Kawasan Minggu Raya yang paling favorit bagiku ketika itu
terletak persis di seberang jalan Taman Air Mancur DAWN van Der Pijl sekarang ini.
Di kawasan ini tumbuh beberapa batang pohon kasturi yang berbuah lebat. Setiap musim buah kasturi aku
dan anak-anak warga kota Banjarbaru lainnya sering berada di bawah pohon
kasturi menunggu buah kasturi jatuh dari pohonnya karena diterjang angin yang
bertiup kencang. Tapi, tidak jarang kami melempari buah kasturi dimaksud dengan
sepotong kayu (bahasa Banjar,
maningkalung).
Sebelum dikosongkan dan dijadikan taman seperti sekarang
ini, di kawasan ini dulunya terdapat beberapa buah toko dan warung teh.
Toko-toko yang ada di kawasan ini ada yang menjual alat-alat tulis, rokok,
emas, dan buku. Toko buku termasuk tempat yang sering kukunjungi. Aku masih
ingat namanya Annida. Bukan untuk membeli buku, tapi sekadar melihat-lihat
kulit sampulnya saja. Maklumlah aku ketika itu belum punya cukup uang untuk
membeli buku.
Ada 3 tempat minum di kawasan ini, 2 warung teh dan 1
cafe yang khusus menjual minuman kaleng. Café ini dikelola oleh anak buah Didik
Suwardi Hasan, beliau seorang anggota Brimob yang juga dikenal sebagai pelukis
dan pematung. Patung-patung karya beliau antara lain ditempatkan di Taman
Landasan Ulin dan Bundaran Simpang Empat Banjarbaru. Sementara itu, lukisan
dinding (relief) beliau antara lain terdapat di Gedung Serba Guna Bina Satria
Banjarbaru.
Setelah cukup lama tinggal di Banjarbaru, Didik Suwardi
Hasan pindah bertugas ke berbagai daerah, terakhir beliau menetap di Solo, dan
tetap menekuni profesinya sebagai pematung dan pelukis. Tahun 1995, beliau
didaulat menjadi Komandan Upacara di Taman Budaya Surakarta. Ketika itu, aku
berada di Solo untuk mengikuti acara temu sastrawan berkenaan dengan Refleksi
Setengah Abad Indonesia Merdeka. Bersama-sama para peserta lain yang
berdatangan dari seluruh Indonesia aku mengikuti upacara bendera 17 Agustus
1995 versi sastrawan Indonesia.
Ada 2 warung teh di kawasan ini, satu milik pak Anang,
dan yang satunya lagi milik Kai (kakek). Belakangan, Kai mengambil alih café
milik Didik Suwardi Hasan yang telah pindah ke luar daerah. Kai kemudian
memelopori warung teh yang buka nonstop sepanjang malam. Aku sendiri lebih
sering duduk berlama-lama di warung teh milik Pak Anang yang cuma buka pada
siang hari saja. Setelah minum teh dan memakan beberapa potong kue, aku
biasanya menonton orang main catur. Tidak jarang aku juga tampil sebagai pemain
caturnya.
Sekali waktu para pemain catur dikejutkan oleh kedatangan
Ma Irum yang tanpa ba bi bu langsung memuncratkan air kucurnya ke papan
catur. Salah seorang pemain catur,
seorang bapak yang terkenal temperamental langsung melayangkan bogem mentahnya
ke arah kepala Ma Irum. Bogem mentah itu dengan telak mengenai kepala Ma Irum,
Ma Irum lalu lari terbirit-birit karena rasa takut yang amat sangat.
Sepeninggal Ma Irum, orang-orang yang berada di warung
Pak Anang spontan tertawa terbahak-bahak, termasuk bapak yang melayangkan bogem
mentah tadi. Beliau, tertawa terbahak-bahak begitu menyadari orang yang
dibogem-mentahnya tadi adalah Ma Irum. Ma Irum adalah seorang tokoh yang ketika
itu terkenal ke seantero daerah Kalsel sebagai orang gila yang suka berbuat
ulah memuncratkan air kucurnya. Dulu, orang gila termasuk makhluk langka,
sehingga dengan kelangkaannya itu maka Ma Irum lantas menjadi orang terkenal
sebagaimana layaknya para pesohor lainnya.
Selain Ma Irum, masih ada tokoh lain yang juga terkenal
sebagai makhluk langka di seantero daerah Kalsel ketika itu, yakni pak Amut.
Pak Amut terkenal karena aksinya sebagai orang yang selalu tampil bugil dari
hari ke hari. Konon, jika pak Amut mandi di sungai, maka hal itu merupakan pertanda
wilayah di sekitar sungai itu akan dilanda banjir.
Tapi, yang paling gawat konon adalah jika pak Amut tidur
di kolong jembatan, maka mobil-mobil tidak akan bisa melintas di atas jembatan
itu. Mesin mobil akan langsung mati begitu menaiki badan jembatan. Akibatnya
arus lalu lintas di sepanjang jalan menuju ke arah jembatan tersebut menjadi
macet total. Kemacetan baru berakhir jika pak Amut sudah bangun dari tidurnya
dan pergi menjauh dari kolong jembatan.Sungguh aneh tapi nyata. Setelah meninggal dunia pak Amut dimakamkan
di salah satu desa di Kecamatan Alabio, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Makamnya
dikeramatkan orang dan selalu ramai diziarahi orang.
Dulu, di kawasan yang sekarang ini dijadikan sebagai Taman Air Mancur DAWN
van Der Pijl adalah lokasi kebun binatang. Berkaitan dengan itu maka di kawasan
ini banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Setelah tidak lagi menjadi kebun
binatang, di kawasan ini sering digelar acara hiburan rakyat. Acara hiburan
rakyat yang paling favorit adalah pertunjukkan orkes melayu. Aku masih ingat,
setiap kali digelar pertunjukan orkes melayu, aku selalu hadir, dan ikut
berjoget di sini. Setiap orang boleh berjoget di sini, syaratnya cuma satu,
yakni harus mengenakan celana panjang (yang bercelana pendek dilarang berjoget).
Ketika itu usiaku baru sekitar 15 tahun, dan baru duduk
di bangku Kelas II SMEP Negeri Martapura. Ada sebuah rahasia yang belum pernah
kuungkapkan ke publik, yakni aku ketika itu belum mempunyai celana panjang
sendiri. Nah, supaya bisa ikut berjoget maka aku meminjam celana panjang milik
kakakku. Kakakku orangnya bertubuh tinggi sementara aku bertubuh pendek.
Akibatnya, aku harus menggulung kaki celana pinjaman itu. Supaya gulungannya
tidak melorot ketika berjoget, maka gulungan celana itu aku jepit dengan
peniti, cukup banyak peniti yang kuperlukan untuk itu.
Suatu malam, tanpa kusadari, karena terlalu asyik
berjoget, beberapa peniti penjepit gulungan celana itu terlepas, akibatnya
celana panjang yang kukenakan kotor karena terinjak-injak. Akibatnya fatal,
begitu melihat celana panjang miliknya kotor dan rusak, kakakku langsung
mencak-mencak dan memarahiku habis-habisan. Aku dihukum mencuci celana itu
sampai bersih.
Tahun 2008, aku diundang baca puisi dalam acara tadarus
puisi di Taman Air Mancur DAWN van Der Fijl. Sungguh tak disangka aku baca
puisi di tempat di mana dulu aku berjoget. Sesaat sebelum membaca puisi aku
terkekeh sendiri mengenang masa lalu. Dulu aku tampil di sini sebagai penjoget,
dan sekarang aku tampil sebagai penyair. Ingin sekali rasanya aku berbagi
cerita tentang kenangan masa laluku di Banjarbaru dengan para penyair lain yang
hadir pada malam itu.
Selama bertahun-tahun segelintir warga kota Banjarbaru
menjadikan areal Taman Air Mancur DAWN
van Der Pijl ini sebagai tempat mencari nafkah. Setiap hari, dimulai sejak
pukul 15.00 wite mereka datang ke areal ini sambil mendorong gerobaknya
masing-masing. Mereka semua adalah para penjual makanan dan minuman. Makanan
favorit yang mereka jual adalah ketupat Kandangan. Selain suka makan ketupat Kandangan
di warung langganan, aku juga sering makan soto Kudus di tempat ini. Para
penjual makanan dan minuman inilah yang membuat kawasan Minggu Raya menjadi
semarak di malam hari. Mereka menggelar jualan hingga pukul 01.00 wite
dinihari, bahkan ada yang buka sampai pukul 03.00 wite pagi hari.
Setelah kawasan ini dijadikan areal taman Air Mancur DAWN
van Der Pijl, mereka dipindahkan ke lokasi tanah kosong di seberang jalan.
Namun, tampaknya tidak semua pedagang
makanan dan minuman tertampung di lokasi baru ini. Tidak ada lagi gerobak
dorong seperti zaman dahulu, karena warung makan minum yang dibangun sebagai
penggantinya dibuat permanen, memang rapi, tapi suasana tempo doeloe sudah
tidak ada lagi, hilang ditelan waktu.
0 comments:
Post a Comment