
Bowo berjalan mendekatiku. Senyumnya terbit di antara kumis dan cambangnya.
“Malam,
Bang. Hari ini barang sudah saya antar dan uang telah saya terima dari pelanggan
untuk pesanan yang mereka minta dua hari yang lalu.” kata Bowo sambil
mengeluarkan bungkusan koran dari balik jaketnya.
Ketika bungkusan koran
dibuka setumpuk uang ratusan ribu berjumlah lima juta rupiah terhampar di atas
meja. Ah, melihat bungkusan itu, membuatku teringat dengan surat dari ibuku.
Sebuah surat dengan bahasa apa adanya, tapi memiliki kekuatan membuatku ingin
sekali menemui ibu.
Aku
menghitung tumpukan uang itu. Tak kurang lima juta. Aku mengangguk-angguk kecil
sambil menyisihkan beberapa lembar uang seratus ribuan lalu kuberikan pada
pemuda berkumis dan bercambang lebat itu. “Ini bagianmu dari hasil penjualan.
Kerja bagus kau hari ini!” kataku padanya.
Bowo mengangguk senang
lalu menenggak bir.
“Mungkin besok kita harus pindah dari rumah
ini. Rumah ini sudah tak aman untuk markas kita. Si Cungkring tertangkap sore
tadi, bila ia buka mulut pada polisi maka habislah kita di tempat ini.”
tuturku.
“Hah?
Si Cungkring tertangkap? Dasar bodoh tuh anak. Menjalankan tugas mengantar
barang saja gak becus!” bowo tampak terkejut.
“Bang,
jangan-jangan si Godak dan Borek juga tertangkap? Kenapa jam segini mereka
belum juga kembali kemarkas?” celetuk anak buahku yang beranting tadi.
Aku
mematikan api rokokku ke asbak. “Akan kuhajar mereka berdua bila kembali tanpa
membawa uang sepeser pun. Sejak seminggu yang lalu mereka berdua selalu gagal
menghasilkan uang yang banyak. Kalau terus-terusan begini bisnis kita bisa
rugi. Belum lagi kita juga harus selalu memasang telinga bila ada razia di mana-mana.”
Kami
bertiga lalu diam dan tenggelam dalam keheningan. Aku memasukkan bungkusan
koran berisi tumpukan uang ke saku dalam jaketku. Ah, aku teringat kembali
dengan surat kiriman ibuku. Esok lusa aku bisa mengirim uang kembali untuk ibu
dan adik-adikku di kampung. Sebenarnya ada perasaan bersalah muncul tiap kali
aku akan mengirimkan uang hasil bisnis haram ini kepada mereka, tapi aku tak
punya pilihan lain.
Ini hidupku. Hidup dalam
dunia hitam yang dipenuhi lumuran dosa dan bertentangan dengan hukum dan agama.
Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak punya keahlian dan pendidikan yang
memadai untuk bekerja secara halal. Hanya dengan cara begini aku bisa
mendapatkan uang yang banyak dan bisa meringankan biaya hidup dan biaya sekolah
adik-adikku. Dalam hati aku kerap berdoa memohon ampunan kepada Allah meski aku
tahu jalan hidup yang kutempuh ini salah.
Keesokan harinya si Godak
dan Borek muncul ke markas kami, mereka berdua menyetorkan uang hasil penjualan
beberapa paket shabu yang terlambat kuterima. Mereka berdua berulang kali
meminta maaf karena takut aku hajar. Aku cukup disegani dan ditakuti di
kalangan pengedar narkoba di kota ini. Siapapun orangnya yang berani melawanku,
akan merasakan pukulan dan tusukan pisauku. Pernah dua bulan yang lalu salah seorang anak buahku kubuat tersungkur
hingga masuk parit. Sejak saat itu tak ada lagi yang berani menentangku.
Malam harinya aku kembali
menuliskan sepucuk surat untuk ibu, kukabarkan bahwa esok aku akan kembali
mengirimkan wesel untuk mereka di kampung. Kubayangkan tentulah ibu dan
adik-adikku akan sangat senang menerima uang kirimanku kali ini. Jumlahnya
cukup banyak daripada yang sudah-sudah. Selesai menulis surat dan melipatnya ke
dalam amplop tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar kontrakanku.
“Siapa?” tanyaku
Aku pun berdiri ketika
pintu diketuk berulang kali.
“Kami mencari orang yang
bernama Rahmat. Apakah saudara yang bernama Rahmat?” terdengar jawaban dari
balik pintu, “Mohon pintunya dibuka sebentar kami ingin berbicara dengan
saudara.” lanjut suara laki-laki dengan nada tegas di balik pintu.
Aku bertanya-tanya dalam
hati siapa gerangan orang tersebut. Apakah seorang klienku sesama pengedar,
atau?
“Ya saya bernama Rahmat!
Siapa di luar?” jawabku sambil menyiapkan sepucuk pistol rakitan yang kuselipkan
dibagian pinggang belakang celana jeans.
Aku harus waspada, siapa
tahu orang di luar benar-benar polisi yang tengah mengejar kami, komplotan
pengedar narkoba di kota ini. Mungkin karena terlalu lama tak juga dibukakan
pintu, orang di luar mendadak menendang pintu dengan keras. Aku terkejut dan
sontak refleks mengeluarkan pistol yang telah aku siapkan. Dua orang pria
berseragam polisi menerjang masuk sambil mengacungkan pistol.
“Jangan bergerak! Jatuhkan
senjata! Kami tahu Anda selama ini bersembunyi di sini!” bentak salah seorang
polisi.
Aku berdiri dengan tubuh
lemas seketika. Pistolku ini kujatuhkan ke lantai. Beberapa orang polisi
menyeruak masuk lalu menggeledah seisi kamarku. Kedua tanganku diborgol tanpa
aku bisa melawan. Kemudian mereka membawaku ke dalam sebuah mobil pick up dengan kursi besi panjang di bak
mobil.
***
Di sebuah kampung, seorang
perempuan tua dengan kacamata tebal itu membuka mukenanya. Lastri, anak
gadisnya, yang duduk dikelas dua SMP menghampirinya sambil mengangsurkan amplop
berisi surat. “Surat dari bang Rahmat.” Bisiknya dengan senyum senang.
Perempuan itu berbinar-binar lalu membuka amplop dan mengeluarkan isinya.
Lastri memandanginya dengan tak sabar.
“Biar ibu baca dahulu nak.
Mungkin ada kabar bagus dari abangmu di kota. Tak biasanya ia tak memberi kabar
dua bulan terakhir ini.” katanya lembut. Perempuan itu lalu mulai membaca.
Kepada
ibunda
Dan
adikku-adikku disini,
Sebelumnya
ananda mohon maaf karena lama tak mengirim kabar dan tak membalas segera surat
yang ibunda kirimkan tempo hari. Ananda Rahmat dalam keadaan sehat wal’afiat
Alhamdulillah, begitu juga hendaknya ibunda dan adik Lastri serta dik Robiah di
sini.
Perlu
diketahui, ananda sekarang belum bisa mengirimkan uang dikarenakan ananda telah
di PHK dari tempat ananda bekerja. Ananda harap keluarga di sini dapat
memaklumi dan memaafkan ananda yang telah ingkar janji. Ananda berjanji nanti
setelah mendapat pekerjaan baru ananda akan segera mengirimkan uang untuk
membantu membiayai semua kebutuhan keluarga kita. Demikianlah, mohon doanya
agar ananda dapat keluar dari kesulitan yang menimpa ananda sekarang.
Salam
cinta dan rindu buat ibunda dan adik-adikku. Sembah sujud ananda haturkan dan
semoga ananda lekas mendapat rezki dan dapat pulang ke kampung untuk berkumpul
dengan kalian kembali.
Tertanda
Ananda
Rahmat.
***
Aku meringkuk sambil
memeluk lutut. Lantai ubin dalam ruangan berukuran lima kali tiga meter ini
terasa teramat sempit dan dingin. Udara pengap, temaram dan bau. Cahaya
matahari menerobos dari sela-sela jeruji besi pada dinding bagian atas ruangan.
Setelah surat pertama yang kukirim ke kampung melalui seorang penjaga di sini,
aku bermaksud akan menuliskan surat selanjutnya. Ya, surat dengan bahasa apa
adanya. Bahasa yang dimengerti oleh orang kecil kebanyakan. Akan kukabarkan
pada ibu dan adik-adikku kalau aku telah diterima bekerja kembali di suatu
perusahaan. Aku tersenyum getir, air mataku meleleh tanpa kusadari membayangkan
wajah mereka yang tentu gembira mendengar kabarku nanti.
***
Silakan klik Senarai Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.
0 comments:
Post a Comment