Tanggal 24 September 1526, pasukan perang Pangeran Samudera yang
berkekuatan 6.000 orang berhasil mengalahkan pasukan perang Pangeran
Temenggung. Pasukan gabungan yang terdiri dari pasukan lokal sebanyak 4.000
orang di bawah komando Panimba Sagara
dan pasukan perang Kerajaan Demak sebanyak 2.000 di bawah komando Khatib Dayan,
rupanya terlalu kuat bagi pasukan perang Pangeran Temenggung.
Pangeran Temenggung berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati
oleh majelis hakim yang mengadilinya. Namun, Pangeran Samudera kemudian
mengampuninya dengan syarat Pangeran Temenggung harus mengasingkan diri ke
suatu tempat yang jauh dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar. Meskipun telah
hidup di pengasingan, namun, pada tahun-tahun pertama pengasingannya itu,
Pangeran Temenggung diketahui telah beberapa kali mengerahkan orang-orang
suruhannya untuk mengganggu keamanan di wilayah Kerajaan Banjar.
Selepas kemenangannya itu maka wilayah kekuasaan Pangeran Samudera
selaku kepala negara dan kepala pemerintahan di Kerajaan Banjar menjadi semakin
bertambah luas saja, karena dengan kemenangannya ini maka semua daerah yang selama ini dikuasai oleh Pangeran
Temenggung selaku kepala negara dan kepala pemerintahan di Kerajaan Negara Daha
dengan sendirinya langsung masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar.
Pangeran Temenggung menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Samudera dalam
suatu upacara kenegaraan yang diselenggarakan secara khusus di kota Muara
Banjar. Sebelumnya wilayah Kerajaan Banjar sangat sempit, cuma sebatas pada
daerah di sekitar kota Muara Banjar saja.
Pendopo Istana Kuin tampak cerah ceria dengan hiasan warna-warni
yang bergantungan di sana-sini, baik di
luar maupun di dalam pendopo Istana Kuin. Pendopo Istana Kuin sengaja dihiasi
sedemikian rupa untuk memeriahkan hari itu penobatan Pangeran Samudera sebagai
raja di raja Tanah Banjar dengan gelar
Sultan Suriansyah.
Pada hari penobatannya itu orang-orang Tanah Banjar menyaksikan
dengan mata kepala mereka sendiri suatu peristiwa bersejarah yang sama sekali tak pernah mereka bayangkan akan
terjadi. Ketika itulah mereka menyaksikan tegaknya sabda pandita ratu
mendiang Maharaja Sukarama yang selama
ini dilanggar oleh Pangeran Temenggung.
Berbeda dengan penobatan para pendahulunya, penobatan Sultan
Suriansyah sebagai raja di raja Tanah Banjar jauh lebih meriah dan gegap
gempita. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa tampilnya
Sultan Suriansyah sebagai raja di raja Tanah Banjar jauh lebih dramatis
dibandingkan dengan para pendahulunya.
Bila semua pendahulunya, naik tahta dengan mulus, maka proses naik
tahtanya Sultan Suriansyah agak
berliku-liku, tersendat-sendat, dan bahkan sempat tertunda-tunda selama
beberapa tahun. Memang, berbeda dengan para pendahulunya yang mewarisi tahta
kerajaannya langsung dari ayahandanya masing-masing, Sultan Suriansyah
mewarisinya dari kakeknya, karena ayahnya Pangeran Manteri Jaya telah meninggal
dunia ketika masih berstatus sebagai Putera mahkota.
Pada hari penobatannya itu Pangeran Samudera dapat dengan mudah
mengenakan mahkota pusaka. Tidak seperti Pangeran Temenggung yang dulu langsung
terhuyung-huyung begitu mencoba mengenakan mahkota pusaka. Bagi warga negara
Kerajaan Banjar hal itu merupakan petunjuk bahwa Pangeran Samudera memang
berhak memangku jabatan sebagai raja di raja Tanah Banjar.
“Hamba rakyatku sekalian. Hari ini adalah hari yang paling
bersejarah bagi kita semua. Hari di mana kita bisa menegakkan sabda pandita
ratu mendiang Maharaja Sukarama,” ujar Sultan Suriansyah membuka pidato
kenegaraannya di hari pertama masa pemerintahannya sebagai raja di raja Tanah
Banjar.
“Semua anugerah yang kita terima dari Allah swt ini tidak bisa
dilepaskan dari perjuangan gigih pasukan perang dinding raja di bawah komando
Panimba Sagara dan bantuan kekuatan yang diberikan oleh sahabat kita pasukan
perang dari Kerajaan Demak di bawah
komando Khatib Dayan. Pada kesempatan ini izinkanlah saya secara khusus
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada para pahlawan kita
tersebut.”
“Hidup Panimba Sagara!”
“Hidup!”
“Hidup Khatib Dayan!”
“Hidup!”
“Hamba rakyatku sekalian. Mulai hari ini aku menyatakan diriku
telah memeluk agama Islam. Hal ini sesuai janjiku kepada Sultan Terenggono.”
Sejak itu pula, Pangeran Samudera resmi memeluk agama Islam dan
mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah. Ketika melakukan pengucapan dua
kalimah syahadat Sultan Suriansyah dibimbing langsung oleh Khatib Dayan,
panglima perang Kerajaan Demak yang juga dikenal sebagai seorang ulama yang
saleh.
Beberapa bulan kemudian .....
“Anakda Sultan Suriansyah. Dari hari ke hari semakin banyak saja
warga negara Kerajaan Banjar yang memeluk agama Islam. Sehubungan dengan itu,
ayahanda berpendapat bahwa sudah tiba saatnya bagi anakda untuk membangun
sebuah masjid yang cukup memadai daya tampungnya di pusat kota Muara Banjar
ini. Selain bisa difungsikan sebagai
tempat menyelenggarakan shalat Jum’at, masjid dimaksud juga bisa dimanfaatkan
oleh para ulama untuk mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan yang dimilikinya kepada
para pemeluk agama Islam,” ujar Khatib Dayan menyarankan kepada Sultan
Suriansyah.
“Benar sekali, ayahanda. Anakda juga berpikiran demikian.
Sesungguhnya, sudah sejak lama anakda ingin membangun masjid sebagaimana yang
ayahanda sarankan itu. Bahkan, anakda sudah memilih lokasi pembangunannya,
yakni di tepi Sungai Kuin tak jauh dari Istana Kuin ini.”
“Syukurlah, kalau begitu.”
Berita tentang keinginan Sultan Suriansyah mendirikan masjid besar
di lingkungan Istana Kuin segera beredar ke segenap pelosok negeri Kerajaan
Banjar. Berkenaan dengan rencananya itu, Sultan Suriansyah membuka sayembara
pencarian pohon ulin yang terbuka untuk umum. Bagi anak negeri yang mampu
menebang dan menyerahkan 4 batang pohon ulin sepanjang 20 meter dengan garis
tengah sepemeluk orang dewasa akan diberi hadiah berupa uang dalam jumlah yang
sangat besar. Pohon ulin dimaksud akan dijadikan sebagai tiang guru masjid,
sayembara ini sengaja dilakukan karena kayu ulin seukuran itu tidak ada dijual
di pasar kayu kota Muara Banjar, tetapi harus dicari langsung ke dalam hutan
raya yang terletak jauh di pedalaman sana.
Tergiur dengan hadiah uang berjumlah besar yang dijanjikan oleh
Sultan Suriansyah maka banyaklah orang yang sakti mendraguna mendaftarkan
dirinya sebagai pesertanya. Memang, tidak sembarang orang mempunyai peluang
besar dapat memenuhi keinginan Sultan Suriansyah tersebut di atas. Selain harus
dicari ke tengah hutan raya yang angker dan
sulit dijangkau manusia, pohon ulin seukuran itu juga sulit ditebang dan
bobotnya juga sangat berat. Sehingga untuk menebangnya dan lebih-lebih untuk
membawanya ke luar dari lokasi
penebangannya ke lokasi pembangunan masjid diperlukan keahlian dan
kekuatan fisik yang bersifat supranatural. Dalam hal ini orang-orang yang dapat
mengemban tugas berat semacam ini bukanlah orang sembarangan, tapi adalah
orang-orang yang memiliki kesaktian atau kedigjayaan di atas rata-rata.
Dari sekian banyak pendaftar, tersebutlah 2 kelompok yang mendaftarkan diri sebagai peserta resmi
sayembara pencarian pohon ulin ini. Kelompok pertama terdiri dari dua orang
bersaudara kembar Sutakil dan Sutakul asal dari Desa Mantuil dan peserta ke-2
terdiri dari tiga orang kakak beradik Lamitak, Lamitik dan Lamituk berasal dari
Kampung Taniran.
0 comments:
Post a Comment