Setelah
berhasil membujuk pulang Panimba Sagara dan kawan-kawan, Sultan Suriansyah
kemudian menyelenggarakan upacara khusus pemancangan tiang guru masjid Kerajaan
Banjar. Sesuai dengan rencana, pemancangan 4 tiang guru masjid dimaksud
dilakukan oleh 4 tokoh sakti mandraguna,
yakni Aria Malangkan, Patih Balit, Patih Mahit, dan Patih Muhur (masing-masing
tokoh memancangkan 1 tiang guru).
Upacara
khusus pemancangan tiang guru dimaksud berlangsung dalam suasana riang gembira.
Setiap hari warga kota Muara Banjar, pria wanita, tua muda, ikut bergotong
royong membangun masjid kerajaan. Pekerjaan pembangunan masjid itu mulai
dilakukan sejak pagi buta dan baru berakhir hingga senja tiba.
“Terima
kasih, aku bangga dengan hasil kerja kalian semuanya. Sekarang, mengingat hari
sudah hampir senja maka kalian kuizinkan untuk pulang kembali ke rumah
masing-masing. Beristirahatlah dengan baik agar besok hari kita bisa bergotong
royong kembali,” ujar Sultan Suriansyah.
Demikianlah
yang berlangsung dari hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan.
Pembangunan masjid kerajaan itu dilakukan secara bergotong royong oleh segenap
warga negara Kerajaan Banjar yang tinggal di seantero kota Muara Banjar.
Hingga
pada suatu pagi mereka dikejutkan oleh pemandangan yang menimbulkan amarah yang
amat sangat, lokasi pembangunan masjid kerajaan itu porak poranda. Tanah tempat
di mana masjid kerajaan akan didirikan sudah tidak karuan lagi bentuknya.
Berlumpur dan sebagian besar telah digenangi air kembali. Empat tiang guru yang
sudah berhasil dipancangkan juga tercabut dari lubang pancangnya dan
bergelimpangan di lokasi pembangunan masjid dimaksud.
“Paman
Patih, siapa yang bertanggung-jawab atas keamanan lokasi pembangunan masjid
ini?” tanya Sultan Suriansyah kepada Khatib Dayan.
“Ampun,
Paduka Sultan. Orang yang bertanggung-jawab atas keamanan lokasi pembangunan
masjid adalah Aria Malangkan.
“Ampun,
Paduka Sultan. Hamba Aria Malangkan.”
“Selediki, siapa yang melakukan semua ini?!”
“Baik,
Paduka Sultan.”
“Sementara
Aria Malangkan menyelidiki siapa pelaku pengrusakannya, maka pembangunan masjid
ini kita hentikan dulu.”
Menurut
ceritanya, mulai malam itu Aria Malangkan dan anak buahnya berjaga-jaga di
sekitar lokasi pembangunan masjid. Tapi, sampai sejauh ini mereka belum
berhasil membekuk biang kerok pengrusakan lokasi pembangunan masjid yang mereka
cari. Hingga akhirnya Aria Malangkan memutuskan meminta bantuan kepada
Ning
Kurungan buaya siluman yang tinggal di kedalaman Sungai Kuin.
“Aria
Malangkan, ada keperluan apa hingga malam-malam begini kau memanggilku naik ke
darat?” tanya Ning Kurungan.
“Selamat
datang dan terima kasih atas kesediaanmu memenuhi panggilanku.”
“Hehehe
...” Ning Kurungan terkekeh.
Ning
Kurungan adalah seekor buaya siluman yang sejak lama sudah menjalin
persahabatan dengan Aria Malangkan. Biasanya, jika naik ke darat ia akan
berubah wujud dulu menjadi manusia. Kali ini ia muncul ke permukaan Sungai Kuin
dalam bentuk aslinya sebagai buaya. Buaya ini bertubuh besar dan warna kulitnya
yang kuning keemasan tampak bercahaya terkena sinar bulan. Meskipun masih tetap
dalam wujud buaya, Ning Kurungan ternyata bisa berbicara dalam bahasa manusia.
“Ning
Kurungan. Aku sekarang ini sedang mengemban titah Paduka Sultan. Lihatlah,
lokasi pembangunan masjid ini porak poranda karena ulah makhluk misterius. Aku
ditugaskan untuk menyelidiki siapa gerangan makhluk misterius yang melakukan
pengrusakan ini. Aku sendiri sudah bekerja keras selama sebulan penuh, tapi
hasilnya nihil.”
“Lalu,
kenapa kau memanggilku?”
“Aku
menduga pelaku pengrusakannya adalah makhluk air seperti dirimu.”
“Oh,
begitukah?. Ketika mau naik ke darat tadi aku sempat berpapasan dengan seekor
buaya hitam. Tapi, aku tidak sempat berbuat apa-apa karena buaya hitam itu
langsung menjauh begitu melihatku
datang.”
“Wah,
kalau begitu cepatlah kau kembali masuk ke air kejar buaya hitam itu nanti
keburu melarikan diri ke lain perairan.”
Blap
.... buaya kuning itu langsung menyelam. Tapi tak lama kemudian ia muncul lagi
menemui Aria Malangkan.
“Ada
apa, kok muncul lagi?”
“Buaya
hitam itu adalah pelaku pengrusakan yang kau cari. Ia sudah mengakuinya.
Katanya hal itu dilakukannya atas suruhan Pangeran Temenggung”
“Kurang
ajar. Lalu, apa tindakanmu?”
“Kami berkelahi.
Tapi aku kalah sakti.”
“Hah.
Kau kalah, Ning Kurungan?”
“Tapi,
jangan khawatir aku sudah memanggil kawan-kawanku untuk mengeroyoknya sampai
mati.”
“Kalau
begitu, cepatlah. Tunggu apa lagi? Keroyok saja!”
Blap
... buaya kuning itu kembali menyelam.
Malam
itu Aria Malangkan menunggu dengan harap-harap cemas. Ia khawatir Ning Kurungan
dan kawan-kawan gagal mengeroyok buaya hitam.
Tiba-tiba....
“Aria
Malangkan ...”
“Kaukah
itu, Ning Kurungan!”
“Ya.
Ini aku.”
“Apa
yang terjadi?”
“Kami
sudah berhasil membunuhnya. Besok bangkainya akan timbul di hilir Sungai Kuin.
“Syukurlah,
kalau begitu. Terima kasih atas bantuanmu.”
“Aku
tak bisa lama-lama menemuimu. Aku harus segera kembali untuk mengobati
luka-lukaku.”
“Sekali lagi terima kasih dan titip salam buat
kawan-kawanmu di bawah sana.”
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali, warga kota Muara Banjar yang tinggal di hilir Sungai
Kuin langsung gempar begitu melihat ada bangkai buaya hanyut ke muara sungai.
Buaya hitam itu ternyata besar sekali.
Setelah
semua rintangan dan halangan berhasil diatasi, maka pembangunan masjid kerajaan
dilanjutkan kembali. Sebagai tanda syukur kehadirat Allah swt, maka di lokasi
pembangunan masjid diselenggarakan acara selamatan secara besar-besaran.
Khatib
Dayan yang ditunjuk sebagai pembaca doa selamat berkali-kali mengucapkan
untaian doa di bawah ini :
“Ya
Allah. Tegakkanlah masjid kami.”
“Amin”
Tamat.
0 comments:
Post a Comment